Menjelang magrib. Sejak dahulu, saat-saat ketika matahari mulai tenggelam dan berganti dengan bulan, sering dikaitkan dengan banyak hal berbau mistis. Salah satunya adalah Sandekala, yang mana aku sendiri pun menyaksikan, bahkan mengalami apa yang mereka bilang. Untungnya, tidak begitu parah. Tidak separah anak di rumah sebelah yang sampai tidak sadarkan diri ber hari-hari.
Katanya, menjelang magrib adalah waktu genting yang disukai oleh makhluk yang tak kasat mata. Entahlah. Percaya tidak percaya, meskipun awalnya aku memang tidak tertarik untuk mempercayai hal-hal takhayul seperti ini, sejak menginjakkan kaki di rumah yang tidak biasa ini, bukan, lebih tepatnya di kampung yang istimewa ini, akhirnya aku harus menjilat ludah ku sendiri.
Kupikir hanya dengan itu saja, waktu menjelang magrib sudah cukup memberi peringatan bahwa semua orang harus masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Rupanya, malam ini, perempuan di sebelahku, menambah sebuah kisah tentang menjelang magrib yang lagi-lagi membuatku tersadar jika memang kita hidup berdampingan dengan mereka.
Malam itu, Nia bercerita bahwa sepuluh tahun yang lalu, dia bermain dengan tiga orang teman di halaman depan yang saat itu memang masih dipenuhi dengan pepohonan rimbun. Jika sekarang ini kulihat masih begitu asri dengan banyaknya kebun-kebun di pekarangan warga, saat itu jauh lebih asri lagi. Mereka berempat bermain dengan begitu asyiknya hingga tak sadar bahwa matahari sudah mulai kembali ke peraduan. Kala itu, larangan untuk bermain sampai magrib memang sudah dikumandangkan, hanya saja, Nia dan ketiga temannya mungkin memang bengal, tak mau mendengar.
Nia bercerita, dia berdiri menghadap ke sebuah pohon besar yang daunnya rimbun, di sebuah kebun yang tak jauh dari pekarangan rumah Nyai yang sampai sekarang pun tidak berubah posisinya. Hari itu, Nia menjadi kucing bagi ketiga temannya. Ia harus berjaga dan mulai menghitung satu sampai sepuluh, sementara ketiga teman-temannya itu berlari dan mulai menyembunyikan diri. Entah di balik belukar yang meninggi karena si pemilik belum memangkas nya, atau di balik pohon besar yang dapat menutupi tubuh kecil anak-anak yang sedang bermain petak umpet itu.
Nia berkata bahwa ia mulai menghitung dengan tempo yang pelan. Satu... Dua... Tiga... Suara dari ketiga anak itu masih terdengar di telinga Nia. Ia mendengar langkah-langkah mereka yang mulai mencari tempat untuk bersembunyi. Empat... Lima... Enam... Suara ketiganya mulai terdengar menjauh. Mungkin di titik itu mereka bertiga sudah menemukan tempat persembunyian teraman, yang mereka yakini, tidak akan diketahui oleh Nia.
Tujuh... Delapan... Sembilan, satu angka lagi. Tepat setelah angka sepuluh terlontar dari mulut Nia, ia yang saat itu adalah seorang anak kecil dengan rambut dikucir dua mulai membalikkan badan, membuka pandangannya yang sejak tadi ia tutupi menghadap ke pohon besar. Ia mulai berjalan menuju tempat-tempat yang ia yakini sebagai tempat persembunyian dari ketiga temannya itu. Teh Kinar, yang usianya paling besar di antara ke empat anak yang bermain sore itu, ternyata bersembunyi di belakang kandang sapi besar milik Ki Jaman. Sebuah rumah di seberang rumah Nyai, yang mana istrinya selalu memandangi ku dengan tatapan yang aku pun tak mengerti artinya. Teh Kinar menjadi orang pertama yang Nia temukan dalam waktu sepuluh menit setelah Nia membalikan badan dari pohon besar tersebut.
Anak perempuan yang usianya paling tua di antara ke empat anak-anak yang bermain sore itu, duduk di dekat pohon sambil menunggu Nia menemukan dua anak yang lain. Teh Kinar yang paling terakhir lari dan bersembunyi, tidak tahu di mana kedua anak itu bersembunyi. Yuyun dan Jajang. Ia hanya duduk menunggu dan mengamati pergerakan dari Nia yang sedang berusaha untuk menemukan keduanya.
Sampai pada akhirnya, Teh Kinar melihat Nia yang berlari dari samping rumah Nyai yang saat itu masih tumbuh sebuah pohon kecapi besar dan berbuah ranum. Nia yang terlihat bersemangat, berlari dengan tangan yang ia acungkan ke depan, bersiap untuk mengucap kalimat sakti dalam permainan demi kemenangannya.
“Yuyun Bela!”
Begitulah yang dikatakan Nia pada saat bercerita.
Hanya bersisa satu. Jajang belum ditemukan. Anak lelaki dengan perawakan kurus berkulit sawo matang itu belum terlihat tanda-tandanya. Hari sudah mulai gelap. Tapi keempat anak itu masih saja melanjutkan permainan karena Jajang masih belum ketemu juga. Yuyun yang saat itu keluar dari balik pohon besar dengan muka tertekuk, berjalan gontai menghampiri Teh Kinar yang sudah lebih dulu duduk di bawah pohon besar tempat di mana Nia memejam mata dan mulai menghitung. Mereka berdua memandangi Nia yang masih melempar pandang ke sana sini demi mencari bocah lelaki berperawakan kurus itu.
Sampai beberapa waktu berlalu, terdengar tabuhan bedug yang menandakan bahwa waktu magrib telah tiba, yang kemudian di susul dengan suara-suara perempuan yang mulai meneriakki mereka.
“Kinar!”
“Yun, hayu geura ngampih, magrib geulis!”
“Nia! Magrib, sandekala!”
Suara suara perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah ibu dari tiap anak tersebut. Teh Kinar yang sudah mendengar namanya dipanggil oleh Simbok, segera bangkit dari tempatnya duduk. Begitu juga dengan Yuyun yang mendengar ibunya dengan suara lembut itu memanggil dan berkata bahwa ia harus segera masuk ke dalam rumah dikarenakan waktu magrib telah tiba.
Nia. Sisa Nia yang masih sibuk mencari Jajang, sampai seruan Nyai tidak lagi didengar olehnya. Sampai akhirnya, Abah yang saat itu kebetulan pulang dari Kota, melihat Nia yang masih berada di jalan setapak tak jauh dari rumah, mencari-cari sesuatu.
“Nia! Keur naon?”
Nia bahkan memeragakan bagaimana Abah menegurnya kalau itu. Dengan suara yang diberat-beratkan agar terdengar persis dengan suara Abah. Untungnya, malam itu Abah sedang tidak ada di rumah. Aku tidak perlu khawatir kalau-kalau kami tertangkap basah sedang menceritakan tentang beliau.
Aku kembali menyimak apa yang Nia ceritakan tentang hari itu.
“Nia teh keur emeng, Abah.”
Nia bilang, kalau dia sedang menjadi kucing dalam permainan.
“Balik. Isukan deui amengna.”
Dengan wajah datar yang selalu Abah tampakkan, akhirnya Nia dengan langkah yang berat, mengikuti langkah kaki Abah yang berjalan bersebelahan dengannya. Ia masih menengok ke belakang sesekali. Ia khawatir bahwa Jajang masih menunggunya di tempat persembunyian. Nia sangat yakin bahwa Jajang masih bersembunyi di sana. Menunggu, entah sampai kapan. Tapi, Nia adalah seorang anak kecil dengan rambut dikuncir dua, saat itu. Tidak, bahkan sekarang pun, Nia masih tidak berani melawan Abah. Apalagi saat itu. Ia hanya berjalan, masih dengan kepala yang sesekali menengok ke belakang, karena di daun telinganya terdengar suara Jajang yang menangis begitu pelan dan menyakitkan.