Setelah membeli beberapa jajanan oleh-oleh, Furqon membawa Feiza ke sebuah toko perhiasan dan membelikan sebuah cincin emas untuk gadis itu. Katanya Feiza harus memakainya jika belum mau memakai cincin nikah berlian yang diberikannya.
Sebenarnya Feiza tidak mau menerimanya, tapi lagi-lagi demi misinya yang belum tercapai, Feiza mengiyakan dan langsung mengenakan cincin emas dua puluh empat karat dengan berat 3,5 gram itu.
Terlalu besar menurut Feiza, dan tentu terlihat sangat mencolok di jari manis kecil tangan kanannya yang notabenenya mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa. Namun, apa mau dikata. Untuk saat ini Feiza terpaksa harus mengenakannya agar Furqon merasa senang.
Setelah membeli cincin, Furqon hendak mengajak Feiza ke gerai ponsel dan membelikan iPhone terbaru untuk gadis itu. Tapi untuk satu hal itu Feiza langsung menolak dengan alasan ia masih terlalu eman dengan ponsel Android kesayangannya yang sudah lama menemani Feiza semenjak masih menjadi Maba alias mahasiswa baru.
Feiza masih belum rela jika harus menukar Androidnya dengan iPhone sekalipun. Cita-citanya, gadis itu ingin memiliki iPhone sendiri nanti dengan uang hasil usaha dan jerih payahnya. Bukan dihadiahi atau dibelikan seperti yang akan Furqon lakukan untuknya.
"Yakin, nggak mau ganti pakai iPhone aja?" tanya Furqon.
"Iya, Gus. Nggak dulu. Lagian fungsinya sama saja seperti HP-ku yang sekarang. Yang penting bisa dibuat komunikasi dan akses internet, semunya aman."
Furqon langsung menghela napas mendengarnya. "Ya sudah, kalau kamu nggak mau aku nggak akan maksa," katanya.
Feiza memekarkan senyumnya dan mengangguk-angguk.
Selepas itu Furqon mengajaknya ke salah satu tempat makan yang ada di mal untuk makan siang. Feiza ingin menjerit rasanya saat mengetahui total harga makan siang yang dimakannya. Padahal menurutnya hanya nasi biasa dengan lauk ayam panggang yang rasanya memang enak tapi biasa-biasa saja. Feiza pun bisa membuatnya. Namun, harga dua porsinya sama dengan total pengeluaran yang biasa Feiza keluarkan dalam seminggu untuk memasak sendiri makanannya sehari-hari di indekos.
Pukul 11.30 WIB, mereka bertolak dari mal dan Furqon mengajak Feiza mampir untuk berziarah ke makam salah satu ulama yang pusaranya ada di kota tempat tinggal Feiza itu, Jombang.
Mereka berziarah ke makam KH. Abdurrahman Wahid yang lebih akrab disapa Gus Dur, presiden keempat Republik Indonesia yang ada di kawasan Pondok Pesantren Tebuireng sekaligus mencari tempat melaksanakan salat Zuhur di sana kemudian meneruskan perjalanan mereka.
Feiza kira, kejutan yang didapatnya dari Furqon berhenti sampai di situ. Mulai dari mengajaknya jalan-jalan ke mal dan membelikannya cincin emas dua puluh empat karat, hampir mengajaknya membeli ponsel seharga motor, dan mengajaknya berziarah ke makam Gus Dur. Namun tidak. Feiza merasa mendapatkan kejutan lagi ketika belum lama memasuki daerah Kediri---wilayah yang selalu dilewatinya ketika akan kembali ke kota rantauan, Furqon menghentikan mobil yang dikendarainya dan mengajak Feiza membeli sebuket bunga di salah satu toko bunga pinggir jalan.
Sebuah buket bunga mawar merah dengan ukuran yang cukup besar. Dan tentunya berharga mahal.
Feiza sedikit merasa malu karena ia sempat mengira Furqon akan memberikan bunga itu untuknya. Tapi ternyata tidak. Hal itu terjawab ketika sang florist toko bunga bertanya kepada Furqon.
"Bunganya untuk pacarnya, ya, Mas?" tanya perempuan yang mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua dari Feiza itu setelah menatap bergantian ke arah Feiza dan Furqon.
Furqon tersenyum menanggapinya, melirik Feiza sebentar, kemudian menggeleng. "Bukan, Mbak. Bunganya untuk orang lain."
"Ohh. Iya, Mas." Mbak-mbak florist ber-oh dan mengangguk kemudian tidak berkomentar apa-apa lagi.
Sungguh, hal itu membuat Feiza sangat malu sekali. Juga sedikit kesal. Kesal kepada Furqon dan dirinya sendiri, yang entah kenapa, bisa-bisanya berpikiran Furqon mengajaknya ke toko bunga dan membeli bunga untuk diberikan kepada Feiza.
Tak lama keduanya kembali melanjutkan perjalanan.
Hening. Lagi-lagi tidak ada percakapan atau suara apa pun di dalam mobil sedan berwarna putih itu.
Furqon fokus dengan aktivitas mengemudinya sedangkan Feiza kali ini memberikan atensi penuh kepada layar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Menggulir layar plasma yang menampilkan reels di aplikasi i********: itu dengan headset yang terpasang di telinga di balik kerudung hitam yang dikenakannya dan dengan jemari tangan yang selain menggulir, beberapa kali memencet tombol cinta sebagai bentuk dukungan dan suka atas video reels yang dilihatnya atau dengan mengetuk dua kali layar ponselnya.
Feiza sama sekali tidak memperhatikan situasi dan keadaan yang ada di sekitarnya karena hanya fokus pada tayangan video di layar ponsel, hingga beberapa saat kemudian, gadis itu merasa terkejut sekaligus kebingungan ketika Furqon tiba-tiba menghentikan mobilnya.
Feiza terserang panik seketika karena sadar lingkungan yang ada di sekitarnya sama sekali tidak dikenalnya.
Ia ada di mana? Apakah ini akhirnya, Furqon membawa Feiza ke tempat tinggal laki-laki itu di Plosojati? Tapi, kenapa cepat sekali? Bukankah beberapa saat tadi mereka masih ada di Kediri? Kenapa cepat sekali mereka sampai ke kota rantauan? Benarkah saat ini mereka ada di daerah Plosojati?
Feiza sedikit merasa sangsi.
"Di mana ini, Gus?" tanya Feiza kemudian pada seseorang yang ada di sebelah kanannya.
Furqon menoleh dan mengulas senyumnya. "Kita di rumahku, Feiza."
Deg!
Jantung Feiza rasanya berhenti berdetak saat itu juga.
"Kita temui Abah dan Umi, ya," lanjut Furqon lagi yang membuat Feiza ingin pingsan saja saat ini. Tubuhnya langsung lemas.
Jadi, ini manifestasi dari perasaan tidak enak yang Feiza rasakan beberapa waktu lalu? Arti senyum misterius yang diulas Furqon kepadanya? Feiza benar-benar tidak menyangkanya.
"Feiza, tolong kamu bawakan bunga mawar yang tadi kita beli, ya. Nanti berikan kepada Umi," pinta Furqon. "Oleh-olehnya biar aku yang bawa," lanjut laki-laki itu lantas turun dari dalam mobil dan membuka jok belakang, tempat kursi penumpang guna mengambil jajanan oleh-oleh yang memang Furqon taruh di sana termasuk buket bunganya.
Feiza yang masih di dalam mobil langsung mengedarkan matanya ke sekeliling, memindai situasi dan kondisi yang ada di sekitarnya.
Sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat.
Gadis itu menghela napas. Meski begitu, Feiza rasa ia harus menjaga identitasnya agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Terutama santri-santri di pondok pesantren keluarga Furqon. Ia tidak mau dicap sebagai mantan Furqon nantinya jika ikatan mereka berhasil putus.
Feiza membuka tas tangannya dan menghela napas penuh syukur saat menemukan persediaan masker di sana. Tanpa babibu Feiza memakainya kemudian segera menyusul Furqon turun dari dalam mobil.
Feiza mengambil buket bunga mawar yang ada di dalam jok belakang mobil kemudian menutup pintu mobil sedan itu.
Furqon yang melihat Feiza yang kini tiba-tiba telah memakai masker di depannya langsung mengernyitkan dahi dalam-dalam. "Kamu kenapa pakai masker, Fe?" tanyanya.
"Eh?" kaget Feiza. "Nggak pa-pa, Gus," balasnya. Ia tidak mungkin memberi tahu Furqon alasan yang sebenarnya. "Ayo, katanya mau bertemu Abah dan Umi," lanjut Feiza lagi.
Furqon mengulas senyum. Ia yang sebenarnya masih heran mengangguk lalu mengajak Feiza masuk. Laki-laki itu kembali menggandeng tangan Feiza dan lagi-lagi Feiza merasa sedikit terkejut ketika merasakan tangan hangat Furqon yang kembali membungkus jari-jarinya.
Mereka keluar dari area tempat parkir. Lalu benar saja, Feiza langsung bisa merasakan banyak pasang mata yang menatap kaget, heran, dan penuh penasaran ke arahnya. Untung Feiza telah memakai maskernya.
Tbc.