Bab 9

1360 Words
"Setelah ini bersiaplah, Fe," ucap Furqon tak lama setelah Feiza mengambil kotak berisi cincinnya. "Siap-siap? Apa, Gus?" balas gadis itu terdengar malas tak bertenaga. Kenyataan bahwa Furqon adalah laki-laki yang dinikahkan dengannya menyedot habis tenaganya, bahkan bisa dibilang, gairah hidup Feiza. Gadis itu sudah bisa membayangkan hari-hari berat yang akan dialaminya dan menunggunya di depan mata karena menjadi istri Furqon. "Aku mau mengajakmu jalan-jalan seperti yang sudah kusampaikan ke Ayah," balas Furqon. "Semua barang yang mau kamu bawa kembali ke Plosojati, kamu bawa sekalian. Setelah jalan-jalan kita akan langsung kembali ke sana." Feiza diam tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar masih syok dan terkejut. Plosojati yang dimaksud Furqon ialah nama daerah tempat berdirinya kampus mereka di kota rantauan. Dan kebanyakan mahasiswa memang memilih tinggal dan menetap di daerah itu entah di kontrakan atau indekosnya masing-masing. Sekarang, Feiza masih terkejut karena Furqon benar-benar akan mengajaknya kembali ke tempat rantauannya. Itu yang pertama. Kedua, Feiza terkejut karena Furqon akan mengajaknya jalan-jalan hanya berdua dan laki-laki itu sudah mengantongi restu dari kedua orang tuanya. Sedangkan yang ketiga, ia terkejut karena bersama Furqon, ia akan pergi jalan dari sepagi ini kemudian langsung bablas ke Plosojati tanpa kembali ke rumahnya untuk berpamitan kepada ayah dan ibu Feiza lagi. Dan lebih dari semua itu, Feiza sangat terkejut karena kini benar-benar muncul wujud laki-laki yang datang untuk mengklaim Feiza sebagai istrinya dan berkata secara langsung bahwa laki-laki itu akan membawanya. Terlebih, orang itu adalah Furqon, senior yang menjadi idola di kampusnya dan disukai oleh begitu banyak wanita. Semua ini benar-benar terasa gila untuk Feiza. Ia sama sekali tidak siap. Pergi berdua dengan Furqon, jalan-jalan yang entah ke mana, dan terakhir kembali ke Plosojati sebagai akhir destinasi. Hidup Feiza kini seperti sedang berada di puncak komedi. Tapi bukannya lucu, namun sangat miris sekali. Tunggu tunggu! Omong-omong soal destinasi terakhir mereka di Plosojati nanti, Feiza masih akan tetap pulang ke indekosnya, kan? Furqon tidak akan membawanya ke tempat laki-laki itu tinggal, kan? Iya, kan? Bulu kuduk Feiza langsung meremang. Gadis itu pun melirik ke arah Furqon soalah menatap setan. Ia belum siap tinggal seatap dengan laki-laki yang meski Feiza kenal tapi masih begitu asing di hidupnya. Ya, meskipun laki-laki itu adalah suami sahnya, tapi Feiza tidak siap jika harus hidup dengannya. Lebih tepatnya, Feiza tidak mau. Bagaimanapun caranya, Feiza akan memastikan bahwa dirinya dan Furqon tidak akan tinggal bersama. Baiklah, untuk itu, sepertinya Feiza harus berusaha menurut saat ini agar Furqon bersedia menurut kepadanya nanti. "Feiza." Feiza terhenyak. Furqon yang sejak tadi merasa tidak juga mendapat tanggapan dari Feiza atas kalimatnya akhirnya memanggil nama gadis itu. Feiza pun langsung memekarkan senyumnya. "Iya, Gus." Ia menatap lurus Furqon yang sedikit mengerutkan dahi menatapnya. Spertinya kini adalah waktunya bagi Feiza untuk melancarkan aksinya memulai sandiwara. Ia harus menuruti kata-kata Furqon saat ini. "Kamu dengar aku, kan?" tanya Furqon. "Nggeh. Aku dengar," balas Feiza masih memasang senyuman. Furqon mengangkat sebelah alisnya menatap Feiza. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa merinding melihat senyum perempuan yang baru dinikahinya sekitar empat minggu di depannya. Furqon pun berusaha mengenyahkan perasaan itu dengan sedikit mengedikkan bahunya. "Bersiaplah, Feiza. Setelah ini kita langsung berangkat begitu Ayah dan Ibu pulang dari pasar," tukas Furqon lagi. Feiza mengagguk. "Iya, Gus. Aku akan siap-siap sebentar." "Hm." Furqon menyahutinya dengan manggut dan menggumam. "Oh, ya. Kalau boleh tahu, kita mau jalan-jalan ke mana?" Feiza bertanya. Gadis itu pikir ia harus menyiapkan antisipasi untuk kemungkinan terburuk apa pun yang akan terjadi. Jika ia tidak mampu mengantisipasi, setidaknya Feiza sudah menyiapkan atau menguatkan diri juga hatinya. "Ada pokoknya," balas Furqon sembari memasang senyum misterius lantaran melihat wajah penasaran Feiza. "Oh." Feiza ber-oh dengan wajah sedikit kecewa yang dalam sedetik segera dienyahkannya lalu pamit kepada Furqon untuk bersiap-siap. *** Di dalam kamarnya, Feiza bingung memutuskan pakaian mana yang harus dikenakannya. Ia bingung harus memakai setelan baju dengan celana, rok, atau memakai gamis saja. Mengingat outfit keren Furqon yang membuat laki-laki yang memang sudah rupawan itu terlihat semakin good looking, Feiza sedikit khawatir jika penampilannya tidak akan sebanding atau malah terbanting. Sempat terlintas di kepala Feiza untuk membuat Furqon merasa risih kepadanya sebagai ajang Feiza yang ingin menunjukkan ketidaksukaannya kepada laki-laki itu. Dengan memakai celana jins ketat misalnya yang didapatnya sebagai kado ulang tahun dari Ella, teman sekamarnya di indekos. Ia bisa memadu-padankan celana jins itu dengan salah satu crop top pastel yang dimilikinya kemudian memakai pashmina lilit leher. Namun, tak lama Feiza mengurungkan niatnya. Bagaimana jika Furqon tidak terpengaruh dan malah Feiza sendiri yang malu? Selama ini sekali pun Feiza tidak pernah berpenampilan seperti itu. Makanya, celana jins baru itu ada di lemari rumahnya alih-alih di dalam lemari kamar indekosnya. Ya, Feiza memang sesekali memakai celana. Namun, bukan jenis celana ketat atau pembentuk tubuh seperti jins itu. Celana-celana kulot yang biasa dipilihnya. Lagi pula, Feiza kan berencana membuat senang Furqon saat ini, supaya laki-laki itu mau membiarkan Feiza tetap tinggal di indekosnya begitu sampai di Plosorejo nanti alih-alih tinggal bersama Furqon. Feiza pun kembali memutar otaknya. Kalau begitu, haruskah ia memakai salah satu setelan gamisnya? Beberapa orang mengatakan Feiza terlihat lebih cantik dan manis mengenakan baju terusan seperti itu. Mereka bahkan menyematkan kata anggun untuk memujinya. Mungkinkah Furqon akan melakukan hal yang sama jika kali ini Feiza memakai gamis? Memujinya? Ah, tidak tidak! Feiza tidak menginginkan pujian Furqon. Ia juga tidak ingin terlihat lebih cantik ataupun anggun di depannya. Daripada bingung memikirkan outfit seperti apa yang harus dipakainya, alangkah lebih baik sekarang Feiza memakai riasan wajahnya. Dan ingat, merias wajah itu sudah