Tragedi Suti

1724 Words
“Kenapa kau itu Suti?” San yang mendengar teriakan Suti segera berlari dari dapur. Di sana, ia melihat Suti yang sudah keluar dari kolong ranjang tempatnya bersembunyi. Masih dengan tangisan yang histeris, ia berlari keluar kamar. “Tangan, Bang! Ada tangan!” Di sela-sela tangisnya, Suti berkata demikian, berkali-kali. Kemudian, San membawa Suti keluar, sementara di depan rumah, para tetangga yang sudah mendengar teriakan Suti pun sudah berkumpul. Mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi pada perempuan itu. Suara tangisan Suti membuat para warga memberanikan diri keluar untuk mengecek apa yang terjadi, padahal malam itu sedang gerhana bulan di mana biasanya tidak ada satu orang pun akan keluar rumah. Mereka akan mengunci diri di dalam rumah-rumah mereka, menutup pintu juga jendela sampai pagi tiba. “Ada apa, San? Kenapa atuh Suti teh menangis?” Mbok Mar yang memang rumahnya paling dekat dengan mereka sudah lebih dulu datang. Ia kemudian bertanya pada San yang juga memasang wajah terkejut sekaligus kebingungan. “Bah, tak tahu pulak aku, Mbok. Si Suti itu bilang di kolong ranjang ada tangan. Macam mana bisa ada tangan di kolong ranjang.” Begitulah penjelasan San, jawaban yang sa tiap kali tetangganya bertanya tentang apa yang terjadi. Katanya, Suti melihat ada tangan yang merayap ke perutnya. Kemudian Suti yang masih syok itu duduk di beranda rumah untuk waktu yang lama. Sementara, Mbok Mar meminta pada San segelas air hangat untuk Suti, agar istrinya itu menjadi lebih tenang. Ia tidak meninggalkan Suti barang sejenak pun, sementara Kinar yang malam itu turut keluar dari rumah, duduk di samping Mbok Mar, ditemani dengan beberapa warga yang juga masih berkumpul di sana. Beberapa waktu berlalu, para tetangga mulai bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Suti yang masih takut untuk kembali ke dalam rumah, akhirnya bermalam di rumah Mbok Mar yang kebetulan memang berseberangan dengan rumahnya. Mbok Mar ini adalah ibu dari Kinar, anak perempuan yang pada akhirnya menceritakan kembali kisah ini kepada teman-temannya. Malam itu, Suti tidur di ruang tengah, dengan Mbok Sur dan Kinar, karena kasur mereka gelar agar bisa tidur beramai-ramai dan Mbok Mar membiarkan kamar kamar mereka kosong untuk malam itu. Salah satu keadaan yang baik di tempat ini adalah masih eratnya hubungan antar tetangga, di mana mereka merasa peduli dan khawatir satu sama lain. Meskipun biasanya para warga masuk ke rumah masing-masing bila gelap tiba, akhirnya mereka semua keluar untuk mengecek apa yang terjadi pada tetangga Mereka. Mereka juga tak tanggung-tanggung untuk membantu tetangga yang kesusahan seperti sekarang ini contohnya. Mereka bahkan rela mengeluarkan kasur-kasur mereka agar mereka bisa tidur bersama-sama. Malam gerhana telah terlewati, meski akhirnya, Suti tidak lagi bersembunyi di kolong ranjang, seperti yang seharusnya dikatakan Iwan pada San di siang hari tadi. Bodo amat dengan segala mitos yang katanya kalau tidak bersembunyi, sang bayi sebelah mukanya akan di penuhi warna hitam. Suti hanya bisa berdoa pada Tuhannya, berharap semoga bayi dalam kandungannya itu sehat sehat saja. Mereka yang berkumpul di ruang tengah, rupanya tidak langsung tertidur meskipun jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Berbincang tentang ini dan itu agar Suti dapat melakukan kejadian menyeramkan yang baru saja ia lewati. Sementara San, malah berkumpul dengan beberapa warga lelaki yang masih duduk di dipan bambu beranda San. Ia mengeluarkan beberapa cangkir kopi. Teman begadang paling nikmat, itung-itung sekalian menjalani ronda malam, mengingat adanya laporan kalau hewan ternak milik Sukardi raib digondol maling. Lampu remang yang dapat ditemui hampir di setiap rumah di perkampungan ini juga turut menghiasi rumah Mbok Mar. Entah kenapa di perkampungan ini lampu-lampu yang remang itu sangat di minati kebanyakan penduduk. Lampu yang putih bersinar terang sangat jarang di temui. Paling-paling ya sebagai lampu jalan di persimpangan. Itu pun masih jarang sekali. Perberapa kilo meter, per satu tiang. Suti mendengarkan Mbok Mar yang bercerita tentang ini dan itu. Dari hal hal lucu, sampai cerita tentang bagaimana ia akhirnya menjadi warga kampung ini. Sebenarnya, Mbok Mar memang bukan asli penduduk sini. Tapi, karena sudah lama tinggal dan menikah dengan Ayah Kinar yang asli penduduk kampung tersebut, Mbok Mar terasa seperti penduduk asli kampung itu juga. Mbok Mar sudah tinggal di perkampungan itu bahkan dari sebelum Kinar lahir. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Beberapa hari berlalu, Suti sepertinya sudah melupakan kejadian di malam gerhana yang menggemparkan warga itu. Ia juga sudah tidak takut untuk tidur di kamarnya lagi bersama San. Sementara ranjang yang saat itu menjadi tempat yang membuatnya syok, sudah diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Memang sih, ranjang itu masih terlihat kuat dan kokoh. Tapi, daripada Suti kembali terbayang-bayang dengan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu itu, lebih baik mereka membawa ranjang itu keluar dari rumah mereka. Sejak ranjang itu keluar dari rumah mereka, Suti sudah beraktivitas seperti biasa. Bahkan, tadi pagi Suti sudah berkumpul di depan gerobak sayur Ceu Asih, memilah sayuran yang akan ia olah untuk makan siang suaminya nanti. Tidak lupa, sambil berbagi informasi sana sini. Belanja lima menit, ngobrolnya dua jam. Begitulah problematika ibu-ibu jika sudah berhadapan dengan gerobak sayur beserta kumpulan orang-orang gemar bercerita. Semua terlihat berjalan normal. Tidak ada yang aneh aneh setelah kejadian malam itu. Suti juga sempat berbincang-bincang dengan para tetangga sambil memilah milih sayuran. Meskipun belum sampai dua jam lamanya. Dari wajahnya pun terlihat segar, kebetulan saat itu Suti memang baru selesai mandi. Maka ia terlihat segar sekali dengan rambut yang masih setengah basah. Air di perkampungan ini memang sejuk, berbeda dengan di kota, meskipun perkampungan ini bisa dibilang bukan daratan tinggi atau berada di kaki gunung yang memang memiliki suhu yang dingin. Mungkin, karena masih banyaknya pepohonan di sini. Setelah mendapatkan sayuran yang ia inginkan, Suti berpamitan pada Mbok Mar, Ratna, Mak Inyi juga Ceu Asih. Ia segera kembali ke rumah untuk memasak sayuran, karena jam makan siang memang sudah dekat. San saat itu masih bekerja di rumah Pak Haji. Ia sedang merenovasi bagian belakang rumah Pak Haji yang bisa dibilang tidak begitu jauh dari rumahnya. Suaminya itu memang seorang tukang. Ia pintar masalah bangunan, ditambah memang badannya yang tinggi kekar membuatnya sangat mumpuni untuk menggeluti pekerjaan ini. Tidak perlu memakan waktu lama untuk sampai ke rumah Pak Haji. Hanya saja, karena kebun-kebun yang luas dan jalanan yang sepi, membuat rumah Pak Haji dan rumahnya terasa begitu jauh. Ditambah, tekstur dari jalanan yang memang belum seluruhnya di aspal. Motor saja kadang kesulitan untuk melaluinya, karena kalau tidak hati-hati, maka kendaraan itu akan tergelincir dan akhirnya pengendaranya jatuh. Suti masuk ke dalam rumah dengan plastik hitam yang ia jinjing. Kemudian perempuan itu mengambil pisau dan wadah untuk membersihkan sayuran. Hari ini, ia ingin memasak sayur bayam kesukaan suaminya itu. Kemudian, ia duduk di beranda rumah dan mulai mengolah sayuran, membuang daun-daun bayam yang menurutnya tidak layak dimasak. Beberapa saat setelahnya, ia merasakan perutnya sakit. Padahal, saat itu usia kandungannya belum genap sembilan bulan. Ia merasa kalau ini belum saatnya ia melahirkan. Mengingat, ia baru saja menginjak usia kehamilan tujuh bulan dan baru akan menuju delapan bulan. Lagi pula, Dokter bilang kalau semuanya normal dan perkiraan hari kelahirannya pun akan pas di usia kehamilan sembilan bulan. Awalnya ia berpikir bahwa itu hanya sakit perut biasa. Atau seperti kontraksi palsu. Tapi, lama kelamaan, sakit di perutnya itu semakin menjadi jadi. Akhirnya, ia tak tahan lagi. Ia berteriak-teriak meminta pertolongan. Di rumah itu, ia hanya seorang diri. Setelah ibunya meninggal, ia hanya tinggal berdua saja dengan San, suaminya itu. Ditambah, jarak antar rumah bisa dikatakan cukup renggang. Tidak seperti di kota yang mana rumahnya itu saling berdekatan, bahkan menempel antara tembok dengan tembok. Untungnya, saat Suti yang sedang kesakitan itu berteriak, Mbok Mar yang baru pulang berbelanja sayur melihatnya. Rumah mereka kan memang berseberangan. Segera, Mbok Mar lari menghampiri Suti yang sedang kesakitan itu, dan mulai mencari pertolongan juga. Dilihatnya, kaki Suti yang sudah berlumuran darah. Suti semakin panik. Ia tidak merasa kalau ia terjatuh atau apapun itu yang menurutnya membahayakan kandungannya. Ia juga tidak minum atau makan macam macam. Selang beberapa waktu, kabar tentang Suti akhirnya sampai di telinga San yang masih bekerja merenovasi rumah Pak Haji. Demi mendengar kabar tentang istrinya itu, ia lari bak orang kesetanan. Tak peduli lagi pada kerjaannya yang ia tinggalkan begitu saja. Saat sampai di rumah, ia memanggil Mang Ramin, tukang becak yang kebetulan belum berangkat narik ke gerbang perkampungan di depan sana. Ia akhirnya membawa istrinya dengan becak Mang Ramin ke klinik milik Pak Dokter, orang yang memberikan mereka bingkisan oleh-oleh dari istrinya yang baru saja pulang dari luar kota beberapa hari yang lalu. Melihat Suti yang semakin kesakitan, San pun turut melemas. Sambil terus saja berharap di sepanjang jalan kalau istri dan anaknya itu baik-baik saja, ia meminta Mang Ramin untuk mengayuh becaknya lebih cepat. Namun, apa daya. Mang Ramin yang sudah tua, belum lagi becaknya yang sudah reot membuat jalan becak tersebut sedikit lamban. Sudah begitu, jalanan yang memang belum semuanya diaspal membuatnya semakin kesulitan untuk mengayuh becak. Apalagi jalanannya memang sedikit menanjak, perlu kekuatan ekstra untuk membawa Suti lebih cepat tiba di tujuan. Akhirnya, pada tanjakan yang kedua, San turun dan turut mendorong becak Mang Ramin. Setelah memakan waktu beberapa lama, akhirnya, klinik di ujung jalan terlihat. San yang tidak tahan lagi melihat istrinya yang menderita, lantas memberhentikan becak Mang Ramin dan turun. Ia membopong istrinya yang kini semakin banyak mengeluarkan darah. Ia menggotong istrinya itu dan menerobos masuk ke dalam klinik. Terserah dengan orang-orang yang mungkin sudah mengantri lebih dulu. Menurutnya, kondisi sang istri sudah gawat. Pak Dokter belum ada di sana. Petugas klinik bilang bahwa jam prakteknya belum dimulai untuk hari itu karena ada jadwal dadakan di luar. Petugas klinik itu juga salah satu penduduk perkampungan tersebut. Ia hanya bertugas untuk mencatat data diri pasien, ia tidak bisa mengambil tindakan mengingat tidak adanya basic sekolah kesehatan yang dienyamnya. Setelahnya, ia menelpon Pak Dokter dan memintanya untuk segera datang. Pak dokter memang sebenarnya sudah pulang ke rumah dua puluh menit yang lalu. Tapi, ia meminta untuk beristirahat dan berniat membuka jadwal di klinik satu jam kemudian. Tapi, mendengar kabar tersebut, mau tak mau pak Dokter harus siaga dan segera berangkat ke klinik. Mengingat rumah Pak Dokter yang tidak begitu jauh, tak lama, Pak Dokter itu datang dan mulai menangani Suti yang sepertinya kini sudah makin lemah. Ia hampir tak sadarkan diri mengingat banyaknya darah yang telah ia keluarkan. Hari itu, menjadi hari yang tak pernah Suti dan San lupakan. Karena anak pertama mereka yang sudah lama mereka idamkan, harus berpulang, bahkan sebelum melihat dunia yang menurut keduanya indah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD