“Menikah?”
Keyna membulatkan mata tak percaya. Bagaimana bisa hak yang seharusnya langsung menjadi miliknya justru harus ditahan hanya karena dia belum menikah? Sejak awal, sejak ayahnya tidak pernah berpihak lagi kepadanya, dia merasa bahwa hal-hal buruk mungkin akan terus terjadi. Dan benar saja dugaannya. Gadis itu berdecak keras.
“Aku sudah membesarkan nama Vallencia sampai produk-produk kita bisa masuk ke beberapa pasaraya besar. Ayah tahu bagaimana aku berusaha keras. Lalu bagaimana sesuatu yang sudah sangat jelas ini malah dipersulit dengan syarat yang sama sekali tidak berkaitan dengan apa pun?” protes Keyna tak terima pada pengacara yang membacakan surat wasiat ayahnya.
“Bagaimana bisa tidak berkaitan?” Joyce, ibu tirinya, menyela. “Pernikahan dan keturunan amat sangat berkaitan dengan keberlangsungan perusahaan, Keyna. Bukankah begitu, Flo?” dia melirik pada anak sulungnya yang selalu berpakaian glamour melebihi para model yang akan berjalan di catwalk. Wanita yang sejak awal kehadirannya tidak pernah Keyna sukai dan menyukainya.
Florencia tersenyum miring, mengangguk mengamini ucapan ibunya. “Ya, itu benar. Seharusnya perusahaan jatuh pada tangan anak pria, bukan? Bagaimana pun, derajat wanita tidak akan pernah bisa setara dengan pria. Wanita akan selalu memiliki banyak kendala ke depannya, tetapi pria tidak. Sayangnya, Ayah malah memilih menjatuhkan perusahaan padamu.”
Mendengar pernyataan tak masuk akal yang dilontarkan saudari tirinya, Keyna terkekeh sumbang. “Bukan masalah anak laki-laki atau perempuan, tetapi soal anak kandung dan bukan!” tukas Keyna dengan tatapan memicing tajam pada Florencia. “Dan jika kalian mengharapkan Ayah memberikan perusahaannya pada Kenneth, jelas saja tidak akan pernah terjadi. Kecuali Ayah sudah gila atau otaknya sudah kalian cuci.”
Joyce membulatkan mata mendengar ucapan berani Keyna. Wanita itu nyaris saja memukul gadis tersebut jika Kenneth tidak menghentikannya. “Hentikan ini, Mam! Ayah baru saja meninggal. Bukankah kita harus menghormati kepergiannya, bukan malah berdebat sengit seperti ini hanya karena hartanya?”
Keyna menatap kakak tiri laki-lakinya. Dia akui, Kenneth memang tidak seculas Joyce dan Florencia. Namun tetap saja, Keyna tidak pernah bisa menyukainya. Bukan karena dia tidak baik, hanya saja, luka yang diciptakan atas perselingkuhan Joyce dan ayahnya masih terus membekas di hati dan benak Keyna. Menerima Kenneth sebagai saudaranya tidaklah mudah. Seberapa keras pun Kenneth berusaha bersikap baik.
Joyce mengembuskan napas kesal. Mungkin, wanita itu masih belum puas membuat panas situasi. Dia memang selalu seperti itu. Keyna sudah tidak terkejut lagi. Sejak awal pun dia tahu niat utama wanita itu menikahi ayahnya bukan semata-mata karena cinta, melainkan ada sesuatu yang dia incar.
“Bagaimana pun, semuanya sudah ditulis di dalam surat wasiat yang Tuan Federic Fillmore tinggalkan. Jadi seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, lima puluh persen dari tujuh puluh lima persen saham Vallencia yang dimiliki keluarga Filmore akan jatuh ke tangan Nona Keyna setelah Nona Keyna menikah.” Elliot, pengacara ayahnya, bersuara setelah perdebatan Keyna dan Joyce dilerai Kenneth. “Jika hingga akhir tahun ini Nona Keyna tidak menikah, maka kepemilikan saham perusahaan akan menjadi milik antara Nona Keyna dan istri sahnya yang masih hidup; Nyonya Joyce Fillmore. Sementara Tuan muda Kenneth dan Nona Florencia masing-masing mendapatkan saham kepemilikkan sebanyak sepuluh persen.”
Keyna memejamkan matanya dengan gusar. Semuanya tidak bisa dia terima. Bagaimana dia bisa membiarkan ibu tirinya memiliki kedudukan yang sama dengannya di perusahaan? Tidak memiliki apa-apa pun wanita itu bisa semena-mena, bagaimana nanti? Sementara menikah pun, siapa yang akan dia nikahi? Memiliki pasangan saja tidak!
Meninggalkan ruang tamu rumahnya tanpa pamit, Keyna merasa sangat kesal. Dia ingin berhenti membenci ayahnya. Namun yang terjadi, bahkan setelah pria itu meninggal, dia masih saja membuatnya menderita. Jika saja Keyna tidak ikut andil dalam pesatnya pertumbuhan Vallencia selama ini, dia tidak akan menuntut warisan apa pun dari Federic. Persetan! Lelaki itu pernah menelantarkan dia dan ibunya, sudah dipastikan dia bisa melakukannya sekali lagi. Dan benar saja.
“Keyna!”
Keyna menghentikan Langkah-langkah cepatnya saat terdengar panggilan di belakang. Gadis itu menghela napas anjang saat melihat sosok Kenneth berjalan ke arahnya. “Kau baik-baik saja?” lelaki itu tanya.
“Apakah aku terlihat baik-baik saja?” balas Keyna dengan nada agak tinggi. Lantas satu detik kemudian memejamkan mata dengan lirih seraya mengacak rambutnya sendiri. “Jangan berpura-pura peduli padaku. Kita tidak pernah sedekat itu,” gumamnya lagi. Membuka pintu mobilnya dan hendak masuk, sebelum akhirnya ucapan Kenneth selanjutnya membuat dia terdiam sesaat.
“Kita memang tidak dekat, tapi aku benar-benar peduli. Sejak dulu.” Keyna menatap ke arah saudara tirinya. Menatap pria dengan kaus hitam polos tersebut yang melihat ke arahnya dengan tatapan yang entah mengapa terasa begitu intens. “Aku selalu berusaha dekat denganmu. Aku peduli dengan semua hal tentangmu. Tapi kau yang tidak. Kau membatasi semuanya.”
Keyna terdiam. Ingat bagaimana Kenneth tidak pernah melewatkan sekali pun ulang tahunnya. Kue tart beserta ucapan selamat dan kado kecil selalu lelaki itu letakkan di kamarnya. Ketika dia lulus sekolah dan wisuda, Kenneth datang dengan sebuket besar bunga dan mentraktir makan teman-teman Keyna. Padahal ayahnya saja tidak sepeduli itu. Namun Keyna tidak pernah menerima semua niat baik lelaki itu. Tidak sekali pun dia mengucapkan terima kasih. Bahkan menyambut kebaikannya pun tidak.
Keyna tidak membencinya. Sama sekali tidak. Dia hanya takut mempercayai lelaki itu, di saat ibunya telah menghancurkan kehidupan bahagianya di masa lalu.
“Lantas aku harus apa? Menyambut semua kepedulianmu?” tanya Keyna sangsi.
Sementara Kenneth membatu karena ucapan kasarnya, Keyna masuk ke dalam mobil dan lekas melajukan kendaraan roda empat tersebut meninggalkan rumah tiga lantai yang lama dia diami. Rumah yang ketika kecil dulu adalah istana, sebelum akhirnya berubah menjadi neraka saat ayahnya membawa pulang Nenek Sihir bernama Joyce dan kedua anaknya.
Kenneth masih berdiri di tempatnya tadi, masih menatap kepergian Keyna dengan nanar. Keyna menyaksikan hal itu melalui spion. Ada rasa bersalah yang tersisip di dadanya, tapi Keyna tidak bisa membiarkan dirinya lemah. Dia tidak boleh goyah. Keyna harus membangun pertahanan diri yang tinggi. Siapa pun tidak boleh membuatnya lengah dan jatuh.
***
Deburan suara ombak terdengar semakin lama semakin jelas. Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tiga jam, Keyna akhirnya tiba di sebuah pantai. Suatu tempat yang entah mengapa ingin dia kunjungi untuk menangkan diri. Pikirannya terlalu penuh.
Keyna mengambil batu-batu kerikil kecil dan melemparnya ke laut. “Aku benci Ayah! Aku sangat benci! Aku harap aku bukan anakmu!”
Keyna berteriak keras, menumpahkan emosi yang dia rasakan. Dadanya tiba-tiba saja terasa penuh dan sesak. Dia merindukan ibunya. Dia berharap ibunya masih ada di dunia ini dan memeluknya. Dia berharap, seseorang menghapus air matanya dengan lembut. Dia berharap, seseorang menepuk-nepuk punggungnya, menenangkannya.
“Ibu, bukankah Ayah jahat?” bisik Keyna lirih. Namun tidak ada jawaban, selain embusan angin pantai yang mengenai wajahnya.
Keyna menarik napas panjang. Berjalan menuju batu-batu karang besar. Membiarkan celananya basah saat melewati air laut yang berombak kecil sebelum dia menaikki batu karang di depannya.
“AAA-AKHHH!”
Keyna yang tadinya ingin berteriak meluapkan emosi, justru malah berteriak kaget saat mendapati sesuatu di dekat kakinya. Sebuah jasad.
[]