Chapter 2

1003 Words
BAB 02 “Mia … Mia … tolong jagain dulu Bian! Mbak kok gatel-gatel gini, ya?” Mbak Winda terburu-buru berjalan dari kamarnya dan menghampiriku yang tengah berada di ruang tengah. Aku sedang menemani Mas Hafid sarapan di ruang tengah sambil menonton televisi. Dia menyimpan Bian ke pangkuanku sambil tergesa ke belakang. Mau mandi lagi mungkin? Maafkan aku, Mbak … pakaian kamu sama Mas Ardi ‘kan waktu itu kan hanya kurendam dengan pewangi. Aku hanya mencuci kembali pakaian Bian dan Hasan karena tidak tega jika anak kecil harus gatal-gatal juga. Bian memainkan kepala Mesya anakku. Sudah kebiasaan bocah itu memainkan rambut Mesya jika sedang bermain bersamanya. Mesya yang baru bisa miring-miring itu berusaha meraih tangan Bian yang sejak tadi mengusili rambutnya. Senang jika melihat mereka akur seperti itu. Namun sayang, aku sama ibunya Bian tidak pernah damai. “Eh, Mia! Kamu ‘kan yang tempo hari nyuciin pakaian, Mbak, ya?” Dia datang dari kamar mandi sepertinya habis mandi lagi. Kebiasaan banget kalau habis mandi masuk ke dalam rumah hanya memakai lilitan handuk. Untung Mas Hafid adik kandungnya. Coba kalau ada lelaki lain di rumah ini. “Kenapa gitu, Mbak?” tanyaku menatap polos padanya. “Ini pasti kamu nyuci gak bersih nih? Lihat tuh kulit Mbak sampai merah-merah!” gerutunya. Kulit Mbak Winda memang agak sensitive setahuku. Mungkin masih ada sisa detergen pada pakaiannya. “Aku nyuci kayak biasa, buktinya tuh lihat Bian sama Hasan gak kenapa-kenapa, lagian sudah dibilang jangan nitip aku, kok, maksa! Mungkin bajunya juga gak rela dicuciin aku, Mbak!” jawabku santai. Mas Hafid sesekali melirik padaku. Namun dia terus menyuap nasi goreng yang sudah kubuat tadi. “Hari ini Mbak nitip cucian lagi, awas, ya! Kalau sampai Mbak gatal-gatal lagi, Mbak tuntut kamu!” hardiknya sambil melotot. Dia berjalan sambil membanting pintu dan masuk ke dalam kamar. Aku menghela napas. Kulanjutkan menyuapi Mpasi Mesya. Anakku ini baru sedang Mpasi pertama. “Kalian kok berantem mulu, Dek!” tukas Mas Hafid sambil meneguk kopi yang kubuat. “Ya, habisnya, Mas … Mbak Winda itu keterlaluan! Masa nitip nyuci ke aku sampai pakaian dalam dia sama Mas Ardi juga. Aku ‘kan risih, Mas! Sudah gitu, sebenernya dia juga masih ada waktu, Mas! Masuk kerjanya jam sepuluh pagi, kok! Lagian dia ‘kan cuma bagian kasir juga di rumah makan itu! Ya, pasti gak capek-capek banget! Ini semua urusan rumah tangga nya diserahkan padaku, nyuapin Bian, ngasih makan Hasan, kalau masak sih gak apa sekalian!” tukasku sambil menghela napas. “Jangan keseringan berantem, kasihan Ibu! Dia sudah tua, nanti jadi banyak pikiran,” ucap suamiku. “Iya, Mas!” ucapku pada akhirnya. Mas Hafid berangkat dengan mengendarai sepeda motor milik kami. Beruntung waktu sebelum habis kontrak sudah memiliki sepeda motor, jadi setidaknya untuk ke sana ke sini masih ada kendaraan. Pernah aku menyuruhnya menjadi pengemudi online, akan tetapi untuk sepeda motornya tidak masuk kriteria, ternyata harus yang baru. Tidak bisa sepeda motor tua seperti itu. Mas Hafid itu terlalu baik. Dia itu bekerja dari sebelum menikah. Namun uangnya habis untuk menanggung kebutuhan rumah tangga. Waktu itu Mbak Winda sambil kursus katanya. Kursus kelas pagi karena kebetulan untuk diangkat jadi penjaga kasir minimalnya harus SMA plus, jadi urusan kebutuhan rumah jadi tanggung jawab Mas Hafid Semua. Dia memang sudah bekerja di rumah makan itu dari lajang dan belum berhenti sampai sekarang. Suami Mbak Winda juga hanya buruh pabrik seperti Mas Hafid dulu. Cuma dia beruntung sudah karyawan tetap, jadi setidaknya sudah aman sampai pensiun nanti. “Bruk!” Aku sampai terkejut ketika Mbak Winda melempar pakaian yang kemarin kucuci ke wajahku. Dia mencaci habis-habisan. “Ini kamu cuci ulang, semuanya! Mbak gak mau tahu, sepertinya semua ini gak bersih … kulit Mbak gatal-gatal semua walau sudah berganti pakaian!” ucapnya sambil berkacak pinggang. Aku meraih Mesya yang tertimpa pakaian itu. Makanan Mpasi Mesya pun tumpah dibuatnya. “Jadi orang miskin itu harus pandai menitipkan diri! Untung coba kamu dinikahi Hafid dan bisa tinggal di sini! Coba kalau nikahnya sama orang yang tidak punya rumah juga! Kalian sudah tinggal di kolong jembatan mungkin!” hardiknya. Selalu saja mengungkit tentang aku yang menumpang. Padahal ini ‘kan rumah ibunya Mas Hafid juga. “Kamu itu jangan sok ngarep ketinggian! Ibu kamu saja sekarang hanya pembantu ‘kan? Kamu sendiri hanya anak terlantar yang dititipkan di tempat pamanmu! Jadi jangan berharap datang ke sini terus jadi nyonya rumah! Duduk dan ongkang-ongkang kaki!” bentaknya lagi. Hati ini selalu sakit setiap kali dia mengungkit pekerjaan Ibuku yang hanya seorang ART di kota. Memang apa yang salah dengan pekerjaan sebagai pembantu? Toh itu halal juga. Tidak merugikan siapapun. Ya, aku memang sudah tidak memiliki rumah karena rumah panggung peninggalan ayah sudah lapuk termakan usia. Tanahnya sudah ibu jual karena waktu aku dititip di rumah paman, aku masih sekolah SMA. Paman meminta uang biaya karena akan merawat aku di sana. Padahal aku pun di rumahnya sudah seperti pembantu juga. Dari shubuh sudah mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, memasak sarapan, nyuci piring. Pulang sekolah lanjut memasak untuk sore lalu menyetrika. Selebihnya waktuku untuk membersihkan rumahnya. Kadang belajar hanya punya sedikit waktu. Awalnya sangat bahagia ketika dinikahi Mas Hafid dan keluar dari rumah Paman dan Bibi. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Mas Hafid malah di PHK kerjanya. Aku membuang napas kasar. Keinginanku untuk sukses semakin besar. “Silakan, Mbak hina aku sepuasnya sekarang! Silakan Mbak ungkit terus latar belakang keluargaku yang kamu anggap hina! Akan ada waktunya aku tunjukkan pada ,Mbak … aku bisa memiliki rumah sendiri juga! Aku tidak akan menumpang lagi di sini bertahun-tahun lamanya seperti, Mbak!” tukasku dengan penuh penekanan. “Ngimpi kamu, ya, Mia! Pagi-pagi sudah ngelantur! Masih berani juga ngatain aku numpang! Ini rumah ibuku, sejak kecil aku dibesarkan di sini!” ucapnya sambil berkacak pinggang. “Ini juga rumah ibunya Mas Hafid, sejak kecil dia juga dibesarkan di sini!” balasku tidak mau kalah. “Lancang banget kamu, ya, sekarang! Awas saja kalau masih berani ikut makan rejeki saya!” ucapnya dengan jumawa. “Enggak kebalik, Mbak! Asal Mbak tahu, nasi goreng yang pagi ini kubuat untuk sarapan juga hasil keringat Mas Hafid jaga parkiran! Kalau Mbak memang mau memisahkan semuanya! Silakan Mbak masak sendiri! Jangan makan masakanku! Karena mulai hari itu di mana Mbak bilang tidak boleh memakan rizki milik, Mbak! Aku tidak pernah lagi menyentuh bahan sembako yang Mbak beli … lihat saja semuanya masih utuh dalam lemari! Jadi mulai hari ini, silakan Mbak masak sendiri kalau gitu!” ucapku yang sudah terlanjur kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD