“Apakah kau masih marah padaku?” tanya Liam yang menarik tangan Harriet dan menaruh jemarinya ke depan bibirnya, menciumnya dalam dan lama.
Harriet menatap ke arah lain, tidak mengatakan apa pun. Liam terus mencoba mencari apa yang dilihat Harriet karena mungkin Harriet tertarik pada sesuatu, tapi wanita itu terlihat menatap kosong ke udara di sisinya.
Saat sarapan mereka datang, Harriet akhirnya menoleh kepada Liam. Pria itu terlihat seperti seekor anjing Golden Retriever yang penuh penyesalan. Harriet mengulum senyumnya, mencoba mengendalikan wajahnya yang sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak.
“Baiklah, mari kita sarapan, Milord,” ucap Harriet.
Mata emas Liam menatapnya lurus-lurus.
“Maafkan aku,” ucap pria itu sekali lagi dengan suara yang sangat lembut, bahkan membuat orang-orang yang duduk dan sarapan di meja sekitar mereka terhanyut. Tidak terkecuali waitress kedai sarapan yang langsung merona merah.
“Saya sudah tidak marah,” ucap Harriet tidak kalah lembutnya. Kedua mata lavender Harriet memancarkan kehangatan dan keteduhan yang berbeda dengan mata cemerlang dan bersinar Liam.
“Kalau begitu jangan mengabaikanku, hm?” Liam belum mau melepaskan tangan Harriet.
Harriet menggenggam balik tangan Liam.
“Saya tahu Anda berpikir jika langsung melompat dari menara ke sini, kita tidak akan banyak membuang waktu. Dan itu benar. Kita sampai di sini dalam sekejap…” ucap Harriet.
Liam mengangkat alisnya, tidak menyangka Harriet tahu. Sedari tadi Liam memang mencoba untuk menahan rasa kantuknya sendiri, karena itu ia terburu-buru dan akhirnya memutuskan untuk langsung melompat kemari.
“Kalau saya tahu anda begitu terburu-buru, seharusnya kita sarapan bersama di kastil saja,” ucap Harriet lembut.
“Kita bisa sarapan bersama di kastil kapan pun aku bangun di pagi hari,” ucap Liam datar.
“Jadi Anda bermaksud untuk mencoba bangun setiap pagi hari?” tanya Harriet.
Liam menyendok sup di hadapannya dan menyuapkannya kepada Harriet. Pria itu menggeleng.
“Aku akan berusaha bangun setiap aku merasakan kehadiranmu,” ucap pria itu.
Harriet yang bingung membuka mulutnya dan menerima suapan Liam, tetapi ia mengerjap pada pria itu begitu mendengar seluruh penjelasan Liam. Liam menjelaskan kepadanya bahwa secara samar ia dapat merasakan keberadaan Harriet saat ia tertidur. Dan saat itu, keinginannya untuk bangun akan meningkat.
“Anda juga harus makan,” ucap Harriet menghalangi suapan Liam yang terus menerus datang padanya dengan telapak tangannya.
“Aku menyuapimu, apa kau tidak mau menyuapiku?” pria itu menatap Harriet polos.
Harriet tersenyum kecil dan menyendok daging rebusan di piringnya dan memberi pria itu satu suapan. Liam benar-benar terlihat senang menerimanya. Suasana pink antara Harriet dan Liam tentunya menarik perhatian banyak orang.
Dan Harriet sadar bahwa penampilan Liam yang begitu mempesona pastinya takkan lepas dari perhatian siapapun yang melihat. Di bawah cahaya mentari pagi, Liam terlihat sebagai pria paling cemerlang di dunia.
“Madam, maukah kau mengambilkan air putih untukku?” tanya Liam sambil berdeham pelan dan mengusap bibirnya dengan lengan bajunya. Teh panas di cangkir Liam memang sudah habis.
Harriet mengangguk, meminta Liam menunggu sebentar setelah sadar semua waiter terlihat sibuk mengantarkan pesanan-pesanan ke meja lain. Ia harus pergi ke meja pemesanan sendiri untuk memesan.
Suasana hati Harriet yang sedang baik menciptakan senyum tipis di wajahnya tanpa sadar. Namun di saat yang sama, itu juga membuat gerakan dan langkah kakinya lebih luwes dari biasanya. Sikap tegap dan ramah khas bangsawan yang Harriet pancarkan langsung membuatnya menjadi pusat perhatian begitu ia berdiri dan berjalan ke meja pemesanan.
Kedai itu cukup luas dengan adanya bagian dalam ruangan dan luar ruangan. Karena Harriet dan Liam duduk di pinggir jalan, Harriet harus berjalan agak jauh menuju ke meja pemesanan, meskipun ia masih bisa melihat ke arah mejanya dari sana. Harriet pun meminta dua gelas air putih dan secangkir kopi tambahan pada waiter.
“Missy, apakah kau pendatang?” tanya waiter itu, membuka pembicaraan.
Harriet mengerjap sekali dan tersenyum.
“Benar,” jelas Harriet lembut.
“Aku baru saja mau mentraktir sarapan untukmu, tapi ternyata Missy sudah ada yang punya,” waiter lelaki itu mengedipkan satu matanya dengan penuh percaya diri.
Harriet tertawa kecil.
“Jika dia menyakitimu, Missy, kau tahu kemana harus mencariku,” ucap pemuda itu melanjutkan.
“Aww,” Harriet tetap mempertahankan senyum ramahnya dan merasa sedikit heran. Pria Utara sungguh penggoda yang berani dan persisten. Entah itu si waiter atau suaminya sendiri.
“Sayangnya aku tidak mempertimbangkan untuk bercerai. Maaf,” ucap Harriet dengan wajah yang dibuat seolah-olah sangat menyesal.
Pemuda itupun langsung mengubah ekspresinya. Terlihat jelas ia kecewa mendengar kata-kata Harriet, terutama saat Harriet mengatakan bahwa ia sudah menikah. Tapi dengan sopan ia menyiapkan pesanan Harriet dan menaruhnya di atas nampan. Harriet berterimakasih dan mengangkat pesanannya sendiri di atas nampan kembali ke mejanya.
Namun saat Harriet sampai di mejanya, ia melihat Liam telah menyandar lemas di kursi dengan kedua mata yang tertutup. Ekspresi Harriet yang tadinya cerah perlahan berubah menjadi sendu, dibarengi dengan sebuah senyum lembut.
Harriet menaruh nampannya di meja, lalu berjongkok di hadapan Liam untuk melihat lebih jelas wajahnya yang sedikit tertunduk. Ia juga memperhatikan lengan baju Liam yang bernoda darah. Sepertinya saat Liam berdeham tadi, ia sempat membatukkan sedikit darah dan menyembunyikannya dari Harriet.
Ekspresi Harriet menjadi lebih rumit dari sebelumnya.
Suaminya memaksakan dirinya untuk mengajaknya kencan, terburu-buru hingga melompat jauh dari menara ke kota. Kemudian, pria itu masih sempat bersikap lembut padanya dan membelikannya pernak-pernik yang ia lirik… hingga menyembunyikan darah yang ia muntahkan.
Harriet merasa begitu sesak di dadanya, dan matanya mulai berkaca-kaca saat ia menarik napas dalam untuk menahan tangisannya.
“Semuanya baik-baik saja, Miss?” tanya si pemuda, waiter yang mengkhawatirkan Harriet setelah memperhatikannya dari balik meja pemesanan sedari tadi.
Harriet tersenyum, mengedipkan matanya untuk menyamarkan air matanya dan tertawa kecil.
“Tidak ada masalah,” ucapnya pelan.
Harriet mengambil dompetnya dan memberikan waiter itu sebuah koin emas. Ia menginstruksikan waiter itu untuk memanggil Sekretaris Daniel dari Kastil Almandine untuk datang dan menjemput mereka.
Pemuda itu terkejut saat Harriet memberikan instruksi itu. Ia tidak menunda lagi dan langsung pergi ke kastil melaksanakan instruksi Harriet.
Sementara menunggu, Harriet menarik kursinya mendekat ke sisi Liam dan mencoba menopang tubuh Liam untuk bersandar pada bahunya.
Harriet tidak perlu menunggu lama saat Daniel muncul bersama beberapa Lycan yang tinggi besar. Mereka membungkuk pada Harriet dengan sopan, sekali lagi menarik perhatian para pengunjung kedai sarapan itu dan para waiternya.
“Maaf membuat anda menunggu lama, Madam,” ucap Daniel.
Harriet hanya menggeleng dan tersenyum.
“Terimakasih sudah datang,” ucapnya.
Daniel mengangguk dan membalas senyum Harriet. Mereka membawa Liam yang tidak sadarkan diri dengan kereta kuda kembali ke kastil, sementara Daniel menyelesaikan p********n sarapan keduanya hari itu.
Di dalam kereta, memangku kepala Liam yang tertidur pulas, Harriet berpikir kencannya cukup berhasil. Meskipun, pada akhirnya semua orang disana tahu bahwa mereka dari Keluarga Almandine setelah melihat Emblem Almandine di kereta yang mereka gunakan. Harriet merasa ini sepadan.
