Walilat

2437 Words
Aku tidak tahu pasti, tapi karena menumpang hidup bukankah sudah selayaknya aku untuk menurut? Terlepas suka atau tidak, selama bukan hal yang benar-benar tak bisa kuterima, menurut adalah satu-satunya cara bertahan dan beradaptasi di sini. Sore ini, sebelum magrib benar-benar terdengar dari seluruh penjuru, aku berjalan menuju kamar mandi yang terpisah dari rumah. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Nyai menyuruh kami mandi sebelum matahari tenggelam. Karena, kamar mandi di sini jelas sangat berbeda dengan kamar mandi di rumahku dahulu. Beberapa tahun yang lalu, aku memang pernah berkunjung ke rumah ini bersama kedua orang tua. Hanya saja, kami duduk di ruang tamu. Beberapa waktu berbincang, lalu kembali pulang. Aku belum sempat bermain sampai ke belakang rumah. Aku tidak tahu, kalau mereka masih menggunakan tungku dari tanah liat dan kayu sebagai bahan bakar mereka di jaman yang sangat modern ini. Di wilayah tempat tinggalku dahulu, jelas tidak lagi kutemukan kompor dengan tungku tanah liat dan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Sampailah kami berdua di dapur. Ada sebuah dipan dari bambu. Letaknya di pojok dapur. Tidak terlalu jauh dengan tungku tanah liat. Kata Nia dipan bambu itu biasa dipakai oleh Nyai saat memasak Entah itu sambil mengupas bawang, membuat bumbu, ataupun lo ululll memotong sayuran, Nyai biasanya duduk di dipan agar tidak terlalu pegal. Lantainya pun masih terbuat dari tanah, tidak seperti di dalam rumah yang sudah memakai keramik. Sementara di tengah, ada sebuah sumur yang cukup tua. Sumur yang masih hidup, hanya saja ditutupi oleh kayu. Lalu, di sebelahnya, ada ruangan yang ditutupi terpal, yang mereka bilang adalah kamar mandi. Sekali lagi, keluarga Nyai memanglah antik. Aku tahu, Nyai bukan tidak sanggup untuk merenovasi rumah. Jika boleh dikatakan, sepertinya harta Nyai lebih banyak ketimbang orang tuaku yang tinggal di kota. Nyai memiliki banyak sawah yang luasnya juga berhektar-hektar. Sebelum matahari benar-benar hilang dari langit, aku sudah selesai mandi, meskipun ada rasa tidak nyaman. Tapi, mau bagaimana lagi? Namanya juga menumpang. Begitu kelar, kami duduk di ruang tengah. Sedikit berbincang-bincang. Di rumah ini, sepertinya hanya Nia yang bisa kuajak bicara. Nyai, entah ia sering terlihat sibuk melakukan ini dan itu. Lagipula, tatapannya yang selalu dingin, tidak seperti saat di rumahku, membuat aku tidak berani untuk membuka percakapan dengannya. Sementara Abah masih belum kembali dari makam. Entah, kapan ia akan pulang. Kami juga tidak terlalu dekat. Mungkin, intensitas kami mengobrol pun akan jauh lebih sedikit. Bahkan dulu, saat aku dan orang tuaku mengunjungi mereka di sini, aku jarang sekali berinteraksi dengan Abah. Hanya Bapaklah yang paling banyak mengobrol dengannya. Jangan tanyakan A Entis, sudah jelas, kami sangat tidak dekat. Malas juga aku mengajaknya berbicara. A Entis paling suka marah-marah, meskipun usianya sudah bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah menjadi seorang suami dari perempuan berdarah Jawa. Mungkin, ke istrinya tidak begitu, ya. Nia meneguk segelas air teh hangat yang ia tuang dari teko. Nyai memang selalu membuat teh tawar. Teko yang terbuat dari alumunium itu tidak pernah dingin. Selalu panas dan selalu penuh. Kemudian, aku mulai bertanya pada Nia, “Kalau kita mandi setelah gelap, emang kenapa gitu, Nia?” Apakah Nyai takut anak-anaknya terserang rematik? Duh kan kami masih muda! Sepertinya hanya Nia yang akan memberikanku jawaban-jawaban atas semua hal yang aku tanyakan. Pada siapa lagi aku akan bertanya? “Takut rematik apa? Atau kenapa?” Akhirnya celetukan itu keluar juga dari mulutku. Ibarat rambut yang gatal dan ingin segera kugaruk, sudah tak tahan aku ingin bertanya tentang hal itu. “Kamu teu apal walilat, Gis?” Demi mendengar Nia yang malah mengajukan pertanyaan, aku mengangkat alis. Seperti pernah mendengar kata walilat, tapi entah di mana dan kapan. Aku lupa. Setelahnya, aku menggeleng pelan. Menyerah saja, nanti juga Nia pasti memberi tahu penjelasannya. “Magrib teh waktunya sandekala.” Kukira Nia akan memberikan jawaban yang mudah kuterima. Tapi kenyataannya malah semakin pusing aku dibuat Nia. Siapa lagi sandekala itu? Belum pernah kudengar namanya. Orang penduduk sini kah? “Ish, emang kalau di kota teh, berbeda, ya.” Apa yang dimaksud Nia berbeda? Kalau dari segi model rumah, cara berbicara, padatnya bangunan-bangunan, memang berbeda sih. Nia menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengambil sisir di atas trolet, lalu mulai menata rambutnya yang basah sehabis keramas. Sementara aku yang masih memegang handuk basah, duduk di tepian ranjang. “Kalau magrib teh, kita harus cicing. Diam. Waktunya beribadah. Bukan yang lain-lain.” Merasa ini akan menjadi sebuah cerita yang panjang, aku memutuskan untuk tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepala sambil buka telinga. Nia rasanya seperti Ibu saat aku melakukan kesalahan. Mulai berceramah. “Ingat tidak jaman kecil dulu, Nenek suka teriak menjelang magrib. Kudu ngarampih.” Aku memang sempat tahu, kalau magrib para orang tua akan menyusul anaknya yang asyik bermain di lapang bola. Mereka akan meneriaki nama anaknya dan menyuruh mereka pulang. Tidak ada yang membiarkan sang anak terus bermain saat adzan magrib berkumandang. Ah, ngarampih. Sudah lama juga tidak mendengar kata-kata itu. Di rumah jarang sekali Ibu atau Bapak berbicara dengan bahasa Sunda. Dulu, aku sering mendengar kata-kata ini dari Nenek, yang artinya segera masuk ke dalam rumah. “Nah, eta teh takut ada sandekala.” Apakah sandekala itu sejenis setan? Kenapa ia ditakuti? Sepertinya ini akan menjadi sebuah dongeng yang seru. Aku menaikkan sebelah alis. Menatap Nia dari samping yang masih saja asyik memandangi dirinya sendiri di cermin. “Walilat itu, sama kaya kualat, Gis. Pokoknya, pamali.” Dari tiap kalimat yang keluar dari mulut Nia itu, akhirnya aku sedikit paham. Walilat adalah sesuatu yang sebisa mungkin harus kami hindari. *** Matahari sudah benar-benar tenggelam. Pukul delapan, tidak terdengar aktivitas di luar rumah padahal di kota tempat tinggalku dulu, jam segini masih terhitung jam ramai. Masih banyak orang yang berlalu lalang, entah pulang kerja lembur, atau sekedar mencari kudapan dan berjalan-jalan menikmati angin malam, atau bahkan seperti aku yang ketiduran di perpustakaan sampai petugas perpus membangunkanku dan menyuruhku pulang. Sangat jauh berbeda dengan di sini. Sunyi, senyap, dan sepi. Nyai sudah menyelot pintu. Jendela semuanya sudah tertutup rapat. Tapi aku enggan terpejam. Kelambu sudah menutupi sekitar kasur kami, sementara Nia sepertinya sudah berlari di alam mimpi. Tidak heran, ia memang sudah nyaman karena ini adalah rumahnya. Sementara aku, yang baru pertama kali tidur di bawah ranjang dingin yang ditutupi kelambu, tidak bisa terlelap sama sekali. Mataku masih tertuju ke langit-langit kamar yang menyajikan kayu-kayu kerangka atap dengan satu lampu yang menggantung. Bohlam merah, persis seperti lampu jaman dahulu yang hanya memendarkan cahaya remang-remang. Lampu yang biasa kutemui di pojokkan gang. Menurutku, cahaya lampu itu menambah kesan seram hingga aku tidak bisa tidur. Kupaksakan untuk memejamkan mata sambil membayangkan banyak domba sehingga aku bisa mulai menghitung. Biasanya, cara ini berhasil. Namun, tidak butuh waktu lama, sayup-sayup kudengar suara tangisan dari arah luar. Tepatnya, seperti di belakang kamar kami. Itu bukan delusi. Aku yakin, ini bukan hanya sebuah halusinasi karena sempat berpikiran tentang hal seram beberapa waktu sebelumnya. Suara tangisan itu semakin terasa keras. Aku kembali membuka mata. Ingin rasanya menyibak gorden jendela yang berada tepat di atas kepala yang tertutupi kelambu, tapi aku terlalu takut untuk bergerak. Akhirnya, kuputuskan untuk membangunkan Nia yang sepertinya tidak mendengar suara tangisan tersebut karena sudah saking lelapnya. “Nia!” ujarku. Tapi, perempuan itu tidak juga bangun. Aku mencoba menggoyangkan tangannya. Ia masih saja tenggelam dalam alam mimpi. Entah terlalu lelah atau memang tidurnya seperti mati suri, aku tidak paham. Yang jelas, aku tidak bisa tidur kembali karena suara itu masih terdengar di telingaku. Beberapa waktu kuhabiskan dengan menatap ke atas, memandangi kelambu yang menutupi ranjang kami. Memang terlihat seram, tapi apa daya. Tidak ada hal lain yang bisa kulihat di sini. Mau turun dari ranjang pun, rasanya berat. Takut-takut kalau saat aku turun, ada tangan yang memegangi kakiku. Jadi, kupilih untuk mematung tanpa melakukan apapun sampai pagi menjelang. Dengan telinga yang pura-pura tuli meski suara tangisan itu masih saja terdengar. Waktu berlalu. Tanpa sadar, akhirnya aku tertidur setelah semalaman menahan rasa takut. Sudah terdengar adzan subuh berkumandang. Aku bergegas turun dari ranjang setelah Nyai terdengar membuka sengkelot pintu kayu depan. Terdengar juga serelekan dari gorden yang tandanya hari sudah berganti. Nia yang semalaman tertidur bagai orang mati sudah membuka mata begitu mendengar suara ranjang ketika aku turun. Memang ranjang tua ini sedikit berisik. Baru saja kulangkahkan kakiku untuk menyibak tirai yang menutupi pintu kamar, terdengar tangisan lagi. Ini lebih keras. Seketika kupalingkan wajah ke arah Nia, dengan harapan bahwa Nia juga mendengar apa yang aku dengarkan. Persis dengan semalam. Suaranya masih terdengar sama. Rupanya benar. Gadis yang sedang duduk di atas kasur itu menatap balik. Ia juga mendengar suara itu. Keras sekali. Tidak hanya satu, terdengar banyak suara seolah mereka sedang berkumpul. Jadi, suara yang kudengar sejak malam benar-benar bukan hanya ilusi ku semata. Lekas, aku menyibak tirai. Ku lihat Nyai sudah membuka pintu dan berjalan ke luar se pagi ini. Nia yang juga ingin tahu apa yang terjadi, segera meloncat dari ranjang dan ke luar membuntuti Nyai. Aku yang tadinya hanya diam saja, turut penasaran. Kuikuti langkah Nia, mengintip ke luar sana. Jadilah kami seperti anak ayam yang mengekor pada induknya. Rupanya, tangisan itu berasal dari sebelah rumah. Rumah gubug yang dindingnya terbuat dari anyaman rotan. Jangan heran, di sini memang masih banyak rumah-rumah seperti itu. Tidak seperti di kota, tempat tinggalku dulu. Kulihat beberapa orang sudah duduk di dipan bambu yang ada di depan rumah tersebut. Sepertinya, hampir semua rumah di kampung ini memiliki dipan bambu di rumahnya. Nyai juga punya dua, di dapur satu dan satu lagi di bawah pohon mangga depan rumah. Rumah itu terlihat ramai. Beberapa orang duduk di dipan bambu sementara yang lain ada yang berdiri di depan pintu karena di dalam sepertinya sudah banyak dijejali orang-orang. Kulihat Nyai melenggang pergi ke rumah tersebut. Orang-orang yang melihat Nyai datang, dengan segera memberi jalan. Mereka menyingkir agar Nyai bisa lewat. Sementara aku dan Nia, masih memperhatikan mereka dari teras rumah karena memang masih terlihat dari sini. Seorang anak laki-laki yang baru keluar dari rumah tersebut melintasi kami. Nia yang begitu penasaran, menghentikan langkahnya. Ia bertanya sesuatu pada anak lelaki itu. “Jang, maneh rek ka mana?” tanyanya yang kurang lebih jika diartikan bermaksud menanyakan pada anak lelaki itu akan pergi ke mana. “Sinah nyandak panglai teh, sareng cikur.” Aku yang tidak mengerti dua benda yang disebutkan anak lelaki itu kemudian bertanya pada Nia yang menganggukan kepala. “Panglai itu Bangle, Gis,” katanya. “Jakeur saha, Jang?” Nia yang masih penasaran, kembali bertanya sebelum anak lelaki itu pergi. “Jang teh Muti. Lagrag tina motor kamari ceunah.” Akhirnya terjawab sudah, keributan apa yang terjadi di pagi hari ini. Katanya, ada anak yang jatuh dari motor kemarin. “Tapi kenapa pake bangle, Nia? Kalau cikur sih, kencur kan? Mungkin buat memar. Lah, kalau bangle?” Seketika, Nia melirik ke arahku. Tatapannya terasa begitu serius. “Berati ada sesuatu, Gis.” Sesuatu? Aku tidak mengerti dengan perkataan Nia. Mungkin memang pengobatan tradisional yang seperti itu masih ada. Aku saja yang tidak tahu. Tapi, setelah aku ingat-ingat kembali, bangle selalu digunakan oleh orang untuk mengusir setan. Katanya, setan tidak menyukainya. Jika ada yang kesurupan, bangle pun seringkali mereka gunakan sambil membaca ayat-ayat suci. Entahlah. Aku tidak pernah melihatnya secara langsung, jadi percaya tidak percaya, meskipun lebih condong rasa tidak percaya. Kami belum beranjak. Masih berdiri di depan teras memandangi mereka yang berkerumun. Sampai akhirnya, suara seorang lelaki membuat kami bubar jalan. “Nia, Sholat!” Rupanya itu adalah Abah yang baru kembali dari makam Bagja. Entah kapan lelaki tua itu datang, semalam ia belum terlihat. Mungkin, ia baru saja tiba. Akhirnya, kami berdua berjalan ke sumur untuk mengambil air wudhu dan melakukan sholat subuh, seperti yang diperintahkan Abah. *** “Baru saja Nia teh ngomongin sandekala kemarin. Sekarang benar-benar kejadian, kan? Sekarang Agis ngerti kan walilat?” Gadis itu baru saja pulang dari sekolah. Ia melempar tas ke pinggir ranjang, duduk dan membuka kaus kaki. Nia sudah mendengar tentang kejadian tadi subuh yang kami saksikan di depan teras. Aku mengangguk. Sedikit paham penjelasan Nia, dan apa yang dikhawatirkan oleh Nyai. Pada dasarnya, Nyai hanya menghindarkan kami dari hal-hal yang buruk. Bukan tanpa maksud. Ya, sebenarnya menghindari rematik juga termasuk sebuah pencegahan yang baik, sih. “Makannya kalau maghrib teh, kita gak boleh ke mana-mana. Gak ada yang tahu Sandekala akan berbuat apa.” Cukup masuk di akal. Jika sebelumnya aku berpikir bahwa pikiran Nyai terlalu kolot tentang mandi saat maghrib atau ketika malam menjelang, karena takut rematik, akhirnya aku tahu penjelasan yang lebih dekat dengan pemikiran Nyai. Dapur Nyai, yang juga menyatu dengan kamar mandi itu memang memiliki penerangan yang buruk, jika di kamarku saja lampunya sebegitu remang-remang, jangan tanya di dapur sana. Sudah gelap, lampunya seperti itu pula. Ditambah, di sana masih ada sumur hidup yang selalu kami gunakan untuk mengambil air karena Nyai belum memasang jet pump seperti di rumahku. Jika dipikir secara logika, memang cukup berbahaya menimba air begitu hari sudah gelap. Jalan saja takut tersandung. “Jadi, anak itu kemarin kenapa, Nia?” Meski sudah mendengar desas desusnya dari beberapa warga yang berlalu lalang di depan rumah Nyai, aku masih penasaran. Nia biasanya memiliki cerita yang lebih lengkap dan lebih mudah dipahami. Ia bagaikan lambe turah dengan kearifan lokal yang siap memutarkan kembali cerita dan informasi yang ia dapat, dari mana pun. Khususnya seputar perkampungan ini. “Ya itu, seperti yang Nia sudah bilang kemarin tea, kena walilat.” Nia membuka kemeja putih yang ia pakai, dan menggantinya dengan kaus abu-abu lengan pendek. Kemudian, ia menggantungkan kemeja putihnya di paku. “Tadi siang dibawa pakai mobil desa. Pas Nia sekolah,” kataku membagi informasi yang aku tahu pada Nia. Siang tadi memang kulihat anak perempuan itu digotong ke dalam mobil. Tidak terlihat terkejut, Nia berjalan ke meja belakang yang kebetulan letaknya tak jauh dari ranjang Nyai, tepat di sebelah lemari jati tempat kami menyimpan baju. Nia menuang segelas teh hangat dari teko, kemudian kembali duduk di hadapanku. “Padahal kan lukanya engga begitu parah, kalau dilihat-lihat,” ujarku lagi menjelaskan. Memang iya, aku tidak melihat luka patah tulang atau pun yang sejenisnya, yang membuat anak perempuan itu tak bisa bangun dari kasur. Cukup lama mendengar jawaban dari Nia, akhirnya setelah menghabiskan segelas teh hangat, barulah ia berbicara. “Agak aneh emang. Kalau dari yang Nia denger, mah, malah si Muti teh sempet nyelah motor. Yang mereka naikin itu. Sempet mogok ceunah mah kemarin teh.” Tak lama, Nyai datang dari luar, membawa nampan dan beras yang sudah diayak. Seketika obrolan kami terhenti. Nia menaruh gelas dan mulai berjalan ke dapur. Sementara aku, melihat seseorang dari balik jendela dengan kerangka besi. Ia duduk di bawah pohon mangga rimbun di depan rumah. Tepat ketika aku hendak berpaling dan mengikuti langkah Nia, orang itu menatap wajahku dengan senyuman yang janggal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD