Setelah beberapa bulan berlalu tanpa terdengar lagi suara kentongan yang merupakan pertanda ada hal yang tidak beres di kampung ini, akhirnya suara yang tidak diinginkan semua warga itu kembali terdengar lewat tengah malam. Entah mengapa, malam ini aku harus mengalami serentetan hal yang menakutkan, berawal dari cerita yang kisahkan oleh Nia menjelang tidur. Apakah ini pertanda jika ‘mereka' tidak suka dibicarakan?
Kami bertiga berdiri di ambang pintu, menyaksikan segerombolan orang dengan senter juga kentongan yang Nia pernah bicarakan padaku sebelumnya. Larangan untuk keluar malam sepertinya tidak berlaku untuk kali ini, lagi pula, ini sudah masuk pergantian hari, hari ini sudah masuk hari jumat menurut penanggalan kalender.
Aku hanya menyimak mereka yang saling bicara dengan bahasa Sunda yang sedikit banyak aku mulai paham artinya. Setelah Nia membuka pintu dan melihat situasi yang terjadi, seseorang menghampiri kami. Seorang paruh baya yang Nia panggil Mang itu kemudian memberitahu Nyai bahwa Ki Jaman, lelaki tua yang rumahnya tepat berada di seberang rumah Nyai telah menghilang. Lelaki paruh baya itu bertanya, barangkali Nyai melihat Ki Jaman karena mereka tidak dapat menemukan lelaki tua itu di mana pun.
“Geuning sih?”
Nyai kembali bertanya, sementara lelaki itu mengangkat bahu. Nyai juga bertanya tanya bagaimana bisa mereka kehilangan Ki Jaman yang padahal jelas-jelas sudah terbaring lemah tak berdaya selama berbulan-bulan. Dan lagi, bukankah biasanya selalu ada orang yang menemani?
“Emang enggak ada yang nemenin, Mang? Bukannya biasanya kalau malam teh sok ada yang menemani?” tanya Nia, ternyata yang ada di pikiranku tersalurkan juga tanpa aku harus bertanya.
“Semalam teh, cuma ada si Fuad. Si Ibu kebetulan lagi ke kamar kecil, si Fuad ketiduran. Ari pas melek, hoh geuning teh Ki Jaman tos teu aya di kasur. Ai sugan Fuad mah nuju ka kamar mandi, tapi geuning Ibu kaluar malah naros Ki Jaman aya di mana.”
Kentongan masih terdengar bunyinya meskipun gerombolan dari mereka sudah berjalan cukup jauh. Perempuan yang merupakan istri dari Ki Jaman itu tidak turut ikut dengan rombongan. Ia berdiri di beranda rumahnya dengan wajah cemas dan menangis. Kali pertama kulihat ada yang lain dari wajahnya sejak pertama aku pindah ke kampung ini. Biasanya, ia selalu melihat ke arahku dengan tatapan yang entah aku pun tak mengerti apa artinya. Tapi malam ini, aku melihat kalau perempuan itu adalah manusia yang sama saja dengan yang lain.
Dug
Tiba-tiba terdengar suara seperti benda jatuh yang cukup keras. Setidaknya, kami yang sedang berdiri di beranda rumah tengah malam ini mendengar suara tersebut. Spontan aku menatap Nia. Tidak, tepatnya kami semua saling tatap. Bingung.
“Ngadangu teu?”
Nia bertanya, tanpa menekankan pada siapa ia bertanya. Kami bertiga, aku, Nyai, dan lelaki yang ia panggil Mang itu seketika mengangguk. Hanya saja, Lagi-lagi Nyai memasang wajah yang lebih tenang dibanding kami semua. Perempuan yang usianya cukup tinggi tapi tetap terlihat muda itu, selalu terlihat tenang, apapun kondisinya.
“Mungkin suara tikus,” jawabnya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan. Memang ini bukan kali pertama terdengar suara benda jatuh seperti itu. Bahkan tadi pun, sebelum aku dan Nia memutuskan untuk tidur, bukankah aku mendengar suara yang sama? Kupikir tikus-tikus di dalam rumah ini sedang berpesta.
Dug.
Suaranya terdengar lagi. Sama seperti tadi. Nia yang mulai khawatir bahwa tikus-tikus itu mulai merusak barang-barang kemudian masuk ke dalam rumah.
“Coba Nia tingal heula nya. Takutnya teh malah jadi pabalatak,” pamitnya pada kami, yang masih berdiri saling tatapan. Nia tidak penakut memang. Yang ia takutkan hanya lah, tikus-tikus itu memberantakan rumah yang mana akan menjadi bagian dari pekerjaan Nia yang harus membereskannya.
