Aku sudah menyiapkan mental secara penuh hari ini. Aku harus professional, tidak boleh seperti kemarin. Kalau sedikit-sedikit menangis, bagaimana aku akan maksimal dalam mengajar?
Anggap saja kemarin aku syok berat. Banyak hal tak terduga datang begitu tiba-tiba, jadi aku perlu menyesuaikan diri betul-betul.
Mulai hari ini, aku akan menganggap Mas Al hanyalah rekan kerja biasa—kalau bisa. Dan aku yakin pasti bisa. Setidaknya aku harus belajar mengenyampingkan perasaanku padanya ketika di kampus.
Aku tidak boleh terlihat aneh. Semua orang di sini tidak ada yang tahu kalau aku dan Mas Al adalah mantan kekasih. Jangankan mantan kekasih, mereka bahkan mengira kami tidak saling kenal sebelumnya.
“Bismillah ... semuanya pasti lancar!” Aku tersenyum lebar ke arah kaca spion mobil. Setelah merapikan kerah yang agak miring, aku segera keluar.
Dan ternyata, aku benar-benar apes. Belum sempat aku menutup pintu, aku sudah melihat Mas Al berdiri jarak satu mobil dariku. Sepertinya dia juga baru saja datang.
Hari ini dia mengenakan kemeja warna abu muda. Rambut disisir rapi dengan gaya jidat diperlihatkan.
Sejak kapan style-nya jadi begitu? Apa dia ada niat tebar pesona?
“Ehm!” aku sengaja berdehem agak keras.
Mas Al menoleh, dan dia hanya menatapku tanpa ekspresi. Aku mengusahakan untuk tersenyum ramah, tetapi dia tidak membalas. Dia berjalan cepat masuk fakultas, seolah tidak peduli dengan keberadaanku.
Sabar, An. Kamu memang pantas diperlakukan seperti itu.
Aku menghela napas panjang, mencoba menetralkan rasa nyeri di d**a. Ini masih pagi, kenapa sudah seperti ini?
“Oke, aku harus tetap baik pada siapa pun termasuk dia. Terserah kalau dia akan mengabaikanku seperti itu.” Aku menggumam pelan, lalu segera masuk fakultas dengan langkah cepat.
Begitu tiba di ruang dosen, kulihat Mas Al sedang jongkok di depan meja yang ada di sudut kiri. Ah, itu bekas mejanya dulu. Aku ingat kalimat Bu Santi kemarin.
“Bu Anna ...”
“Iya?” Begitu aku menoleh, ternyata itu suara Pak Fadli. Aku belum terlalu familiar dengan suara beliau. “Oh! Selamat pagi, Pak Fadli.”
“Iya, selamat pagi.” Pak Fadli tersenyum ramah.
Beliau jalan mendekat, sementara aku hanya diam menunggu. Jujur, aku agak bingung sekarang.
“Bu Anna nanti pakai meja itu, ya.” Pak Fadli menunjuk meja sudut kiri—ya ampun, meja bekas Mas Al dulu. Si Empunya bahkan masih ada di sana. “Kebetulan Pak Al kan sudah pindah di lab, jadi meja itu kosong. Makanya saya minta Pak Al untuk mengambil seluruh barangnya yang masih tersisa. Iya, kan, Pak?”
“Iya, Pak.” Mas Al tersenyum ramah pada Pak Fadli. Benar-benar hanya pada Pak Fadli. “Ini sudah selesai. Kebetulan barang-barang saya di sini memang tinggal sedikit.”
“Baik, baik. Terimakasih, Pak Al.”
“Sama-sama, Pak. Memang sudah seharusnya saya mengosongkan meja ini.” Mas Al lagi-lagi tersenyum, dan lagi-lagi hanya ditujukan pada Pak Fadli. Sedikit pun tidak ada untukku.
“Bu Anna sudah kenalan sama Pak Al, kan? Kemarin Bu Santi bilang kalian sudah ketemu.”
Aku langsung mengangguk. “Sudah, Pak. Kebetulan setelah ini saya mau minta tanda tangan Pak Fadli. Biar nanti berkasnya segera saya serahkan kembali ke Pak Al buat diurus lebih lanjut.”
“Oh iya, boleh-boleh. Biar segera diurus SK-nya.”
“Saya ada ngajar sampai siang, jadi ketemu saya setelah jam satu,” ucap Mas Al begitu berdiri di sebelahku.
“Iya, Pak. Siap.”
“Pak Al, jangan galak-galak begitu.” Pak Fadli menepuk pundak Mas Al pelan.
Bicara Pak Fadli, aku tebak umur beliau kisaran akhir empat puluhan atau awal lima puluhan. Aura beliau entah kenapa terasa positif. Tipe bapak-bapak yang ramah dan murah senyum. Sangat berbeda dengan sekretarisnya yang acuh tak acuh ini. Setidaknya di mataku sekarang.
“Saya tidak galak, Pak. Saya hanya memberi tahu Bu Anna saja.” Tiga kali sudah Mas Al tersenyum, tetapi aku tidak bisa merasakan keramahannya. Ya karena memang, senyumnya yang sekarang pun bukan untukku. Ketika dia tersenyum, sedikit pun tatapannya tak terarah padaku.
Sepertinya, tersenyum padaku adalah sebuah dosa besar baginya. Senyumnya semalam pasti hanya basa-basi karena ada kekasihnya yang cantik itu.
“Intinya, kita sebagai dosen lama harus buat dosen baru merasa betah.”
“Siap, Pak, siap.”
Bilang siap, tetapi senyumnya itu langsung pudar begitu menatapku. Baiklah, aku juga harus terbiasa dengan ini.
Akhirnya, Mas Al pamit dan aku pun segera menuju meja Pak Fadli yang ada di paling depan. Meja Pak Fadli berada satu ruang dengan meja dosen yang lain. Hanya saja, meja beliau diberi sekat khusus serta jeda yang cukup luas.
“Jangan takut sama Pak Al, Bu Anna. Kadang-kadang dia memang kelihatan menakutkan, tapi dia aslinya baik,” ucap Pak Fadli tepat ketika aku baru saja duduk di depan beliau.
Saya tahu, Pak. Saya sangat tahu. Mas Al memang orang baik. Sayangnya dia kurang beruntung karena pernah mengenal perempuan jahat seperti saya.
“Iya, Pak. Saya baik-baik saja, kok. Saya paham, beberapa orang memang pembawaannya rawan membuat orang lain salah paham.” Aku mencoba membalas senetral mungkin.
“Iya, betul.” Pak Fadli mengangguk. “Ya sudah, sekarang mana saja yang harus saya tandatangani?”
Setelah selesai minta tanda tangan Pak Fadli, aku segera menuju meja bekas Mas Al yang kini akan menjadi mejaku. Aku tersenyum miris.
Kebetulan macam apa lagi, ini? Kenapa sampai separah ini? Tidak cukup aku menjadi rekan kerja Mas Al, sekarang aku harus menggunakan meja bekasnya.
Sebenarnya, Tuhan merencanakan apa untukku?
Rasa yang campur aduk ini akhirnya agak mereda ketika dosen lain yang kemarin belum kenalan denganku mengajakku berkenalan. Mereka semua terlihat baik, aku harap memang betul-betul baik.
***
Tepat pukul satu siang aku sudah berdiri di depan pintu ruangan Mas Al. Aku mengetuk tiga kali dan langsung terdengar sahutan dari dalam.
Tentu saja, atmosfer kali ini berbeda dari kemarin. Kulihat Mas Al sedang makan. Dia menunjuk kursi, mengisyaratkanku untuk duduk. Dia menghabiskan makanannya cepat-cepat, lalu mengusap bibirnya dengan tisu. Setelah itu, dia menegak air mineral sampai sisa separuhnya.
Cara makannya masih sama persis. Sangat bersih.
“Tadi sayang bilang temui saya setelah jam satu.”
“Ini sudah jam satu,” sahutku cepat.
“Kalimat ‘setelah’ itu mengandung makna lebih. Bukan tepat.”
“Satu detik harusnya sudah dihitung lebih.”
Mas Al menghela napas pelan, sementara aku hanya meringis. Berikutnya, aku segera mengeluarkan amplop yang kemarin. “Pak Fadli sudah tanda tangan di semua lembar yang diperlukan. Saya harus apa lagi setelah ini?”
“Keluar.”
“Hah?”
“Ini sudah cukup. Kalau urusan pemberkasan sudah selesai, nanti saya hubungi lagi.”
“Nomor saya ganti.” Itu kalimat spontan yang membuatku kaget sendiri. “M-maaf, Pak.” Aku buru-buru menunduk.
Kata-kataku barusan entah kenapa terdengar seperti membuka luka lama. Terakhir kali aku mengganti nomor ya demi menghindari Mas Al. Kalau bukan karena itu, bisa kujamin saat ini aku masih menggunakan nomor yang lama.
Aku ini bukan tipe orang yang suka gonta-ganti nomor, jadi aku tidak akan mengganti nomor kalau bukan karena kepepet. Ini terbukti dengan aku yang baru ganti nomor tiga kali seumur hidup.
Pertama, itu saat aku baru pertama kali dibebaskan memegang ponsel sendiri. Saat itu aku belum terlalu peduli dengan masa aktif nomor, jadi aku membiarkan nomorku hangus begitu saja. Kedua, itu saat ponselku hilang dan aku malas ke pusat operator untuk menyelamatkan nomor yang ikut raib bersama ponsel. Ketiga, itu tadi. Ketika aku ingin memutus akses komunikasi dengan Mas Al.
“Saya paling tidak suka dengan orang yang hobi ganti-ganti nomor, terlebih nomor itu didaftarkan untuk kepentingan pekerjaan.”
“Iya, Pak. Saya akan mengusahakan nomor saya tetap aktif.”
“Sudah dimasukkan ke grup, kan?”
Aku mengangguk. “Sudah.”
“Ya sudah, silakan keluar.”
Aku diusir. Baiklah, keperluanku siang ini memang sekadar menyerahkan berkas.
Akhirnya, aku segera berdiri dan mengangguk untuk pamit pergi. Namun, ketika aku balik badan, tanganku tak sengaja menyenggol gelas anyaman yang berisi banyak alat tulis. Benda itu ambruk, membuat isinya jatuh berserakan di lantai.
“Ya ampun, Pak, maaf!” Aku reflek jongkok untuk memunguti benda-benda yang jatuh. Ada yang menggelinding ke bawah meja, membuatku harus ekstra untuk mengambilnya. “Ada berapa spidol, Pak?”
“Enam. Yang dua kecil.”
“Kalau bolpoinnya?” tanyaku lagi.
“Satu hitam dan satu merah.”
Aku segera menghitung spidol dan bolpoin yang sudah berhasil kuambil. “Ah, sudah keambil semua.”
Ketika aku hendak berdiri, kepalaku tak sengaja membentur sudut meja. Itu tidak sakit karena ternyata ada tangan yang menutupinya.
Seketika, kenangan yang lalu-lalu berputar jelas di ingatanku. Saat di mana aku yang agak ceroboh ini sering sekali terbentur benda keras, tetapi hampir selalu ada tangan yang melindungi. Si Empu tangan sering menegurku untuk berhati-hati, tetapi aku yang bebal ini masih saja mengulangi.
“T-terimakasih, Pak.” Tanpa sadar suaraku sudah bergetar. Kuberanikan menatap lurus mata Mas Al, dan ternyata dia juga sedang menatap lurus mataku. Mungkin ada lima detik lamanya, kami hanya saling menatap tanpa suara. “M-mas, a-aku minta m-maaf—”
“Permintaan maafmu ditolak. Saya tidak suka membahas masalah pribadi di kampus. Keluar sekarang!”
Aku berjengit kaget karena dua kata terakhir itu benar-benar ditekan. Detik itu juga aku segera mengambil gelas anyaman dan memasukkan seluruh spidol dan bolpoin ke sana. Selanjutnya, aku menunduk sejenak dan buru-buru pergi.
Tidak, aku tidak boleh menangis lagi. Aku memang pantas diperlakukan seperti ini. Benar-benar pantas!
***
Sore ini aku pulang telat karena harus menata barang-barang di meja baruku. Barang-barang yang kumaksud adalah buku, tempat spidol, rak berkas, dan beberapa lainnya. Tak lupa, aku juga mendesain sedemikian rupa agar mejaku tidak membosankan. Percaya atau tidak, memiliki susunan meja yang rapi dan cantik akan menambah rasa ‘betah’.
Setelah dikira cukup, aku segera mengunci laci. Kuncinya tadi sudah ada di rak, sepertinya Mas Al sengaja meninggalkannya di sana. Dia tidak menyisakan satu barang pun di meja itu.
Jujur, bicara Mas Al hanya akan membuat mood-ku jadi buruk. Setidaknya sore ini saja, aku akan menganggap dia tidak ada. Atau lebih tepatnya, aku akan menganggap hari ini kami tidak bertemu.
Aku tahu aku sudah berlaku jahat padanya. Aku tidak pernah membela diri untuk yang satu ini. Tapi perlukah dia sampai bersikap seperti itu?
Caranya mengusirku dari ruangannya tadi benar-benar membuatku sakit hati. Dia memang tidak membentak, tetapi penekanan kalimatnya membuatku merasa sangat buruk.
Ya sudahlah ...
“Belum pulang, Bu Anna?” tanya Bu Santi yang terlihat baru saja datang dari luar. Sepertinya dia baru selesai mengajar karena aku melihat ada map absen di antara buku yang dibawa.
“Belum, Bu. Sebentar lagi, mungkin. Saya masih beres-beres.”
“Sudah selesai, kan, ngajarnya?”
“Sudah selesai sejak jam tiga, Bu.”
“Ini saya malah baru selesai.” Bu Santi duduk di mejanya, lalu meneguk air mineral dari botol kemasan.
Bu Santi ini masih muda. Kemarin dia sempat menyinggung anaknya yang baru masuk PAUD. Aku taksir umurnya awal tiga puluhan.
“Bu Santi mau ke parkiran bareng atau enggak?”
“Duluan saja, Bu An. Saya masih harus membereskan ini.”
Aku mengangguk. “Ya sudah, Bu. Kalau begitu saya duluan.”
“Iya, silakan.”
Dari ruangan dosen menuju pintu keluar fakultas aku harus melewati lorong panjang antara kelas-kelas yang digunakan untuk perkuliahan. Karena hari sudah sore, aku mulai merasakan energi yang kuat di area ini. Itu agak membuat sesak, tetapi beruntungnya mereka tidak menampakkan diri padaku. Aku harap jangan sampai.
Selama melewati lobi, cukup banyak mahasiswa yang menyapaku. Jujur, aku belum familiar dengan satu pun dari mereka. Kemungkinan besar mereka adalah mahasiswa matematika. Kalau tidak, biasanya mahasiswa cenderung cuek dan tidak peduli.
Pengalamanku dulu juga begitu. Kalau dengan dosen jurusan lain, aku tidak asal menyapa. Bukan maksud tidak sopan atau bagaimana, memang tidak adatnya. Kemungkinan tidak dihiraukan juga sangat besar. Bahkan dengan dosen satu jurusan sekalipun, itu juga tidak menjamin dapat respon yang sepadan karena dosen cenderung tidak hafal dengan seluruh mahasiswanya. Berbeda dengan mahasiswa, rata-rata mereka cenderung hafal dengan dosennya.
Namun, tetap saja hal semacam ini tidak bisa dibuat patokan dan dipukul rata. Situasi dan kondisi kejadian sangat berpengaruh. Atau kalau misal memang ada perlu, itu lain cerita.
Sesampainya di parkiran, aku melihat orang yang tak seharusnya kulihat. Tidak cukup tadi kami datang di jam yang sama, sekarang kami harus pulang di jam yang sama pula.
“Bu Anna!” aku agak kaget karena tiba-tiba ada yang memanggilku cukup keras. Kini, tiga orang mahasiswa—semuanya laki-laki— sedang berjalan cepat ke arahku.
“Ada apa, ya?”
“Tadi Bu Anna ninggalin ini di kelas. Maaf baru kami kembalikan, soalnya hari ini kami kuliah full.” Salah satu dari mereka menyerahkan bolpoin—ah! Itu adalah bolpoin couple antara aku dan Mas Al.
Dulu aku dan Mas Al pernah membeli dua bolpoin yang sama persis, lalu kami mengukir inisial nama kami di keduanya. Saat itu ada seorang bapak-bapak tua yang menyediakan jasa ukir nama, jadi kami memanfaatkan itu. Masing-masing dari kami membawa satu.
“Makasih, ya.”
Mahasiswa yang tadi menyerahkan bolpoin ini langsung mengangguk. “Sama-sama, Bu.”
“Bu, itu ada huruf A & A. Itu Bu Anna dengan siapa?”
Aduh! Aku yakin Mas Al pasti mendengarnya. Mobilnya dari tadi belum pergi.
“Itu Anna dan Anna.” Aku menjawab asal.
“Mana mungkin, Bu! Wah, sepertinya kami sudah tidak ada harapan.” Salah satu dari mereka terlihat pura-pura kecewa.
“Kalian, ini. Sudah, ya. Saya mau pulang. Sekali lagi terimakasih.”
Mereka bertiga mengangguk kompak. “Sama-sama, Bu. Kalau begitu kami permisi.”
“Iya.”
Begitu balik badan, kulihat Mas Al baru saja menjalankan mobilnya. Sudah pasti dia tidak menyapa. Dia main pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih berdiri mematung di parkiran fakultas.
Aku menunduk sejenak, menatap bolpoin dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Meski harganya murah, tetapi aku masih selalu menggunakan benda ini. Aku selalu mengisi dengan tinta baru tiap kali tinta yang lama habis.
A & A. Tentu saja, itu adalah Aldika & Alanna.
***