“Apa? Kau sudah menikah?”
Joyce berdiri dengan syok mendengar pernyataan Keyna mengenai pernikahannya dengan Calvert dua hari lalu. Lebih syok karena pengacaranya bahkan mengetahui hal itu, tetapi dirinya sama sekali tidak. Wanita itu jelas merasa kecolongan.
Sedangkan itu, Keyna tersenyum penuh kemenangan. Namun dia berusaha untuk tetap tenang, seolah hal itu bukan apa-apa, dan tentunya agar membuat Joyce jauh lebih kesal. Dia amat senang melihat Joyce kebakaran jenggot. Selama ini, kehadiran wanita itu hanya membawa banyak luka untuknya. Dia senang, akhirnya bisa menang darinya. Meski menang saja sebenarnya tidak cukup.
“Pernikahan ini pasti palsu. Bagaimana kau bisa menikah sementara kau saja tidak memiliki kekasih?” Florencia ikut berbicara. Sementara Kenneth seperti biasa hanya menyimak perdebatan yang terjadi, tanpa ingin terlibat.
Keyna terkekeh sumbang sejenak. “Dari mana kau tahu bahwa aku tidak memiliki kekasih?” tanya Keyna, disisipi nada humor yang sama sekali tidak membuat yang lain tertawa. Menyenangkan rasanya memantik emosi ibu dan saudari tirinya. “Kecuali kau memata-mataiku,” dia melanjutkan dengan nada sangsi.
“Nona Keyna benar-benar sudah menikah sah, baik secara agama mau pun negara. Aku bahkan menjadi saksi saat upacara pernikahan dilangsungkan.” Elliot menengahi pembicaraan keluarga Fillmore. Sebab jika tidak, Joyce dan Florencia akan terus menggaungkan berbagai keraguan mereka. Syukurnya, lelaki itu berada di pihak yang benar, sehingga Keyna bisa menjalankan rencana dengan baik. “Jadi dengan ini, sudah diputuskan bahwa sebagian besar saham Vallencia akan jatuh ke tangan Nona Keyna. Pengesahannya akan dilakukan seminggu dari sekarang.”
Keyna mengulum senyum mendengar pengumuman tersebut. “Aku akan membuat pesta besar-besaran untuk merayakan peresmian tersebut,” gumam Keyna dengan bangga. Lantas melirik ibu dan saudari tirinya. “Mungkin akan dilaksanakan minggu depan? Aku butuh persiapan yang amat matang. Jika kalian senggang, kalian sangat boleh membantuku.”
Wajah Joyce memerah mendengar sindiran keras Keyna. Mungkin di dalam hati, wanita paruh baya tersebut sudah melontarkan berbagai sumpah serapah pada anak tirinya tersebut. Saham yang sudah dia incar sejak suaminya masih hidup, ternyata justru jatuh ke tangan Keyna. Mungkin, seharusnya dia mengikuti saran Florencia terdahulu, untuk membunuh anak tersebut dengan tega. Pada akhirnya, Keyna menjadi bom atom yang tidak bisa dia taklukkan.
“Apakah aku mengenal laki-laki itu?”
Kesenangan Keyna sedikit terganggu saat Kenneth tiba-tiba saja mengajukan tanya padanya dengan raut wajah serius. Lelaki itu bahkan menatap wajahnya lurus tanpa berkedip. Benar-benar tatapan yang membuat Keyna seketika tidak bisa berkutik. Senyumnya luntur begitu saja.
Keyna berdeham singkat. “Tidak. Kau tidak mengenalnya.”
“Apa dia laki-laki yang baik? Dia bisa menjagamu dengan baik?”
Menatap kakak tirinya dengan tatapan intens, Keyna seolah ikut tenggelam dalam pusaran perasaan kelam yang lelaki itu pancarkan lewat matanya. Pusaran perasaan yang membuat Keyna merasa pengap. Entah mengapa, tatapan itu terasa menusuk. Terasa membuat dadanya sesak.
“Ya. Dia pria yang sangat baik. Dia menjagaku seribu kali lipat lebih baik daripada ayahku sendiri. Dia lelaki yang bisa aku andalkan.”
Kenneth akhirnya memutuskan kontak mata. Lelaki itu mengangguk, seolah menerima semua jawaban dari Keyna. Lantas kembali diam seperti sebelumnya. Seperti saat-saat yang telah lalu. Lelaki itu selalu lebih banyak membisu.
***
Keyna memasuki apartemen sepulang dari kediaman keluarga Fillmore yang kini hanya diisi oleh orang-orang yang selalu asing baginya. Ditatapnya sekeliling ruang tamu dan tidak menemukan sosok Calvert di sana.
Wanita itu berjalan semakin masuk. Meletakkan tas bahunya di sofa dan mencari Calvert ke ruang makan. Lelaki itu tidak ada di ruangan tersebut, melainkan terlihat sedang fokus di sudut tempat lainnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Menyiapkan makan malam untuk kita berdua,” jawab Calvert. Lelaki itu menoleh sejenak pada Keyna seraya tersenyum kecil, sebelum akhirnya fokus kembali pada makanan yang tengah dia sajikan di piring. Lelaki itu tampaknya sudah tahu bahwa Keyna telah pulang.
“Cal, aku bisa memasak, atau kita bisa memesan makanan dengan layanan antar. Kau tidak perlu repot-repot memasak di saat kondisimu belum membaik,” pungkas Keyna, menghampiri pria tersebut dengan niat menghentikan kegiatannya. Namun lelaki itu keras kepala.
“Duduklah, Keyna.” Calvert mendorong perlahan bahu Keyna dan menuntun wanita itu duduk di meja makan. “Aku tahu kau bisa memasak dan kita bisa membeli makanan di luar. Tapi aku hanya ingin melakukan suatu pekerjaan. Kau tahu, aku bosan seharian hanya duduk di rumah tanpa melakukan apa pun.”
“Tapi kau masih sakit, Cal. Kau—”
“Apa aku terlihat seperti orang sekarat sekarang?” Calvert meletakkan kedua tangan di pinggang. Menatap Keyna dengan tatap serius.
Keyna menghela napas. Pada akhirnya menyerah untuk menghentikan Calvert. Sesungguhnya, wanita itu hanya merasa tidak nyaman saat Calvert terlalu baik dan memperlakukannya selembut ini. Maksudnya, ayolah! Dia sadar dirinya jahat membohongi lelaki tersebut. Bagaimana bisa Keyna menjadi lebih tega dengan menerima semua perlakuan manis ini? Keyna tidak bisa merasa lebih buruk lagi dari ini.
“Ke depannya, jangan lakukan ini lagi, Cal.”
Calvert yang sudah kembali ke hadapan kompor menoleh sejenak. “Aku tidak berjanji,” dia jawab singkat. Kemudian melanjutkan kegiatannya. Sementara Keyna hanya bisa menatap punggung lelaki tersebut dengan penuh sesal.
***
“Rasanya tidak buruk, bukan?” Calvert menatap Keyna dengan tatapan innocent.
Keyna menelan spageti buatan Calvert yang barusan dia icip. Kemudian menatap Calvert serius. “Setidaknya, rasa garam dan ladanya pas,” ucap wanita tersebut, tersenyum kecil. “Tapi tentu kau sudah melakukan hal yang hebat. Apalagi dengan kondisimu saat ini.” Keyna sedikit merasa bersalah saat mengatakan kalimat terakhir dari ucapannya.
“Aku menggunakan ponsel pintar yang kau berikan dengan sangat cerdas,” balas Calvert. Mengerling pada Keyna seraya mengangkat benda pipih di tangannya. “Aku pikir, sepertinya aku terlahir jenius, Key. Bahkan dalam kondisi hilang ingatan pun, aku bisa melakukan banyak hal.”
Keyna memicing menatap pria itu, lalu sekon berikutnya tertawa. Membuat suasana seketika terasa hangat. Terlebih saat Calvert ikut tertawa bersamanya. Sepertinya, lelucon yang Calvert lontarkan berhasil membuat es yang masih membeku perlahan mencair.
“Makanlah,” gumam Calvert sesaat kemudian. “Jika rasanya agak buruk, tolong tahan saja. Satu hal yang pasti: makananku tidak akan membuatmu keracunan.”
Keyna menggeleng-geleng. Calvert ternyata lebih santai daripada yang dia duga. Lelaki itu memiliki sisi humor yang baik. Selain itu, dia sosok yang hangat. Sosok yang bisa mengimbangi kekakuannya. Meski Keyna masih ragu akan identitas lelaki itu, tetapi untuk sementara ini, dia akan menerima lelaki itu sebagaimana lelaki itu menerimanya. Tidak ada yang bisa dia lakukan lagi, bukan?
[]