Toh, dia tidak pernah mengira ia bisa kencan dengan suaminya yang sekarat dan hanya bisa bangun saat bulan purnama.
Harriet benar-benar ingin mengucapkan rasa terimakasihnya pada Liam saat ia bangun lagi.
Tangan Harriet meraih ke tangan Liam yang dilipat di atas perutnya, lalu mencium jemari pria itu seperti pria itu mencium jemarinya dengan begitu dalam dan lama sebelumnya.
“Terima kasih, Milord.”
***
“Oh, Dewa,” Harriet menutup mulutnya dan menangis bahagia membaca surat yang ditunjukkan Daniel padanya.
Surat itu dari Old Duke.
“Kita sudah menang, Madam,” Daniel menghela napas panjang dengan lega, menerima pelukan istrinya, Amelia yang hampir menjerit senang.
“Ini benar-benar berita yang sangat baik,” Harriet mengusap pipinya dan tertawa kecil.
Semua pelayan yang mendengar juga bersorak dan saling berpelukan riang sedari tadi.
“Madam, selamat!” ucap Amelia, menghampiri Harriet. Keduanya saling berpelukan.
“Selamat untuk kita semua,” ucap Harriet lembut.
Di surat Old Duke telah dicantumkan dengan jelas bahwa pasukan Lycan lawan telah tertangkap semuanya, berjumlah hampir 600 individual. Ada korban jiwa dari kedua belah pihak, namun berkat kebijaksanaan dan strategi Old Duke, tak ada banyak nyawa yang gugur.
Old Duke menjelaskan di lampiran terpisah untuk Harriet bahwa beliau telah menemukan Mate adiknya. Kabar inilah yang begitu ditunggu-tunggu oleh Harriet.
Namun, penjelasan Old Duke seolah masih belum usai. Harriet dapat melihat dari cara Old Duke mengakhiri suratnya bahwa Old Duke ingin membicarakan masalah yang sangat penting dengannya begitu beliau kembali ke kastil.
Bagaimanapun, Harriet bahagia. Keputusannya untuk datang kemari sebagai menantu Keluarga Almandine benar-benar sudah tepat. Sekarang, Heath akan selamat, dan segalanya baik-baik saja.
Suasana ceria di pintu depan utama kastil itu tiba-tiba diinterupsi. Para pelayan melihat seorang pria berambut pirang berjalan menuruni tangga. Semua orang dengan cepat membungkuk sopan dengan wajah yang sangat terkejut.
“Selamat siang, Young Lord.”
Harriet, Amelia dan Daniel yang membelakangi tangga pun menoleh ke belakang. Mereka melihat Liam yang menatap semua orang bingung.
“Mengapa semuanya berkumpul di sini? Ada masalah?” tanyanya.
Tapi begitu melihat Harriet yang menangis, ekspresi Liam berubah menjadi dingin. “Ada apa, Madam?”
“Milord!” Harriet menghampiri Liam dan memeluk pinggang ramping pria itu erat, membenamkan wajahnya di dadanya. “Anda bangun… oh, terima kasih, terima kasih banyak…”
Liam hanya tahu Harriet menangis saat ia datang dan tiba-tiba memeluknya, ia mengira ada masalah serius sehingga ia langsung menatap tajam pada Daniel yang tersentak kaget.
Sudah lama Daniel tidak menerima tatapan dingin dan mengerikan dari sepasang mata emas itu. Liam mungkin sulit mengerti apa yang mereka bicarakan sedari tadi karena gema di ruangan luas ini cukup parah, membuat bahkan indra pendengaran Lycan yang tajam juga terganggu.
Daniel menyerahkan surat dari Old Duke pada Liam, bersamaan dengan Harriet yang mendongakkan wajahnya. Liam baru sekilas membaca tentang kemenangan Old Duke di surat itu saat ia melihat senyum penuh kebahagiaan Harriet di pelukannya.
“Kita menang!” ucap Harriet senang.
Setiap aura dingin yang Liam pancarkan sebelumnya menghilang sepenuhnya, diganti sebuah senyum tidak berdaya yang lembut.
“Kalau kita menang, tertawalah, jangan menangis. Kukira seseorang menyakitimu,” ucap Liam lembut, mengembalikan surat di tangannya pada Daniel, lalu menghapus air mata di pipi Harriet.
Harriet menggeleng dan tersenyum, masih menautkan lengannya di pinggang Liam. Tentu saja, dengan senang hati Liam juga menautkan lengannya pada tubuh Harriet. Pria itu menarik napas pelan dan menoleh pada Daniel dan Amelia, serta para pelayan kastil yang masih menatap lantai, tidak berani mengangkat wajah mereka.