“Bu Anna, ada ngajar atau enggak habis ini?” tanya Bu Nur, salah satu teman dosen yang mulai dekat denganku. Umur kami yang hanya beda beberapa bulan membuat kami mudah akrab satu sama lain. Dia juga belum menikah, tetapi aku dengar dia sudah ada calon.
“Masih nanti jam dua, Bu. Kenapa?”
“Makan di luar, yuk? Saya yang traktir.”
“He? Enggak usah traktir, Bu. Mau makan di mana? Saya enggak banyak tahu makanan yang enak di daerah sini.”
“Ada warung penyetan yang sambelnya mantap, Bu. Dijamin Bu Anna pasti suka. Mau enggak?”
Aku segera mengangguk tanpa tapi-tapi. Kebetulan aku memang sudah lapar. “Mau, Bu. Sebentar, ya, saya beresin meja dulu.”
“Oke.”
Namanya Nurrahma Aini. Nama yang sederhana, seperti orangnya. Baru dua mingguan kami kenal, tetapi aku mulai merasa dekat dengannya.
Bu Nur ini orangnya kalem, setidaknya menurut penilaianku saat ini. Dia orangnya halus dan terlihat sangat sopan. Akan tetapi, beberapa hari terakhir ini aku merasa dia mulai bersikap santai denganku. Barangkali karena kami seumuran dan hanya kami berdua dosen perempuan yang belum menikah.
“Ayo, Bu!” aku berdiri dan menghampirinya.
“Tetap saya traktir, ya, Bu. Anggap aja traktiran perkenalan.” Melihat ekspresinya yang sungguh-sungguh, aku tak kuasa menolak.
“Ya udah, kalau maksa. Lain kali tapi gantian.”
“Siap!” Bu Nur tertawa pelan.
“Lokasinya jauh, kah, Bu?”
“Kalau jalan kaki jauh, tapi kalau naik motor dekat. Pakai motor saya aja.”
“Ah ... oke-oke.”
Kami jalan beriringan keluar fakultas. Saat ini baru masuk jam makan siang, jadi waktu kami masih banyak. Bu Nur bilang dia sudah tidak ada kelas lagi sampai sore.
“Wah, ada calonnya Pak Al!” Bu Nur tiba-tiba menahan tanganku. Aku refleks mengikuti ke arah mana matanya tertuju.
“Oh ... mereka. Saya pernah lihat sebelumnya.” Aku menjawab sekenanya.
Saat ini kulihat Mas Al sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Kiran. Mataku masih normal, jadi aku bisa melihat dengan jelas meski jarak kami saat ini cukup jauh. Mas Al dan Kiran berdiri di dekat lab, sementara aku dan Bu Nur di parkiran.
“Lihat di mana, Bu?”
“Di supermarket. Enggak sengaja ketemu gitu.”
“Dokter lho yang cewek itu, Bu. Katanya, sih.”
“Iya, kah? Keren, dong.”
Bu Nur mengangguk. “Kalau kata Bu Nining, levelnya Pak Al enggak mungkin cari istri orang sembarangan.”
“Enggak cuma Pak Al, Bu. Semua orang harusnya begitu. Enggak cari pasangan hidup orang sembarangan.”
“Iya juga, sih.” Bu Nur terkekeh.
Sebetulnya aku paham betul konteks kalimat Bu Nining. Bukan orang sembarangan yang dia maksud pasti dari segi kualitas orangnya dan mungkin silsilah keluarganya. Pastilah Kiran itu dari kalangan atas. Tidak heran juga, Mas Al kan anak orang kaya. Karirnya sekarang pun bagus. Dia mungkin menyesal pernah melamarku dulu.
Boleh jadi dulu Mas Al sakit hati karena perlakuanku, tetapi siapa yang tahu kalau di kemudian hari dia justru bersyukur karena aku sudah menolaknya? Bagaimanapun, saat itu kami berdua masih belum sama-sama dewasa. Mas Al pun belum mapan dan karirku juga belum jelas. Jadi, dorongan menikah ada hanya karena alasan cinta.
Bukankah itu terlalu remeh?
“Para dosen udah pada tahu, ya, Bu?”
“Ya sekedar tahu aja, sih. Pak Al mah diam orangnya. Cuma kami-kami ini yang kadang suka bergosip.”
Aku tertawa pelan. “Bergosipnya dipimpin Bu Nining?”
“Betul!”
Aku tertawa lagi. Bu Nining ini memang orangnya banyak bicara. Tipe yang cerewet, tetapi bukan yang membuat orang kesal. Justru dia orangnya cenderung lucu.
“Ya udah, ayo, Bu!”
“Iya.”
Sebelum ikut naik motor, aku menoleh lagi ke arah lab. Ternyata Mas Al dan Kiran sudah tidak ada. Entah ke mana mereka pergi.
“Bu An? Kok bengong?”
“Ha?”
“Ini pakai helm-nya. Saya selalu bawa dua, yang satu saya masukin jok. Soalnya muat.”
“Ah, iya, iya. Terimakasih, Bu.” Aku segera memakai helm dan naik di bagian belakang.
Ragaku memang di sini, tetapi jiwaku kini mulai melayang menuju sebuah titik di masa lalu. Sebuah titik yang membuatku memantapkan diri untuk segera mengakhiri hubungan dengan Mas Al sekalipun sangat berat.
Aku memang naif dan aku memang egois. Namun, andai aku tidak pernah mendengar percakapan itu, aku mungkin akan terus memepertahankan Mas Al sekalipun aku harus merasa terbebani dalam waktu yang lama.
Ya sudahlah. Benar-benar tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur, dan buburnya juga mungkin sudah terlanjur basi.
***
Sore ini ada rapat mendadak. Aku yang tadinya ingin pulang cepat seketika jadi urung. Sebagai dosen baru tentu aku hanya ikut saja karena aku sendiri belum tahu rapat kali ini akan membahas tentang apa.
Saat ini hampir semua dosen matematika sudah berkumpul di satu ruangan. Ruangan jadi tampak sesak karena dosen-dosen lain yang ruangannya di lab otomatis ikut masuk.
“Tinggal siapa yang belum datang?” tanya Pak Fadli sembari mengedarkan pandangan
“Pak Al, Pak. Sebentar, dia lagi otw. Habis dari kelas.”
“Oke-oke.”
Kisaran dua menit kemudian, Mas Al tiba di ruangan. Dia minta maaf karena terlambat, lalu segera dipersilahkan duduk oleh Pak Fadli.
Di ruangan ini tinggal dua kursi yang kosong. Pertama, itu di sebelah Pak Agus. Kedua, itu di sebelahku. Sudah bisa ditebak, dia akan duduk di mana— oh, ternyata aku salah. Mas Al kini duduk di sebelahku. Aku sampai refleks menahan napas selama beberapa detik.
“Pak Al, tahu saja sama yang cantik,” canda Pak Agus yang hanya dibalas senyuman, yakni tipe senyuman yang terlihat agar obrolan tidak memanjang.
Duduk bersebelahan begini, aku baru sadar kalau Mas Al belum ganti Parfum. Aku sangat suka wangi ini karena dulu aku yang memilihkan untuknya. Wanginya lembut, sangat memanjakan hidung.
Baiklah, aku harus berhenti membahas parfum. Ini hanya akan membangkitkan ingatan tentang masa lalu.
Akhirnya, rapat pun di mulai. Aku mendengarkan dengan seksama, juga mencatat poin-poin penting yang kiranya harus aku ingat. Mas Al di sebelahku terlihat mendengarkan, tetapi dia tidak mencatat sedikit pun. Meski begitu, dia sangat aktif. Tak jarang dia bertanya, menyampaikan pendapat, juga menawarkan solusi.
Tanpa sadar, senyumku terbit. Aku jadi tidak heran kenapa dia dipilih menjadi sekjur di saat aku lihat masih banyak dosen yang lebih senior darinya. Dia pasti sangat dipercaya, makanya sampai diberi jabatan struktural.
Mas Al memang cerdas. Selain cerdas, dia juga solutif. Aku pertama kali mengenalnya saat aku masih SMA. Saat kami baru kenal secara online. Saat aku belum tahu wajahnya seperti apa, pun aku belum tahu kalau dia berteman dengan kakak tiriku. Sejak saat itu, kami sudah saling bertukar pendapat. Aku banyak menemukan solusi dari klimat-kalimatnya.
“Dan minggu depan itu kan ada workshop dosen matematika di kampus sebelah. Seluruh universitas Jogja yang ada jurusan matematikanya diundang. Setiap univ diminta mengirim dua orang. Salah satu pematerinya ada dari luar negeri. Kira-kira dari kita siapa yang akan berangkat?” tanya Pak Fadli sembari mengedarkan pandangan.
“Satu hari itu, Pak?” tanya Bu Santi.
“Iya, Bu. Tapi dua sesi. Pagi sampai siang, jeda isoma, lalu lanjut sampai sore.”
“Hari Rabu bukan, sih, Pak?” tanya Bu Sarah.
“Iya, Bu. Rabu depan.”
“Cek saja siapa yang jadwalnya paling kosong di hari itu.” Pak Ahmad memberi saran.
“Kalau kata saya sih dipilih yang masih muda, ya. Masalah jadwal itu gampang, bisa diganti tugas. Soalnya yang muda cenderung lebih tangkas dalam menangkap materi. Apalagi modelan workshop. Selain itu, supaya nambah pengalaman juga.” Itu usul Bu Ambar, salah satu dosen yang menurutku paling berumur. Aku rasa beliau lebih tua dari Pak Fadli. Bahkan mungkin agak jauh.
“Saya setuju, Bu.” Pak Fadli menimpali.
Mendadak saja, semua orang di ruangan ini menatap ke arahku. Entah ke arahku atau ke arah Mas Al. Atau malah ke arah kami berdua.
Bu Santi tiba-tiba tertawa pelan. “Kok kayaknya isi otak kita semua itu sama, to, Pak, Bu ...”
“Gimana, Pak Al? Bu Anna? Bu Anna terutama, buat tambah pengalaman.” Pak Fadli tersenyum padaku.
“Ini kalau bicara muda saja, Bu Nur sama saya seumuran, Pak.” Aku membalas dengan nada setengah bercanda. Dari tadi suasana rapat memang cenderung santai, bukan yang spaneng.
“Bu Nur pernah dikirim ke Jakarta ya, Bu? Dulu sama Bu Santi. Awal tahun lalu.”
Bu Nur langsung mengangguk. “Iya, betul. Malah waktu itu menginap karena acaranya dua hari.”
“Kalau begitu saya ikut saja, Pak. Kalau memang Bapak dan Ibu semua mempercayai saya, saya siap.”
Tidak mungkin sekali aku menolak. Ini bukan tentang nanti aku pergi dengan siapa. Ini adalah tentang dedikasi, juga tentang pengalaman berharga. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Belum tentu lain kali aku dipercaya lagi.
“Kalau Pak Al gimana?”
“Iya, Pak. Saya bisa.”
Mendengar itu, aku langsung melirik Mas Al. Dia terlihat biasa-biasa saja. Tidak terlihat keberatan, pun tidak terlihat bersemangat.
Apa dia baik-baik saja pergi denganku?
“Oke-oke. Kalau begitu, untuk acara minggu depan sudah clear, ya. Terus pembahasan yang sebelumnya, saya minta Bapak dan Ibu sekalian perhatikan betul-betul masalah utama di jurusan kita. Persiapan reakreditasi harus dimulai dari sekarang supaya matang. Kita harus bisa mempertahankan, syukur-syukur nilainya lebih bagus.”
“Siap, Pak.”
Akhirnya, rapat pun berakhir. Semua dosen langsung berkemas, tak terkecuali aku.
Mas Al sendiri langsung pergi tepat setelah Pak Fadli menutup acara rapat. Dia sama sekali tidak mengajakku bicara, padahal ada yang ingin kutanyakan karena kami baru saja ditunjuk untuk melaksanakan acara berdua. Tanganku yang sudah menggantung karena ingin memanggilnya, akhirnya kuturunkan lagi. Ya sudah, aku bisa menanyakannya besok.
Ketika aku hendak pulang, kulihat Bu Nur sedang menatapku lurus. Sepertinya dia menyadari keganjilan ini, tetapi aku langsung tersenyum padanya seolah tidak ada yang aneh. Lagi-lagi hari ini Mas Al membuatku merasa buruk.
Kalau dia tidak menyukaiku, kenapa menyanggupinya?
***
Siang ini tiba-tiba Mas Al menyuruhku datang ke ruangannya. Barangkali SK-ku sudah turun, atau malah dia ingin membahas persiapan untuk acara rabu besok. Dia sudah menghubungiku tadi malam dan aku langsung mengiyakannya.
Nomor Mas Al masih sama dengan yang dulu. Aku tahu karena aku hafal betul nomor itu. Dipikir lagi rasanya lucu. Aku sudah rela mengganti nomor demi meghindar darinya, tetapi pada ujungnya dia bisa mendapatkan nomor baruku dengan begitu mudahnya.
Tok tok tok!
“Masuk.”
Lama-lama aku hafal juga dengan cara Mas Al menyahut ketika ada orang yang mengetuk pintu ruangannya. Begitu masuk, dia terlihat sedang mengoreksi tugas mahasiswa. Pasalnya, aku melihat setumpuk kertas folio di mejanya.
“Selamat siang, Pak Al.”
“Ya, siang.”
Aku segera duduk, lalu mengeluarkan bulpoin dan buku. Kami ini rekan kerja, tetapi entah kenapa aku merasa seperti hendak bimbingan. Apa mungkin karena aura Mas Al itu kuat, ditambah situasi canggung di antara kami yang membuatku merasa serba salah.
“Jadi ada apa, Pak, kenapa saya dipanggil kemari?”
“Ternyata, acara besok rabu itu tidak sesederhana penjelasan Pak Fadli.” Dia menjawab dengan mata masih menatap lembar tugas mahasiswa. Jujur, sebetulnya itu tidak sopan.
“Maksudnya?”
“Setelah acara selesai, delegasi yang dikirim harus membuat karya tulis. Seperti apa temanya, saya belum tahu pasti. Pada intinya, ada karya yang dihasilkan setelah ikut acara itu. Tetap mau ikut?” kali ini Mas Al menatapku, meski hanya beberapa detik.
“Pastilah, Pak. Kesempatan seperti ini mungkin belum tentu datang dua kali. Saya ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya. Sekaligus belajar sebanyak-banyaknya dari orang-orang yang berada di atas saya.”
“Kalau misalnya karya itu dijadikan jurnal dan membutuhkan biaya publikasi yang tidak sedikit, tidak masalah?”
“Tidak masalah.” Aku menjawab mantap.
“Kalau begitu, saat ini tinggal satu masalah lagi.”
“Apa itu?”
“Saya orang analisis dan Bu Anna orang terapan. Ada usul kita akan mengambil tema apa?”
Entah kenapa, aku merasa senang hanya karena mendengar kata ‘kita’. Ini benar-benar menggelikan dan tak tahu malu.
“Kita bisa ambil kalkulus, Pak. Itu kan semacam jembatan antara analisis dan terapan. Bagaimana?”
“Saya keep usulnya.”
“Kalau Pak Al ada usul apa?”
“Sebetulnya sama, saya juga kepikiran kalkulus. Tapi mungkin akan lebih condong ke tema analisisnya.”
“Tidak apa-apa, Pak. Meski saya orang terapan, saya kan tetap belajar analisis.”
Percayalah, meski obrolan kami cukup banyak, Mas Al tetap fokus pada tugas-tugas mahasiswa di depannya. Hanya sesekali saja dia menatapku, itu pun tak lama.
“Ya sudah, itu saja. Saya akan cari temanya. Silakan Bu Anna juga cari. Nanti setelah dapat, kita pilih yang paling cocok.”
“Siap, Pak. Tiga cukup?”
“Sangat cukup.”
Aku menegakkan badan hendak pamit, tetapi mendadak enggan sekali beranjak. Aku menatap Mas Al yang masih saja berkutat dengan kertas-kertas di depannya.
“Pak Al ...” panggilku pelan.
“Ada apa?” Dia menoleh.
“Saya mau minta izin lima menit saja buat bertindak kurang professonal.” Sepertinya aku tidak tahan lagi kalau diperlakukan seburuk ini.
“Apa maksudnya?”
Aku menarik napas panjang. “Karena apa yang akan saya katakan setelah ini sedikit menyinggung masa lalu kita yang jelas di luar pekerjaan.”
“Silakan. Dan pegang kata-kata yang burusan. Tidak lebih dari lima menit.”
Aku mengangguk.
Mas Al kini menatapku, terlihat menunggu. Meski begitu, masih saja tatapan matanya tidak ada ramah-ramahnya.
“Pak, saya tahu, apa yang saya lakukan di masa lalu sangatlah keterlaluan. Saya minta maaf untuk itu. Tapi bolehkah kalau saya minta satu hal?”
“Apa?”
Kali ini kuberanikan menatap mata Mas Al lekat-lekat.
“Saya ingin Pak Al memperlakukan saya layaknya teman dosen yang lain. Setidaknya di lingkungan kampus saja. Jangan buat saya merasa buruk di depan sesama rekan kerja. Saya tahu saya agak tidak tahu diri, tapi setidaknya saya ingin bekerja dengan tenang seperti yang lain. Kita di kampus adalah teman dosen, bukan mantan kekasih. Kalau mau bicara professional, bisakah jangan setengah-setengah? Bukankah sekarang hubungan Pak Al dengan saya sama saja dengan teman dosen yang lain? Kenapa perlakuan dengan saya sangat berbeda? Saya bilang ini karena waktu itu Pak Fadli seolah menenangkan saya dengan mengatakan kalau Pak Al baik. Itu pasti karena beliau sadar Pak Al terlalu acuh tak acuh ke saya. Dan Bu Nur sepertinya sadar ada yang tidak beres di antara kita.” Aku menjeda kalimatku sejenak.
“Pak Al pasti ingat, menjadi dosen adalah salah satu impian besar saya. Ketika sekarang saya bisa mencapainya, tolong jangan rusak itu. Saya tidak minta diperlakukan lebih, memangnya saya siapa? Saya hanya minta diperlakukan selayaknya yang lain. Itu saja.”
Mas Al terdiam. Dia kini menatapku tak kalah lekat. “Kalau memang mamumu begitu, berjanjilah untuk tidak melibatkan perasaan dalam setiap interaksi kita. Sekecil apa pun itu. Karena hubungan kita di masa lalu sudah betul-betul selesai.”
Jujur, itu terdengar sangat menyakitkan. Namun, aku langsung mengangguk mantap. “Iya, saya janji.”
“Ya sudah. Urusan kita siang ini cukup sampai di sini.”
Aku tersenyum. “Nah, kalimat seperti ini juga jauh lebih baik daripada mengusir saya secara terang-terangan seperti waktu itu. Terimakasih, Pak Al. Saya permisi.”
“Ya.”
Begitu keluar, satu bulir air mataku menetes. Namun, aku buru-buru menghapusnya.
Kalimat Mas Al tadi memang benar. Hubungan kami di masa lalu sudah betul-betul selesai.
***