Chapter 2

1194 Words
Ralf dan Elin baru saja sampai di apartemen Elin, Ralf langsung mendudukkan Elin di sofa ruang tamu lalu ia berlutut di depan Elin, ia menyentuh pelan pipi Elin. "Ugh..." erang Elin kesakitan saat Ralf menyentuh pipinya. "Tahanlah sebentar, akan aku hilangkan," ucap Ralf lembut. "Tutup matamu," lanjutnya. Elin hanya menurut lalu menutup matanya, begitu mata Elin tertutup sebuah cahaya berwarna biru muncul dari telapak tangan Ralf yang menyentuh pipi Elin yang bengkak. "Healing." Cahaya itu semakin terang menutupi luka bengkak di pipi Elin, ketika cahaya itu mulai meredup, pipi Elin yang awalnya bengkak sudah kembali seperti semula, tidak ada bekas luka di pipinya lagi. "Kau sudah bisa membuka mata," ucap Ralf lembut lalu Elin mulai menurut dan membuka matanya. Ia sangat terkejut saat tidak merasakan sakit lagi di pipinya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya bingung. "Aku mengobatinya, apa ada masalah?" ucap Ralf santai. "Tidak, terima kasih," ucap Elin malu. Ralf hanya tersenyum hangat lalu berdiri. "Baiklah, sepertinya kau sudah tidak apa-apa, aku ke kekamar dulu," ucap Ralf sambil tersenyum hangat dan akan beranjak menuju kamarnya. "Tunggu, Ralf," panggil Elin pelan. "Ya?" "Apa kau baik-baik saja?" tanya Elin khawatir. "Apa maksudmu?" tanya balik Ralf bingung. "Kau terlihat pucat sekali, apa kau baik-baik saja?" jelas Elin semakin khawatir. "Hahaha..." Ralf tidak bisa menahan diri untuk tertawa, bagaimana bisa dia mengkhawatirkan seorang vampire yang memang sudah memiliki wajah pucat. Elin menjadi bingung melihat Ralf yang tiba-tiba tertawa lepas. "Kenapa?" tanya Elin bingung. "Lucu ... hahaha..." jawab Ralf singkat lalu tertawa kembali. "Apanya yang lucu?" tanya Elin semakin bingung. "Hahaha ... kau yang lucu," jelas Ralf tanpa berhenti tertawa. "Hah?" "Aku adalah Vampire, kami para Vampire memang berwajah pucat seperti ini," jelas Ralf lalu mulai meredahkan tawanya dan berjalan santai masuk kedalam kamarnya. "Aku tahu itu, tapi wajahmu itu ... wajah yang seperti menahan sakit," ucap Elin pelan dengan khawatir menatap kamar Ralf. *** Begitu Ralf masuk ke kamarnya, ia langsung mengunci kamarnya dan terjatuh di depan pintunya dengan nafas yang tidak teratur. "Hah ... hah ... hah ... hah..." Ralf berusaha bangkit dari tempatnya dan menuju tempat tidur, namun tubuhnya menolak untuk mengikuti perintah otaknya. Sekali lagi ia memaksakan tubuhnya untuk berdiri lalu berjalan dengan perlahan menuju meja belajar yang tidak jauh darinya. Begitu sampai di depan meja belajarnya, Ralf langsung mengambil botol kecil yang berisikan banyak sekali kapsul berbentuk lingkaran. Ia menuangkan beberapa kapsul di gelas minuman yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ketika kapsul-kapsul itu larut dalam air, air berubah menjadi merah gelap karena tercampur oleh kapsul yang larut. "Hah ... hah ... hah ... hah..." Begitu semua kapsul sudah larut, Ralf segera meminum air yang sudah berwarna merah gelap itu dengan sekali teguk. "Hah ... hah ... hah..." Begitu selesai meminum itu, kepala Ralf terasa sangat pusing ia meletakkan gelas yang sudah kosong itu di meja lalu memegang kepalanya yang terasa akan pecah. Pada akhirnya Ralf pun jatuh pingsan di lantai. Kapsul yang tadi larut itu adalah kapsul darah yang di ciptakan oleh Ralf sendiri, ia membuat itu ketika belum bertemu dengan Elin untuk menghilangkan rasa hausnya. Memang setelah kematian tunangannya itu, Ralf tidak pernah meminum darah lagi, karena bagi Vampire bangsawan, mereka hanya bisa meminum darah dari orang yang melahirkan mereka atau orang yang menjadi pasangan hidup mereka, itu adalah hukum mutlak bagi para Vampire bangsawan. Karena dengan begitu mereka akan bisa mengendalikan nafsu mereka, tidak seperti para Vampire yang bukan keturunan bangsawan yang sering meminum darah manusia. Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa kali membuat Ralf yang tadinya pingsan cukup lama terbangun dengan memegang kepalanya. Ralf mulai bangun dari tempatnya lalu berjalan dengan santai menuju pintu, dan membukanya. "Ada apa?" tanya Ralf ketika sudah membuka pintunya dan melihat Elin yang sebenarnya tadi mengetuk pintunya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Elin khawatir. "Iya, kenapa?" "Tidak apa-apa, hanya saja dari siang tadi kau belum keluar kamar, jadi aku takut terjadi sesuatu kepadamu," jelas Elin khawatir. Ralf hanya tersenyum hangat. "Jadi kau mengkhawatirkanku nih," goda Ralf sambil mengedipkan matanya. "Apa sih, dasar bodoh, aku menyesal telah mengkhawatirkanmu," ucap Elin kesal dan berwajah merah lalu berjalan dengan langkah lebar menuju kamarnya. "Hihihi ... dasar." Ralf hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah laku Elin saat kesal. Namun tak lama senyuman itu kembali pudar lalu ia segera masuk ke kamarnya. *** Seorang pria berambut hitam dengan kaos hitam polos yang tertutup jaket merah, pria itu berada di sebuah ruangan yang sangat gelap, hanya di terangi oleh cahaya sang rembulan. Pria itu memandang keluar jendela dan mengingat saat pertemuannya dengan Ralf di gang kecil itu. "Tidak salah lagi, itu adalah tuan muda," ucap pria itu sambil mengingat rambut hitam, mata merah, dan aura yang menakutkan saat marah milik Ralf. "Akhirnya aku menemukan tuan muda," ucapnya senang. "Raven," panggil pria itu lalu muncul seorang pria berambut hitam, dengan pakaian serba hitam dan sayap yang seperti malaikat berwarna hitam. "Ya, tuanku," ucap pria itu sambil berlutut di belakang pria itu. "Kabarkan kepada Yang Mulia Raja dan Ratu Vampire, kita telah menemukan keberadaan tuan muda dan juga reinkarnasi dari tunangannya," perintah pria itu. "Baik, tuanku," turut Raven lalu menghilang di belakang pria itu. "Kita harus segera membawa tuan muda beserta reinkarnasi tunangannya sebelum bulan merah datang 2 tahun lagi," ucapnya tajam. *** "Aku akan pergi keluar, apa kau mau ikut?" tawar Ralf setelah mengetuk pintu Elin. Namun tidak mendapatkan jawaban dari Elin, sepertinya wanita itu masih kesal dengan dirinya. "Hah..." helaan nafas berat terdengar dari Ralf. Karena tidak mendapatkan jawaban juga dari Elin, Ralf memutuskan untuk pergi sendiri. "Kalau begitu aku pegi dulu, aku tidak akan lama." Setelah mengatakan itu Ralf berjalan keluar dari apartemen Elin dengan santai. Begitu kepergian Ralf, Elin keluar dari kamarnya, ia melihat kesekitarnya untuk memastikan jika Ralf benar-benar sudah pergi. "Hah..." ia menghembuskan nafas lega ketika yakin jika Ralf sudah keluar. "Sebenarnya ada apa dengan dia?" tanya Elin pada dirinya sendiri dengan bingung. Sebenarnya ia tidak mau melakukan ini jika Ralf jujur kepadanya, tapi dia sangat penasaran dengan keadaan Ralf, jadi ia berjalan menuju kamar Ralf. Ia membuka pintu dan masuk kedalam kamar Ralf lalu mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keadaan Ralf. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan Ralf lalu pandangannya tertujuh kepada botol kecil yang berisikan kapsul berwarna putih bersih, dan berbentuk lingkaran lalu di sampingnya terdapat segelas air mineral. "Obat?" tebak Elin. "Tapi obat apa?" tanya Elin bingung lalu ia mempunyai sebuah ide. Ia mengambil beberapa kapsul itu lalu memasukkannya kedalam gelas air mineral, Elin langsung membulatkan matanya sempurna ketika melihat kapsul yang awalnya berwarna putih bersih itu, saat larut dalam air bukannya berwarna putih, namun berwarna merah gelap. "A-apa ini? Kenapa warnanya menjadi merah gelap? Seperti ... seperti darah!" ucap Elin tidak percaya lalu ia mengambil gelas berisikan cairan merah itu lalu menghirup bau yang di hasilkan, benar saja saat ia menghirup bau cairan merah itu, baunya seperti bau darah. Ia langsung membulatkan matanya sempurna lalu memandang kearah botol kecil yang berisikan kapsul yang sama dengan jumlah cukup banyak. "Akhirnya ketahuan juga." Suara seseorang yang sangat ia kenal membuatnya terkejut dan langsung membalikkan badan. "Ralf!" Elin sangat terkejut melihat Ralf yang ia pikir sudah keluar dari apartemen sekarang berada di depan pintu kamarnya. Ralf hanya diam dan tersenyum hangat memandang Elin yang masih dalam keadaan terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD