Dyenn sampai di depan sebuah rumah kecil di kawasan Suncheon. Tidak begitu ramai daerah sana, jadi Dyenn pikir tepat untuk tempat tinggal Letty saat ini. Lelaki itu tidak pernah membayangkan kalau Letty akan berpindah-pindah tempat tinggal seperti ini hanya karena seorang lelaki berengsek yang sudah merusak hidup gadis yang Dyenn cintai.
Setelah mobil berhenti, Dyenn pun menatap ke arah perempuan yang ternyata tertidur pulas di sampingnya. Dyenn tidak tega untuk membangunkan Letty saat ini. Dia memilih untuk keluar dari mobil dan berjalan menuju ke rumah pemilik dari rumah yang akan ditempati oleh Letty. Sebelumnya, Dyenn sudah mengurus semua dengan membayar uang via transfer dan memberitahu kondisi Letty saat ini butuh ketenangan. Pemilik rumah tidak keberatan akan hal itu dan meminta Dyenn mengambil kunci rumah tersebut saat sudah sampai. Dyenn berjalan ke pemilik rumah sekitar berjarak tiga rumah dari rumah yang disewa. Lelaki itu tidak terlihat lelah sama sekali meski seharian berkutat di kantor dan menemani Letty.
Dyenn menekan bel yang berada di samping pagar. Menunggu beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka.
“Tuan Dyenn?”
“Ya, ini saya. Selamat malam Nyonya Han Syuu. Maaf perjalanan cukup jauh hingga baru sampai saat ini.”
“Tak apa. Silakan masuk terlebih dahulu. Anda ternyata lebih muda dari yang saya perkirakan.”
“Terima kasih banyak, Nyonya. Saya hendak meminta kunci karena harus membereskan perabotan. Sahabat saya tertidur di mobil, jadi saya ingin menyelesaikan dengan cepat,” kata Dyenn jujur sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Oh, baiklah. Sebentar, biar saya panggilkan Chao An. An! Cepat bawa ke sini kuncinya!” seru Nyonya Han Syuu kepada putrinya yang baru saja lulus universitas dan sedang mengikuti seleksi pegawai.
Terlihat perempuan itu bergegas keluar dari rumah, membawa kunci yang dimaksudkan oleh Nyonya Han Syuu. “Ini, Ibu,” lirih Chao An tanpa menatap ke arah ibunya.
“Terima kasih. Sana kembali ke dalam.” Nyonya Han Syuu terlihat terlalu mengatur putrinya.
“Ini, Tuan Dyenn. Terima kasih sudah membayar uang sewa terlebih dahulu. Semoga senang tinggal di sana. Selamat malam,” kata Nyonya Han Syuu sambil memberikan kunci rumah pada Dyenn.
“Terima kasih banyak, Nyonya Han Syuu. Selamat malam.”
Dyenn membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada Nyonya Han Syuu kemudian berpamitan pergi. Dia bergegas berjalan menuju ke rumah yang akan ditempati oleh Letty. Sesampainya di sana, ternyata Letty sudah terbangun dan keluar dari mobil sambil mengusap-usap tangannya. Ah, pasti Letty kedinginan menunggu di luar.
“Letty? Maaf, tadi kamu tertidur dan aku segera mengambil kunci rumah ini di pemiliknya yaitu Nyonya Han Syuu di ujung sana. Sebentar, aku buka dahulu rumahnya dan kamu tunggu di dalam saja biar aku yang mengangkut barang-barang ini,” ujar Dyenn yang tidak mau Letty kelelahan.
“Dyenn, aku bukan anak kecil lagi. Biar aku melakukan ini sendiri. Lagi pula ini sudah malam, besok kamu harus bekerja, bukan?” Letty merasa tak enak sahabatnya terlalu baik dan memperlakukan dirinya seakan anak kecil saja.
Dyenn sudah membuka gerbang kecil dan masuk ke dalam, lalu membuka pintu rumah tersebut. Lampu depan memang sudah menyala, tetapi di dalam rumah masih gelap. Dyenn tidak mendengarkan apa yang Letty katakan karena tahu hanya akan diusir dari tempat itu. Dyenn memilih untuk memeriksa rumah tersebut apakah benar-benar layak untuk tempat tinggal Letty atau tidak.
“Dyenn ... jangan pura-pura tidak mendengar. Terima kasih atas semua kebaikanmu, tetapi sekarang sudah malam, ada baiknya kamu pulang dan istirahat,” kata Letty yang berjalan mengikuti Dyenn masuk ke dalam rumah.
Dyenn pun menekan saklar lampu di sana dan dalam rumah seketika terang. Tempatnya sudah bersih dan dalam kondisi kosong seperti yang dikatakan Nyonya Han Syuu dan suaminya saat di telepon tadi sore.
“Letty, rumahnya sudah bersih, jadi aku akan memasukkan barang-barang. Kamu tunggu di sini saja.”
“Dyenn ... kamu ....”
“Ssst ... jangan teriak-teriak ini sudah malam. Aku akan menyelesaikan dengan cepat agar bisa segera pulang dan istirahat, oke? Kamu cek dahulu bagian dalam kamar mandi, dapur, dan kamar kalau ingin memastikan tempat ini layak atau tidak,” pungkas Dyenn yang segera keluar rumah dengan senyum di wajahnya.
Letty menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan Dyenn yang selalu berlebihan memperlakukan dirinya. Letty pun memeriksa ruangan di dalam seperti yang Dyenn katakan.
Dyenn keluar dan membuka bagasi mobil. Memasukkan barang-barang bawaan Letty satu per satu ke dalam rumah. Lelaki itu mondar-mandir sedangkan Letty segera menata barang yang penting terlebih dahulu, termasuk peralatan memasak di dapur. Letty menyeduh air untuk membuat minuman hangat.
Dyenn masih menggotong barang-barang bawaan yang cukup banyak. Lelaki itu juga memikirkan besok akan membelikan perabot yang layak untuk Letty karena rumah yang disewa tidak ada perabotannya. Setelah membawa barang terakhir dan sudah menutup bagasi mobil, Dyenn masuk ke dalam rumah dengan kunci mobil sudah berada di kantongnya.
Letty membawa dua gelas cokelat hangat yang sudah dia seduh tadi selama Dyenn mondar-mandir membawa barang bawaan masuk. “Dyenn, duduk dulu. Ini cokelat hangat untukmu,” lirih Letty menyodorkan gelas warna biru muda berbahan keramik kepada Dyenn.
Dyenn meletakkan kardus terakhir itu dan kemudian meraih gelas dari tangan Letty. “Terima kasih, ya,” ujar Dyenn sambil tersenyum.
“Kamu ini ... selalu saja tersenyum. Padahal aku tahu kamu capek. Sini duduk.” Letty mengajak sahabatnya duduk di tempat yang masih cukup berantakan karena barang-barang belum ditata.
“Hmm ... cokelat hangat memang pas untuk malam sedingin ini. Oh iya, penghangat ruangan juga berfungsi dengan baik, bukan? Jadi kamu tidak akan kedinginan di sini.” Dyenn masih menengok ke sana dan ke sini memastikan tempat tersebut layak huni untuk perempuan yang dia cintai, apalagi kenyataan yang sudah Dyenn ketahui kalau Letty hamil.
“Iya, semua berfungsi dengan baik. Terima kasih, Dyenn,” ucap Letty menatap sahabatnya tanpa berkedip.
Dyenn pun terdiam saat sorot mata perempuan yang saat ini di hadapannya bertemu dengan tatapan matanya. Sekian detik, keduanya saling pandang. Dyenn pun terlarut dengan keadaan dan mendekatkan wajahnya ke arah Letty. Letty hanya diam dan kemudian menutup mata perlahan, entah apa yang akan Dyenn lakukan, perempuan itu hanya diam. Dyenn makin mendekat dan bahkan nafas Letty sudah terasa menerpa wajah lelaki itu.
Letty makin gugup. Dia tak tahu harus bagaimana. Pikirannya justru melayang-layang, apakah Dyenn akan menciumnya?
Dyenn pun mengetuk dahi Letty dengan jari telunjuknya. “Hei, kamu berpikir apa? Aku bukan laki-laki seperti itu. He he he he ....” Dyenn tertawa karena melihat ekspresi wajah Letty yang sudah menutup mata dan terlihat gugup.
“Aw, sakit!” Letty pun membuka mata dan mengusap dahinya. Dia merasa malu sudah memikirkan apa yang akan terjadi, padahal tidak terjadi.
Meski Dyenn ingin sekali mengecup lembut bibir merah muda seperti stoberi yang menggoda itu, dia tetap berusaha berpikir dengan akal sehat. Dyenn tidak ingin menjadi laki-laki yang memaksakan kehendak atau mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia benar-benar ingin menjaga Letty sebaik mungkin.
“Letty, pipimu memerah. Lihat! Seperti kepiting rebus. Kamu pasti ingin sekali, ya, dikecup olehku?” Dyenn kembali bertingkah konyol seperti masa kecil.
Letty yang merasa malu pun memarahi Dyenn. “Enak saja! Tidak! Aku ... aku tidak memikirkan apa-apa. Lagi pula siapa perempuan yang mau dikecup oleh lelaki konyol sepertimu,” elak Letty pada sahabatnya.
Dyenn masih tertawa. Dia senang menggoda Letty yang saat ini terlihat malu. Setidaknya Dyenn bisa mengukir senyum di wajah perempuan yang dia cintai. Dyenn tak tahu harus bagaimana untuk meyakinkan Letty menerima lamarannya kelak, demi menutupi buah dari kejadian yang membuat hidup Letty kacau balau. Dyenn tidak memikirkan hal lain lagi, kecuali kebahagian Letty.
Suara tikus pun tiba-tiba terdengar membuat Letty terkejut dan sontak langsung mendekat dan menempel pada Dyenn. Dyenn kali ini yang bergantian seperti kepiting rebus, wajahnya memerah. Terlalu dekat jarak mereka berdua.
“Dyenn ... ada suara tikus di dapur. Aku takut tikus, Dyenn ....” Letty memang takut pada tikus karena saat kecil dahulu pernah jarinya digigit tikus.
“E, e, iya. Aku tangkap tikusnya. Kamu di sini dahulu,” kata Dyenn melepaskan diri dari tubuh Letty yang menempel. Rasanya detak jantung Dyenn berdebar kencang seperti orang yang naik roller coaster. Dia segera menuju ke dapur karena tidak ingin Letty melihat wajahnya memerah seperti itu.
Letty hanya diam di ruang tengah yang kelak akan digunakan sebagai ruang tamu. Perempuan itu berdiri dan menjauh dari pintu dapur. Dyenn masuk ke dalam dapur dan mencari asal sumber suara tikus tersebut. Ternyata pemilik rumah sudah memberi perangkap tikus dan tikus itu masuk ke dalam perangkap. Dyenn dengan mudah mengambil kantong plastik besar dan memasukkan tikus dari perangkap itu ke dalam kantong serta mengikatnya dengan kencang agar tidak lepas. Lelaki itu kembali ke ruang tengah.
“Nah, ini dia si tikus. Tenang saja. Aku akan buang cukup jauh dari sini. Sebentar Letty, tunggu sini dulu,” kata Dyenn sambil memegang kantong plastik warna hitam berisi seekor tikus cukup besar.
“Jangan! Kalau kamu pergi dan ternyata tikusnya masih ada, bagaimana? Aku takut, Dyenn.”
“Kalau begitu, ayo kita buang tikus ini bersama. Kita cari tempat pembuangan sampah yang jauh,” ucap Dyenn sambil menggandeng tangan Letty dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri memegang kantong plastik hitam berisi tikus.
Keduanya keluar dari rumah dan berjalan menuju ke tempat pembuangan sampah di daerah itu. Udara malam di Suncheon cukup dingin. Beberapa kali Dyenn melirik ke arah Letty yang memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan kanannya. Setelah sampai di pembuangan sampah, Dyenn segera membuang kantong plastik yang masih gerak-gerak tersebut dan mengajak Letty pergi.
“Kamu kedinginan?”
“Ah, iya. Memang cuaca di sini cukup dingin. Tapi tak apa. Aku ada pakaian tebal cukup banyak,” jawab Letty yang berbicara sampai keluar uap.
“Ayo bergegas masuk rumah. Besok aku akan mengajak kamu membeli beberapa kebutuhan selama tinggal di sini, jadi sekarang kamu bisa tidur terlebih dahulu. Hmm ... ini sudah pukul sebelas malam, Letty.”
Letty pun mengangguk saja mendengar ucapan sahabatnya. Saat masuk ke dalam rumah, Dyenn membantu membereskan kotak-kotak kardus dan mengambil set kasur dan selimut tebal untuk dibawa masuk ke kamar Letty. Dyenn tidak mau Letty kesulitan mengangkat barang-barang sendirian.
“Nah, ini sudah selesai. Silakan tidur, Letty. Aku akan pulang. Besok pagi aku akan ke sini,” ujar Dyenn sambil tersenyum seperti biasanya.
“Dyenn ... terima kasih banyak. Aku tak tahu harus bagaimana membalas kebaikanmu,” tutur Letty yang merasa sungkan.
“Tetaplah hidup dan bahagia. Lakukanlah itu untuk membalas ini semua kalau merasa tak enak. Letty, jaga kesehatan, oke? Aku pulang sekarang,” pamit Dyenn sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Iya, hati-hati di jalan, ya,” jawab Letty sambil mengantarkan Dyenn keluar rumah.
Dyenn masuk ke dalam mobil dan bersiap pergi. Letty melambaikan tangan lalu menutup gerbang karena Dyenn mengisyaratkan untuk dia masuk terlebih dahulu dengan mengibaskan tangannya. Letty pun masuk ke dalam rumah dan menguncinya. Dia sendirian sekarang.
Dyenn pun menginjak gas mobil dan melaju perlahan. Dia pergi sambil meneteskan air mata. Tidak menyangka kalau hidup Letty akan seperti ini. Menghindari lelaki jahat yang merusak hidupnya dan kehilangan masa-masa bekerja. Dyenn berjanji akan berusaha terbaik untuk kebahagiaan Letty.
Letty masuk ke dalam rumah itu. Dia membuka kertas yang tadi ditemukan. Saat membaca isinya, tak terasa bulir bening menetes di pipinya. Letty tak sengaja tadi menemukan surat yang jatuh dari saku mantel Dyenn. Saat Letty membaca surat itu, ternyata hasil pemeriksaan dan rujukan ke dokter spesialis kandungan. Letty merasa waktu berhenti seketika dan dunia hampir runtuh.
Letty mencoba tenang. Dirinya pun terduduk dengan bingung. Dia tak habis pikir kenapa Dyenn menyembunyikan kenyataan ini? Apa yang Dyenn pikirkan atau rencanakan? Letty pun memegang perutnya yang belum membesar. Dia mengusap perlahan.
“Apakah kamu ada di sana? Maafkan aku. Meski ini sebuah kesalahan, tetapi kamu ... aku tidak bisa membiarkan kamu ... astaga ... apa yang harus aku lakukan?”
Letty pun menangis. Dia hanya takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk janin yang ada di dalam rahimnya saat ini. Letty benar-benar bingung. Apakah dia harus bilang kepada Dyenn kalau sudah tahu? Apakah Letty harus mencari lelaki yang sudah berbuat hal itu padanya dan meminta pertanggungjawaban? Letty sangat bingung dengan situasi ini.
Letty tidak ingin lari dari tanggung jawab, meski hal ini terjadi bukan karena kesadaran atau keinginan dirinya. Namun pernah hidup di panti asuhan membuat Letty tahu arti kehidupan sangat berarti. Dia tidak berniat buruk sama sekali dengan calon bayi yang saat ini ada di rahimnya, meski sebenarnya membuat dirinya syok. Letty hanya bisa berharap ada masa depan lebih baik, tidak seperti dirinya yang dahulu di panti asuhan tanpa tahu siapa kedua orang tuanya. Letty tak tahu kelak akan seperti apa, terpenting dia tidak akan meninggalkan nyawa yang hidup dalam bagian dirinya saat ini.