“Mau ditemenin enggak?”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku setelah sejak tadi, aku hanya diam dan menyimak semua perkataan yang keluar dari mulut mereka. Sementara itu, Nia menggelengkan kepala.
“Ah, teu kudu. Cuma mau ngecek, bisi nu jatuh teh barang berharga,” jawabnya lagi, menimpali pertanyaanku.
Nia lalu masuk ke dalam rumah. Aku dapat melihat punggungnya begitu ia berjalan ke dalam. Sementara itu, lelaki yang sejak tadi memberi informasi juga mulai berpamitan. Ia menganggukkan kepala setelah beberapa waktu berbicara dengan Nyai.
“Lamun kitu, abi pamit heula. Mau ikut keliling dengan yang lain. Mangga, Nyai.”
Sapa nya sebelum pergi. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan warga di kampung ini. Semuanya saling bergotong royong bila ada hal yang terjadi, mereka terlihat ramah dan bertetangga satu sama lain, hanya saja, ada beberapa kutemui orang-orang yang kebetulan menurutku ‘aneh'.
Tak lama, Nia kembali dari dalam. Ia menggelengkan kepala. Katanya, tidak ada barang apapun yang jatuh. Sepertinya, tikus tikus itu sedang bergelut di atas rangka rumah. Meskipun aku berpikir, kalau pun iya demikian, kami seharusnya masih bisa menangkap basah mereka karena atap rumah Nyai memiliki rangka terbuka, alias aku bisa melihat langsung ke kerangka atap.
Perempuan yang kami panggil Nyai, menatap kami. Dengan wajah yang tenang itu, ia masuk lebih dulu ke dalam rumah, kemudian berkata, “Ya sudah. Kembali tidur.” Mau tak mau, kami menurut, membuntuti nya untuk kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, mengambil balok kayu yang cukup besar untuk menyengkelot pintu.
Tidurku tidak nyenyak. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan tidur setelah sebelumnya bermimpi buruk dan sekarang malah segar bugar selepas mencium udara malam dari luar yang tidak pernah kunikmati sebelumnya.
Meskipun pada akhirnya aku dan Nia kembali ke atas ranjang, tapi kami tidak kembali tidur seperti yang sebelumnya di perintahkan Nyai.
“Aku gak bisa tidur lagi kayanya deh,” ujarku pada Nia yang mana memang ialah satu-satunya yang bisa mendengar suaraku paling banyak di antara yang lain.
Nia melemaskan tubuhnya. Ia berbaring. Menatap ke atas rangka atap. Aku turut berbaring begitu melihatnya melakukan hal tersebut.
“Aku teh masih kepikiran, ari Ki Jaman hilang ke mana,” Katanya tiba-tiba saja.
Aku menoleh ke arahnya. Memang membingungkan. Siapa pun akan dibuat bingung karena kejadian ini. Saat kami masih dengan pikiran yang bertanya-tanya, suara itu kembali terdengar. Suara gaduh seperti tikus yang sedang berkelahi. Suaranya terdengar lebih lantang dibanding sebelumnya yang hanya terdengar sesekali. Spontan aku dan Nia terduduk dan saling tatap. Suaranya tidak terhenti. Tidak ada jeda. Terus menerus berbunyi.
Dug dug dug.
“Coba liat, Nia. Masa sih tikus segitu ramainya engga kelihatan?”
Kami segera turun dari kasur dan menemukan Nyai yang juga sepertinya mencari-cari asal suara, karena begitu kami keluar kamar, Nyai sedang mendongak ke langit-langit. Tapi, suara itu semakin keras dan berisik. Aku mulai takut. Kuraih tangan Nia dan kami berpegangan dengan erat. Bagaimana kalau ternyata itu bukan tikus?
“Nyai, sorana jiga dari deket kamar nyai.”
Nyai bergegas berjalan ke arah kamarnya, tapi tidak melihat apapun di sana. Sementara suara itu semakin keras dan keras lagi. Aku dan Nia membuntuti dari belakang. Kulihat Nyai berjalan ke kamar kecil di dekat kamar Nyai yang mereka sebut pendaringan, tempat di mana aku menemukan suguhan teh dan kopi serta kembang tujuh rupa. Mungkin memang benar suaranya dari sana. Siapa tahu, tikus-tikus itu memang bersarang di sana karena banyak beras di dalam gentong.
Benar saja. Semakin kami dekat dengan pendaringan, suara itu semakin terdengar gaduh. Hingga Nyai membuka pintu, dan aku mendengarnya berteriak, untuk pertama kalinya.