Pembelaan Satya

1059 Words
"Ada apa, ini?" tanya Satya yang baru sampai ke ruang makan setelah sebelumnya ia mengajak Galen ke mobil untuk mengambil sesuatu." "Istri kamu ini, Mas, tuh! Udah tau aku sama Selva mau barbeque-an, tapi dia malah masak. Dimintai tolong bikin bumbu aja nolak," jelasnya dengan nada merajuk. Deg! Cara Sinta memanggil Satya membuat jantung Kirana menghentikan detaknya sejenak. Dua tahun mencoba hidup berdampingan dengan Sinta, baru kali ini dia mendengar wanita itu memanggil papa si kembar dengan sebutan 'Mas'. Padahal, selama ini, Sinta memanggil dengan sebutan nama. Entahlah ia merasa itu tidak wajar. Eni yang masih berdiri di samping Kirana meraih tangan sang majikan yang tergenggam kuat di sisi tubuh. Berusaha memberikan ketenangan pada wanita yang saat ini sedang dipojokkan. "Aku yang minta dibuatin sup iga," sahut Belva yang sejak tadi memerhatikan keributan dari tangga. Ia menggerakkan tungkainya mendekati meja makan, melewati dua kubu yang sedang berseteru tanpa mau repot-repot memalingkan wajah ke arah mereka. "Tapi kan ibu sudah siapin bahan untuk barbeque-an, Bel," ujar Selva tidak terima. "Ya udah, sih. Kalau mau barbeque-an, barbeque-an aja. Nggak ada yang larang, kok." Dengan santainya Belva menarik kursi yang biasa ia duduki lalu mengisi mangkuk dengan sup favoritnya. "Nggak bisa gitu, dong, Bel! Kamu—" "Selva … cukup!" titah Satya tegas menyela kalimat putrinya. "Tapi, Pa—" "Berhenti berdebat atau nggak ada acara bakar-bakar?" Selva terdiam. Gadis itu menunduk takut sembari meremas ujung bajunya. Papanya memang tidak mengucapkan dengan keras, tapi ia tahu jika saat ini pria tersebut tidak ingin dibantah. Terlebih melihat raut wajah papanya yang menyeramkan. Suasana ruang makan yang biasanya hangat, kini berubah menjadi tegang dan mencekam. Saat si tuan rumah kembali bersuara tegas dengan wajahnya yang mengeras. Anak-istri, serta para pekerja di rumah itu tidak ada yang bersuara. Pasalnya, selama dua tahun terakhir, ini pertama kalinya Satya terlihat emosi meski tidak meledak-ledak seperti dulu. Kirana melirik ke arah Satya, lebih tepatnya pada sang buah hati yang masih berada di gendongan suaminya itu. Bibir bocah laki-laki berambut hitam legam itu tertarik ke samping dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk. Galen langsung mengulurkan kedua tangannya dengan tubuh yang dicondongkan ke samping saat melihat Kirana mendekat. Setelah berhasil mengambil alih Galen, Kirana langsung mendekapnya erat dan membawanya sedikit menjauh, sambil menepuk-nepuk lembut punggung balita yang kini menyembunyikan wajah di ceruk lehernya. "Astaga, ini cuma masalah bumbu, Mas. Buatnya nggak lebih lama dari masak sup. Masa dia nggak sempat buatin. Melihat Sinta terus menyalahkan sang istri, Satya semakin meradang. "Terus kenapa bukan kamu yang buat? Tidak punya waktu atau takut tangan kamu bau bawang?" sindir Satya. Wanita berdecak dan melipat tangan di bawah d**a. Menatap Satya tak kalah sengit seraya berkata, "Kenapa kamu bentak-bentak Selva? Di sini yang salah Kirana. Kalau aja dia nyempatin diri untuk buat bumbu yang prosesnya nggak lebih lama dari masak sup iga, nggak bakal gini jadinya.” Mendengar Sinta terus menyalahkan sang istri, Satya semakin meradang. "Kalau begitu kenapa kamu nggak buat sendiri dan malah menyalahkan istri saya. Nggak punya waktu atau takut tangan kamu bau bawang?" sindir Satya mengingat bagaimana dulu wanita itu menolak untuk memasak karena tidak mau jari-jarinya bau dan kotor. “Bu–bukan gitu. Maksud aku, Kirana harusnya nggak perlu repot-repot masak sup, supaya kita bisa—” “Cukup Sinta!” hardik Satya membuat beberapa orang disana berjingkat. Bahkan, Galen yang mulai tenang kembali menangis mendengar suara Satya yang menggelegar. Bahu pria itu terlihat bergerak naik-turun. Kedua tangannya juga terkepal erat di samping tubuh. Sekuat tenaga ia berusaha menahan luapan emosi yang ia tahan sejak Selva menuduh Kirana. Namun, kesabarannya yang sudah sangat tipis semakin terkikis oleh ocehan Sinta yang terus menyalahkan istrinya. Jujur saja ia sudah muak melihat sikap wanita itu yang semena-mena di rumah ini. Sadar jika tindakannya tadi membuat Galen ketakutan, pria itu pun langsung menatap penuh penyesalan ke arah sang istri yang sibuk menenangkan putra mereka. Ia memejamkan mata sejenak untuk meredam amarahnya, sebelum kembali menatap wanita si pembuat masalah. Dengan mata yang masih menyorot tajam, Satya dengan jelas mengatakan jika dia lah yang melarang Kirana untuk membuatkan bumbu. Ia juga mengingatkan Sinta jika dia tidak memiliki hak untuk memerintah para pekerja di rumahnya, apalagi sang istri yang notabene nyonya rumah. "Meskipun kamu ibunya anak-anak, di rumah ini status kamu cuma sebagai tamu. Jadi, tolong hargai apapun aturan di sini dan jangan bertindak semaunya," pungkasnya dengan suara rendah yang terdengar menyeramkan. Mbok Yah yang saat pertengkaran terjadi posisinya sedang di dapur, keluar dengan membawa sebuah food container berbahan plastik dengan tutup berwarna biru. Wanita yang usianya hampir setengah abad itu menghampiri Selva yang berdiri bersisian dengan ibunya. “Mbak Selva, ini bumbunya. Tadi waktu selesai masak sup, Mama sempetin bikin ini,” ujar wanita itu sembari menyerahkan wadah berisi bumbu. Gadis itu menerima wadah tersebut, lalu menatapnya. Kemudian dengan sedikit ragu ia mengangkat padangan untuk menatap Kirana yang sedang sibuk menenangkan adiknya. Ia merasa bersalah karena telah menyakiti hati wanita yang selalu memberinya perhatian dan kasih sayang. “Kenapa baru ngasih tau sekarang, Mbok?” Kali ini Sinta menyalahkan Mbok Yah. Kirana yang mendengar itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia tidak tahu kenapa beberapa bulan ini sikap ibu si kembar itu kembali seperti sedia kala. Apakah ini karena ia terlalu memberi kebebasan pada wanita itu? Atau, memang inilah watak aslinya? “Mbak, tolong, nggak usah diperpanjang! Jangan buat suasana semakin nggak enak. Yang pentingkan sekarang semua bahan sudah siap. Silakan mulai acara bakar-bakarnya,” ujar Kirana menengahi. Kirana memejamkan mata dan menarik napas dalam saat Sinta dan Selva keluar dari ruang makan. Kemudian, berjalan mendekati meja makan dan duduk tepat di depan Belva yang menatap sendu padanya. Percayalah, berusaha untuk tetap tenang di saat ada orang yang selalu memancing emosi itu sangat melelahkan. “Ma,” panggil Belva dengan mata yang menyiratkan kekhawatiran. “Mama nggak papa, Sayang.” “Mbak, minum dulu.” Eni menyerahkan segelas air putih pada Kirana, lalu mengambil alih Galen dan membawanya ke halaman belakang saat Satya berjongkok di depan wanita itu. “Maafin Selva ya, Sayang. Jangan diambil hati. Mungkin dia cuma cemburu karena mengira kalau kamu cuma nurutin maunya Belva. Jangan marah, ya,” ujar Satya berusaha menenangkan perasaan Kirana yang pasti tersakiti oleh kata-kata Selva. Pria itu takut tuduhan Selva tadi membuat luka yang dulu pernah ia torehkan pada sang istri kembali berdarah dan membuat wanita itu berpikir untuk meninggalkan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD