Setelah keributan itu, Eni dan suami pamit pulang. Sepasang suami istri itu membatalkan niatnya untuk ikut makan malam. Mereka menolak secara halus saat Kirana sedikit memaksa.
"Kami pamit dulu, Mbak. Makasih untuk bungkusannya." Eni mengangkat tas plastik yang berisi dua wadah makanan.
"Maaf, ya, Mbak. Gara-gara ada sedikit insiden, kita nggak jadi makan bareng," ujar Kirana tak enak hati. Sejujurnya, dari semua perasaan yang berkecamuk dalam dirinya, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Eni dan sang suami yang merupakan orang baru di kehidupan keluarganya, harus melihat kejadian tidak mengenakkan itu.
"Oalah, Mbak. Ndak papa. Setiap hari kita kan udah makan bareng."
"Jujur aja, Kirana malu banget. Apalagi sama suami Mbak Eni. Baru pertama kali masuk ke rumah ini langsung disuguhi pertengkaran."
"Ndak papa, ndak papa. Kami ngerti, Mbak. Hidup berdampingan sama masa lalu itu ndak gampang." Dan Eni salut dengan kesabaran Kirana menghadapi tingkah Sinta yang entah kenapa akhir-akhir ini berubah.
Padahal, saat ia pertama kali bekerja di rumah ini, menurutnya Sinta merupakan sosok yang baik. Wanita itu tidak pernah mengusik kehidupan rumah tangga Kirana dan hanya fokus mendekati si kembar.
Namun, beberapa bulan terakhir wanita itu mulai menunjukkan sikap berbeda. Yang paling jelas terlihat adalah usahanya untuk dekat dengan si tuang rumah, Satya.
Semoga saja, wanita itu hanya ingin memperbaiki dan menjalin komunikasi dengan Satya demi Selva dan Belva. Bukan untuk menjadi duri dalam rumah tangga Satya dan Kirana.
Setelah Eni dan suaminya pulang, Kirana kembali ke taman belakang untuk membantu Sinta dan Selva.
Ia mengedarkan pandangan keseluruhan penjuru halaman belakang yang setahun lalu direnovasi. Mengabsen satu persatu penghuni rumah. Di sofa panjang yang biasa Mbok Yah gunakan untuk istirahat, ada Belva yang duduk dengan kaki berselonjor sambil memainkan Ipad-nya.
Di sisi kiri ada Selva dan Sinta yang sedang mengoleskan bumbu pada daging, iga dan lainnya untuk dibakar Pak Mail dan Mbok Yah. Lalu, dimana suami dan putranya? Dia tidak melihat sosok pria bertubuh tegap itu di ruang keluarga, ruang makan dan di sini.
"Mbak Belva," panggilnya untuk meraih atensi gadis yang suka menggambar animasi itu. Gadis ini pula yang sering membuatkan cover untuk n****+-n****+ online-nya
Bukan hanya Belva yang menoleh, Selva juga ikut memalingkan wajah padanya, menatap dengan sorot sendu.
"Iya, Ma." Belva menjawab gadis itu menurunkan kedua kakinya, berpikir jika Kirana ingin duduk di sampingnya.
"Galen mana?"
"Oh, sama Papa di kamar."
Kirana berdecak. Ia kesal karena pria itu tidak mengerti situasi. Tidak ingatkah Satya kalau beberapa menit yang lalu ia dituduh sengaja ingin membuat Belva dan suaminya itu tidak ikut dalam acara yang diadakan Sinta?
Kirana membalikkan badan, mengayunkan langkah dengan tergesa-gesa menuju lantai dua, dimana kamar mereka berada dan mengabaikan tatapan sendu Selva.
"Maafin Papa, ya, Dek."
Itu adalah kalimat pertama yang Kirana dengar saat membuka pintu kamar. Galen sedang duduk di atas kasur dan Satya bertelungkup di hadapannya sambil memegang kaki si balita.
"Papa ayah," celoteh si balita dengan kata yang belum bisa diucapkan dengan sempurna.
"Bukan marah. Cuma jengkel gara-gara Mama disalahin sama Mbak Selva. Nanti kalau Mama marah terus bawa Galen pulang ke rumah Oma, habislah Papa di gebukin Om Bima."
Galen yang belum memahami penjelasan panjang lebar sang papa, hanya bisa diam dan berkedip lucu. Detik berikutnya, mata bulat Galen menangkap kehadiran Kirana.
"Mamma."
"Appa?" sahut Kirana mengikuti gaya bicara putranya. Wanita itu tersenyum lalu menghampiri sang buah hati yang kini sudah berdiri sambil mengangkat kedua tangan.
"Nen …," ujarnya membuat Satya mendengkus dan menghadapkan wajahnya kasur. Lalu menggeram kesal.
"Kapan berhentinya, sih, Dek?" ujarnya gemas sambil membawa tubuhnya untuk duduk menghadap Kirana yang sudah memangku Galen dan mengeluarkan salah satu buah dadanya.
"Nanti kalau sudah bosan," jawab Kirana lembut. Ia sedikit meringis saat Galen menghisap putingnya.
Satya memerhatikan bagaimana semangatnya Galen menyedot air s**u langsung dari sumbernya. Sebelah tangan bocah itu bergerak mengusap-usap d**a Kirana yang masih tersimpan di balik baju.
Tanpa sadar, pikiran normalnya mulai berimajinasi yang iya-iya. Maklumlah, sudah beberapa malam ini dia harus rela tidur memeluk guling karena tubuh Kirana dimonopoli oleh bocah laki-laki hasil karya mereka berdua.
"Apa lihat-lihat?" tegur Kirana saat menyadari ke mana fokus pandangan sang suami. Ditambah lagi dengan benjolan di leher pria itu yang bergerak naik-turun. "Lagi mikir jorok, ya? Ayo, ngaku!"
Satya yang tersentak, lekas menyanggah dengan suara terbata-bata. "Ng–nggak, kok. Sembarangan!"
Kirana melengos sambil mencebikkan bibir. Ia kembali memerhatikan balita yang belum berhenti menikmati ASI.
"Wajah mirip Mama, kelakuan nggak jauh beda sama Papa," celetuk Satya kemudian. Sambil menekan pipi gembil Galen dengan telunjuk.
"Ih, amit-amit." Kirana mengetuk jidatnya dengan tangan sebanyak dua kali, lalu mengetuk kasur dengan jumlah yang sama.
"Telat, Yang. Tuh, udah mulai ngikutin jejak Mas." Satya menunjuk dengan mata.
Kirana mengikuti arah pandang Satya. Sekarang dia mengerti apa yang dimaksud pria itu. Sontak saja ia langsung menghadiahi suaminya dengan pelototan.
Bukannya berhenti Satya kembali melanjutkan ucapannya. "Yang sebelah diisap, yang sebelahnya lagi diremas gemas." Sesantai itu Satya berucap.
Kirana mengambil guling kecil yang ada di sebelahnya lalu melemparkan pada Satya. "Dasar mesum."
"m***m nama tengahku, Sayang."
Satya terkekeh geli melihat pipi Kirana yang bersemu. Ia juga bingung kenapa sampai hari ini sang istri masih malu saat ia menyelipkan hal intim diobrolan mereka.
"Mas nggak turun?" Kirana mengalihkan topik. Bahaya kalau mereka terus membahas hal tadi. Bisa-bisa mereka akan terus berada di kamar hingga besok pagi.
"Nggak!" jawab Satya yang kini sudah berbaring sambil memainkan ponsel. Tatapannya berubah tajam saat melihat sebuah email yang masuk siang tadi.
"Jangan gitu. Ntar aku lagi yang disalahin. Turun, ya! Seenggaknya ikut icip-icip hasil bakaran mereka."
"Bakaran mereka atau Pak Mail? Mas bisa lihat dari jendela, Yang."
"Oh … pantesan betah di kamar. Ternyata lagi merhatiin mantan," sindir Kirana.
Satya bangkit seketika. Wajahnya yang semula mengeras, kini berubah panik. "Nggak gitu, Yang. Kan, Mas nggak sengaja. Lagian dia nggak mungkin mau bakar-bakar. Dia nggak suka bajunya bau asap."
Lagi, sepertinya Satya kembali salah memilih kalimat. Ia lupa jika membahas masalah mantan adalah topik yang paling sensitif untuk wanita. Salah bicara sedikit saja bisa jadi boomerang.
Galen yang sudah puas menyedot air s**u sang mama, kembali duduk di antara kedua orangtuanya. Bocah laki-laki itu mengambil mobil-mobilan lalu memainkan tanpa memedulikan dua orang dewasa yang sedang terlibat perselisihan.
"Wah, luar biasa sekali Om Satya." Kirana bertepuk tangan, bangga. "Udah lebih sepuluh tahun masih hafal sama kebiasaan mantan. Benar-benar mantan suami terbaik."
Kirana menjeda, menatap sang suami dengan sorot mengejek. Sementara yang di tatap terlihat bingung dan panik luar biasa. Suhu di ruangan itu mulai meningkat, membuat mesin pendingin ruangan tidak bisa menjalankan perannya dengan optimal.
"Gawat! Bisa gagal rencana malam ini!" batin Satya menggerutu kesal. Merutuki kebodohannya karena mulut lebih cepat bergerak daripada otak.
"Selain bawang dan asap, apalagi yang nggak disukai ibunya anak-anak? Ah, sekalian makanan favoritnya apa? Biar aku bisa menjamunya dengan baik, nanti."
Mengucapkan dengan tenang dan santai, tetapi terlihat jelas kecemburuan yang terpancar dari sorot mata putri bungsu Kamandanu itu.
Satya berdeham dua kali. Lalu menanggapi dengan nada jenaka mencoba mendinginkan suasana yang mulai memanas. "Cemburu, ya?"
Kirana tertawa sumbang. "Aku cemburu? Nggak lah."
Satya beringsut mengikis jarak. Memasang senyum jahil, lalu mencolek dagu istrinya yang sudah bersedekap dengan wajah datar. "Alah, bilang aja kalau kamu cemburu."
"Sorry, ya." Kirana menanggapi ketus.
"Yakin? Kalau aku ngobrol-ngobrol sama dia boleh nggak?" Satya memancing.
"Boleh. Nggak ada yang larang. Duduk sampingan juga boleh. Suap-suapan ya, silakan. Jalan bareng juga nggak masalah."
Setelahnya, Kirana berdiri, merapikan pakaian lalu memanggil Galen untuk ikut dengannya keluar dari ruangan ini.
"Yuk, Sayang, kita keluar. Besok kita jalan-jalan sama Om Ibas. Sekalian cari Papa baru yang lebih muda dan kaya. Soalnya Papa yang lama udah mau rusak," ujar Kirana sembari melangkah ke arah pintu dengan menggandeng putranya. Meninggalkan Satya yang terperangah.
"Yuk," sahut bocah itu tanpa memahami maksud ucapan mamanya, membuat Pria yang duduk di bibir ranjang semakin melebarkan mata.