“Oh, Dewa,” Harriet menutup mulutnya dan menangis bahagia membaca surat yang ditunjukkan Daniel padanya.
Surat itu dari Old Duke.
“Kita sudah menang, Madam,” Daniel menghela napas panjang dengan lega, menerima pelukan istrinya, Amelia yang hampir menjerit senang.
“Ini benar-benar berita yang sangat baik,” Harriet mengusap pipinya dan tertawa kecil.
Semua pelayan yang mendengar juga bersorak dan saling berpelukan riang sedari tadi.
“Madam, selamat!” ucap Amelia, menghampiri Harriet. Keduanya saling berpelukan.
“Selamat untuk kita semua,” ucap Harriet lembut.
Di surat Old Duke telah dicantumkan dengan jelas bahwa pasukan Lycan lawan telah tertangkap semuanya, berjumlah hampir 600 individual. Ada korban jiwa dari kedua belah pihak, namun berkat kebijaksanaan dan strategi Old Duke, tak ada banyak nyawa yang gugur.
Old Duke menjelaskan di lampiran terpisah untuk Harriet bahwa beliau telah menemukan Mate adiknya. Kabar inilah yang begitu ditunggu-tunggu oleh Harriet.
Namun, penjelasan Old Duke seolah masih belum usai. Harriet dapat melihat dari cara Old Duke mengakhiri suratnya bahwa Old Duke ingin membicarakan masalah yang sangat penting dengannya begitu beliau kembali ke kastil.
Bagaimanapun, Harriet bahagia. Keputusannya untuk datang kemari sebagai menantu Keluarga Almandine benar-benar sudah tepat. Sekarang, Heath akan selamat, dan segalanya baik-baik saja.
Suasana ceria di pintu depan utama kastil itu tiba-tiba diinterupsi. Para pelayan melihat seorang pria berambut pirang berjalan menuruni tangga. Semua orang dengan cepat membungkuk sopan dengan wajah yang sangat terkejut. “Selamat siang, Young Lord.”
Harriet, Amelia dan Daniel yang membelakangi tangga pun menoleh ke belakang. Mereka melihat Liam yang menatap semua orang bingung.
“Mengapa semuanya berkumpul di sini? Ada masalah?” tanyanya.
Tapi begitu melihat Harriet yang menangis, ekspresi Liam berubah menjadi dingin. “Ada apa, Madam?”
“Milord!” Harriet menghampiri Liam dan memeluk pinggang ramping pria itu erat, membenamkan wajahnya di dadanya. “Anda bangun… oh, terimakasih, terimakasih banyak…”
Liam hanya tahu Harriet menangis saat ia datang dan tiba-tiba memeluknya, ia mengira ada masalah serius sehingga ia langsung menatap tajam pada Daniel yang tersentak kaget.
Sudah lama Daniel tidak menerima tatapan dingin dan mengerikan dari sepasang mata emas itu. Liam mungkin sulit mengerti apa yang mereka bicarakan sedari tadi karena gema di ruangan luas ini cukup parah, membuat bahkan indra pendengaran Lycan yang tajam juga terganggu.
Daniel menyerahkan surat dari Old Duke pada Liam, bersamaan dengan Harriet yang mendongakkan wajahnya. Liam baru sekilas membaca tentang kemenangan Old Duke di surat itu saat ia melihat senyum penuh kebahagiaan Harriet di pelukannya.
“Kita menang!” ucap Harriet senang.
Setiap aura dingin yang Liam pancarkan sebelumnya menghilang sepenuhnya, diganti sebuah senyum tidak berdaya yang lembut.
“Kalau kita menang, tertawalah, jangan menangis. Kukira seseorang menyakitimu,” ucap Liam lembut, mengembalikan surat di tangannya pada Daniel, lalu menghapus air mata di pipi Harriet.
Harriet menggeleng dan tersenyum, masih menautkan lengannya di pinggang Liam. Tentu saja, dengan senang hati Liam juga menautkan lengannya pada tubuh Harriet. Pria itu menarik napas pelan dan menoleh pada Daniel dan Amelia, serta para pelayan kastil yang masih menatap lantai, tidak berani mengangkat wajah mereka.
“Kembalilah bekerja. Hadiahkan lima koin emas untuk setiap pelayan dan anggota keluarga Pack kita. Tapi mari beristirahat lebih awal hari ini untuk merayakan kemenangan. Sebarkan berita ke seluruh penjuru tanah Utara dan siapkan penyambutan untuk konvoi yang akan pulang. Kurasa sementara ini itu saja,” ucap Liam dengan begitu tenang dan santai.
Namun pembawaan pria itu begitu berwibawa meski ia bersikap seolah sedang membicarakan cuaca, bukan memberikan perintah. Semua hal ini tidak lepas dari mata Harriet yang terus memperhatikan gerak gerik Liam. Seolah ini hari yang sempurna baginya.
Berita bagus, dan Liam bangun setelah lima hari tidak sadarkan diri sejak pagi hari setelah malam bulan purnama itu.
“Baik, Young Lord,” para pelayan dan Sekretaris Daniel beserta istrinya pergi untuk melaksanakan perintah Liam.
Begitu ruangan itu kosong dari orang lain, Liam menunduk menatap Harriet yang sedari tadi menatapnya dalam-dalam. Liam pun mengecup dahi Harriet di antara alisnya, dan tersenyum lebih lebar. “Maaf aku tertidur di tengah kencan kita. Berapa hari yang lalu?” tanya pria itu.
“Jangan minta maaf. Dan… anda tertidur sejak lima hari yang lalu,” jawab Harriet. “Tapi anda bangun tanpa saya ada di dekat anda,” ucap Harriet kemudian.
“Aku bisa merasakan sesuatu, seperti kau memanggilku,” ucap Liam. “Apa Madam begitu bahagia hingga ingin membagikannya denganku?”
Harriet mengangguk antusias, dan Liam mengerjap melihat sisi menggemaskan Harriet yang sedang begitu bahagia ini.
Liam pun mencium kedua pipi Harriet, lalu bibirnya, dan Harriet bahkan terus tersenyum manis sebagai reaksinya. Liam tertawa kecil. “Jadi saat Madam bahagia, aku bisa menggoda Madam sepuasku? Ini menyenangkan.”
Harriet tertawa dengan suara yang manis.
“Ahh, godaanku sudah tidak mempan lagi. Madam benar-benar bahagia sehingga tidak peduli pada godaanku, ya?” Liam merasa semakin senang melihat suasana hati istrinya yang sedang membuncah ini. Ia diam-diam merasa ingin membuat Harriet bahagia seperti ini selamanya.
Harriet membenamkan wajahnya kembali ke d**a Liam.
“Terimakasih, Milord,” ucap Harriet lembut.
Liam sekali lagi mengerjap bingung.
“Terimakasih sudah mengajak saya pergi kencan, dan terimakasih sudah berusaha bangun untuk saya. Saya bersyukur anda tidak menolak saya dan tidak membenci saya,” ucap Harriet kemudian.
Mata Liam menjadi goyah. Di ruang kosong di dadanya, menyebar sesuatu yang terasa perih. Ini adalah kedua kalinya Harriet berhasil membuatnya seolah merasakan sesuatu di tempat kosong itu.
“Harriet, ini adalah kewajibanku sebagai seorang Alpha dan sebagai seorang lelaki. Kau tidak perlu…”
Harriet menggeleng, memotong lembut kata-kata Liam.
Wanita itu mengusap air mata yang mengalir lagi di pipinya dan dengan riang menatap kembali suaminya.
“Apakah anda lapar? Ini waktu yang tepat untuk makan siang,” ucap Harriet mengalihkan topiknya dengan cara yang sedikit dipaksakan, namun mulus.
Liam tersenyum, menyingkirkan sehelai rambut di pelipis Harriet. “Mm, aku lapar. Ayo kita makan. Kali ini aku tidak akan tertidur di tengah-tengah makan,” ucap pria itu, membuat Harriet tertawa.
Keduanya berjalan berdua ke ruang makan, mengejutkan begitu banyak pelayan karena melihat Liam turun dari menaranya.
Pada akhirnya, hari itu Liam tertidur lagi setelah ia berhasil menyelesaikan makan siangnya.