menjadi kebiasaan Feiza semenjak kuliah. Ia berdandan untuk menyenangkan diri sendiri. Jadi, tidak ada sangkut pautnya dengan Furqon atau upaya Feiza menyenangkan laki-laki itu sama sekali. Apalagi membuatnya terkesan. "Feiza!" Feiza baru selesai melakukan finishing pada wajahnya dengan membubuhkan sedikit perona di kedua belah pipi ketika suara sang ibu terdengar. Gadis itu menoleh ke arah asal suara dan mendapati ibunya berdiri di pintu kamarnya. Beliau baru saja kembali dari pasar sepertinya. "Iya, Bu?" balas Feiza. "Kenapa Nak Furqon kamu tinggal sendirian di ruang tamu, Nduk? Kamu ini. Mbok ya jangan seperti itu kepada suamimu." Feiza langsung mengerutkan dahi. Apa-apaan ini? Belum apa-apa, sang ibu menunjukkan sikap seolah lebih menyayangi Furqon daripada dirinya yang merupakan anak satu-satunya. Tercermin dari omelannya yang sekarang ini seperti sedang memojokkan Feiza. Feiza pun menghela napas. "Fe udah bilang sama Gus Furqon kok, Bu," balasnya. "Dia yang nyuruh Feiza siap-siap." Bibirnya sedikit mencebik menyuarakan rajukannya kepada sang ibu. "Owalah, ya sudah. Jangan lama-lama kalau begitu." Sang ibu pun segera berlalu setelah mengatakan itu. Lagi, Feiza menghela napas. Ia kembali menatap hasil make up-nya di depan kaca lalu memilih pakaiannya tanpa berlama-lama. Pilihannya jatuh pada setelan tunik berwarna kuning pastel yang dipakainya dengan bawahan rok hitam. Sedangkan untuk kepalanya, Feiza mengenakan kerudung berwarna hitam untuk membalutnya. Gadis itu memutuskan tidak memakai setelan celana ataupun gamis. Ia mencari aman saja. Setelah mengganti pakaian dan memasukkan dompet juga ponselnya ke dalam tas tangan kesayangan yang tadinya hampir ia tinggalkan di rumah agar bisa kembali ke kota rantauan tanpa dicurigai kedua orang tuanya sampai Furqon datang ke rumah dan menggagalkan rencananya, Feiza pun keluar menemui Furqon yang masih duduk di sofa ruang tamu bersama kedua orang tuanya. "Aku sudah siap, Gus," ucap Feiza. Furqon yang semula tampak sedang berbincang dengan ayah dan ibunya langsung menoleh ke arah Feiza. Laki-laki itu bergeming seperti sedang terpana selama beberapa saat kemudian mengulas senyum. "Iya, Fe," balasnya. "Ayah, Ibu, kalau begitu kulo izin berangkat sekarang, ya, dengan Feiza?" ucapnya kemudian kepada ayah dan ibu Feiza. "Iya, Le." Ayah Feiza mengangguk. "Ndak nunggu waktu makan siang dulu, Nak Furqon?" tanya ibunya. Furqon tersenyum lantas menggelengkan kepala. "Mboten, Bu. Kami berangkat sekarang saja." "Hm, ya sudah. Hati-hati di jalannya. Tolong jaga Feiza ya, Nak. Kalau dia membuat ulah atau membangkang langsung bilang saja ke Ibu. Kamu juga bisa mendisiplinkannya dengan caramu, Nak. Kamu suaminya." "Ibu ...." Feiza mencicit lirih tidak terima akan kata-kata ibunya. Namun, sang ibu tampak tidak menghiraukannya. "He he. Nggeh, Bu." Di sisi lain Furqon terkekeh kecil kemudian mengangguk mengiyakan. Tanpa bisa ditahan, Feiza pun langsung melirik laki-laki itu dengan tajam. Furqon menyalami tangan ayah dan ibu Feiza dengan mencium dalam-dalam punggung tangan mereka. Feiza juga melakukan hal yang sama setelah Furqon. Keduanya kemudian pergi setelah itu. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD