Chapter 1
BAB 1
“Mbak, maaf … mulai hari ini aku tidak bisa bantuin Mbak nyuci lagi,” ucapku pada Mbak Winda yang menyimpan setumpuk cucian pada bak cuciku.
“Jangan kebanyakan gaya kamu, Mia! Ingat kamu itu masih numpang di rumah Ibu … suami kamu juga belum dapat pekerjaan. Lulusan SMA itu sekarang susah kalau mau masuk ke pabrik lagi, apalagi umur suami kamu sudah tua!” ujarnya sambil tetap mencampurkan setumpuk pakaian kotor ke bak cucianku.
“Terserah Mbak mau ngomong apa. Bukankah kita di sini sama-sama numpang di rumah Ibu? Mbak juga belum punya rumah sendiri ‘kan? Jadi posisi kita sama, Mbak! Mbak Winda gak bisa seenaknya nyuruh-nyuruh aku! Aku juga punya pekerjaan!” ucapku sambil meneruskan mencuci.
Yang kucuci pastinya pakaianku dan milik Ibu mertua. Sudah cukup selama ini aku membantu pekerjaan Mbak Winda, tetapi dia malah semakin menjadi. Melimpahkan semua pekerjaan rumah bahkan mengurus Bian---putranya yang baru berusia lima belas bulan yang sedang nakal-nakalnya. Padahal aku pun punya bayi yang masih berusia enam bulan juga. Padahal dia masuk kerja jam sepuluh siang, harusnya masih ada waktu untuk sekadar mencuci pakaian.
“Kamu, ya! Awas, ya mulai sekarang kalian gak boleh lagi numpang makan rejeki kami! Suruh suami kamu cari kerja dan penuhin risiko dapur sendiri!” hardiknya.
“Sudah! Sudah! Kalian itu ribut terus! Ibu pusing dengarnya!” Kudengar Ibu Mertuaku muncul dari dalam dan melerai kami.
Malu sebetulnya harus ribut setiap hari dengan Mbak Winda. Apalagi jika Mbak Wilda---kakak tertuanya Mas Hafid datang, sudah seperti neraka saja rasanya. Keduanya selalu menyindir suamiku yang memang masih kerja serabutan. Dan menyuruhku ini dan itu, padahal aku kerepotan mengurus Misya yang kadang rewel juga.
“Mia tuh, Bu! Makin rese saja tiap hari! Ibu sih manjain mulu si Hafid, jadinya istrinya besar kepala!” ucap Mbak Winda sambil melengos pergi meninggalkanku.
Aku melirik ke arah wanita yang sudah melahirkan suamiku itu. Dengan perasaan tidak enak, aku segera meminta maaf.
“Bu, maaf kalau kami bertengkar lagi! Aku tidak mau mencucikan pakaian Mbak Winda soalnya aku sudah dapat pekerjaan online, Bu! Pendapatannya lumayan! Tapi harus ulet dan cukup menyita waktuku juga! Soalnya pendapatan Mas Hafid yang tidak menentu membuatku memang harus membantunya mencari nafkah, Bu!” ucapku pada Ibu.
“Iya, ibu mengerti. Sudah biarkan saja, nanti biar ibu yang cucikan pakaian Mbak mu!” ucapnya.
Aku menarik napas panjang. Mana tega aku membiarkan wanita yang sudah berumur itu mengerjakan pekerjaan yang berat begini. Mana pakaian Mbak Winda dan kedua anaknya itu cukup banyak.
“Jangan, Bu! Biar aku saja kalau begitu!” Akhirnya aku kalah lagi. Aku pun mengerti posisi Ibu yang memang sehari-hari kebanyakan ditopang oleh uang dari Mbak Winda dan suaminya.
Ibu sudah menjadi janda dan tidak memiliki penghasilan. Saat ini dia benar-benar tergantung pada Mbak Winda dan suaminya. Kadang diberikan sedikit uang oleh Mbak Wilda. Aku, hanya mampu membantu biaya dapur alakadarnya. Jika Mas Hafid dapat uang agak lumayan, kadang aku pun ngasih sepuluh atau dua puluh ribu pada ibu. Namun selama di sini, aku selalu menghitung pengeluaran bulananku sendiri sehingga bisa kupastikan jika aku pun turut menopang risiko dapur di rumah ini. Hanya saja jika mengontrak, aku gak yakin karena pendapatan Mas Hafid masih belum pasti.
“Gak apa, Ibu saja Mia! Gih, kerjakan saja pekerjaan onlinenya! Ibu doakan semoga lancar dan kalian bisa segera punya tempat tinggal sendiri! Maafkan ibu belum bisa memberikan kehidupan yang layak buat kalian, maafkan Hafid juga yang malah kehilangan pekerjaan!” tukas Ibu mertuaku.
Ucapannya malah membuatku sedih pada akhirnya. Ya, Mas Hafid terkena PHK tepat ketika Mesya lahir. Sejak saat itulah dia pun terseok-seok mencari pekerjaan. Sudah mengirim lamaran ke sana ke mari tapi belum juga ada panggilan. Kini dia hanya menjadi penjaga parkir di depan minimarket ikut temannya. Kadang sehari membawa beberapa puluh ribu saja.
“Gak usah, Bu … biar Mia akali! Ibu istirahat saja! Ibu juga masih suka direcoki sama Bian dan Hasan ‘kan? Aku punya cara jitu kok, Bu untuk mengerjakannya dengan cepat!” ucapku sambil tersenyum meyakinkannya.
“Bu … Aku nitip Bian! Mau ke depan sebentar! Ini mau setor arisan di rumah Bu RT!” teriak Mbak Winda. Kadang aku kesal padanya. Sikapnya itu gak ada sopan-sopannya pada Ibu sendiri padahal.
“Tuh, kan! Dia sudah manggil Ibu! Ini biar aku selesaikan!” Aku menoleh pada Ibu dan tersenyum memastikan kalau semua baik-baik saja.
Akhirnya dia pergi ke ruang tengah menjaga Bian yang baru berumur lima belas bulan. Sementara Hasan, ikut bersama Mbak Winda dan naik pada motor maticnya. Hasan sudah cukup besar, sudah berusia lima tahun tetapi tetap saja kalau di rumah masih suka rebutan mainan dengan Bian.
Pakaianku dan Ibu sudah selesai. Aku segera membilasnya dan memberinya pewangi. Sementara pakaian Mbak Winda yang sudah terlanjur basah, kubiarkan dulu. Aku menjempur punyaku dan Ibu di depan. Setelah itu baru kupindahkan pakaian dia pada rendaman air pewangi tanpa kucuci. Biarkan saja disitu, toh aku sudah bilang kalau tidak akan mencucinya. Salah sendiri maksa.
Setelah itu aku ke kamar. Segera membuka gawai sederhana milikku dan membuka situs di mana aku memasang iklan-iklan property online. Alhamdulilah sudah bebapa unit closing dan tinggal menunggu pencairan komisi yang bernilai jutaan rupiah.
Aku akan mulai menabung dengan uang hasil komisi ini dan membeli rumah sendiri. Membawa ibu keluar dari rumah ini sekalian dan membiarkan Mbak Winda mengerti jika dia pun tidak akan bisa kerja di luar rumah jika tidak ada yang menjaga Bian dan mengurus Hasan di rumah ini. Selama ini aku dan Ibulah yang mengurus mereka. Sehingga uang dia utuh tidak usah membayar baby sister untuk menjaga anak-anaknya.