“Lepaskan! Aku jijik berada dekat-dekat dengan kalian. Siswa seperti kalian tidak pantas berada di lingkungan sekolah. Seharusnya kalian bergerombol di terminal atau di pasar saja. Bukan di sini!” Ucapan Lara terdengar sengit dan meremehkan. Dia sendiri terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Seperti bukan dirinya yang ‘biasa’.
“Maksudmu? Kami ini kayak penyakit menular yang harus dibasmi? Gitu?”
“Kurang ajarr, nih, cewek. Mentang-mentang cantik terus bisa ngomong seenaknya?”
“Pegangi tangannya! Pengen tahu kalau wajahnya jelekk, apa dia masih bisa ngomong kayak gitu?” Seorang siswa tiba-tiba saja sudah menggenggam benda berkilat. Mata Lara membelalak melihat benda tajam di tangan siswa itu, hingga tanpa disadarinya, dua siswa lain sudah memegangi tangannya.
“Ja-jangan … jangan macam-macam, ya kalian. Atau~”
“Atau apa? Kamu pikir kami takut sama orang tuamu yang dokter itu? Cewek seperti kamu harus diberi pelajaran sedikit. Lagipula, sedikit goresan di pipi tidak akan mengurangi kecantikan kamu. Mamamu pasti bisa memperbaikinya. Dia dokter kecantikan paling terkenal di kota kita, kan?”
Tawa menjijikkan kembali terdengar dari mulut siswa menjijikan yang memegang pisau. Langkahnya semakin mendekat pada Lara. Teman-teman yang lain segera berkerumun mengelilinginya. Mulut Lara membuka hendak berteriak minta tolong, namun sebuah tangan besar membekap mulutnya dari belakang.
Sekuat tenaga, Lara memberontak. Tapi tenaga siswa-siswa setengah kalap jauh lebih besar dari tenaganya. Air mata mulai menggenang di sudut mata Lara. Kilau mata pisau yang berkilat tertimpa cahaya matahari jatuh pada pupil mata Lara. Membuatnya menutup mata dan merapal doa-doa pada kekuatan yang Maha Tinggi agar dirinya segera terbebas dari keadaan menyedihkan ini. Walaupun dia tahu, bukit ini terlalu terpencil dan jauh dari keramaian sekolah. Kecil kemungkinan seseorang akan melihat peristiwa yang dia alami, apalagi ini jam pelajaran sekolah.
“Beraninya main keroyokan. Sama perempuan lagi. Kalian yang mengaku laki-laki, ayo sini! Mending hadapi aku!” Suara seseorang menghentikan gerakan mata pisau yang sudah tinggal seinci lagi dari pipi Lara.
“Kenapa diam? Kalian punya tytyd, nggak, sih? Atau jangan-jangan kalian ini cuma perempuan yang pakai celana panjang. Bancii!” Suaranya semakin sinis mengejek siswa-siswa yang berniat menyakiti Lara.
Serta-merta, gerombolaan yang merubungi Lara, bubar. Dengan teriakan kesal dan panjang, mereka menyerbu suara yang mengejek mereka.
Lara jatuh terduduk di rerumputan. Segera setelah mengatur napas sejenak, dia merangkak ke balik pohon terdekat dan mengamati adu jotos yang tidak seimbang di hadapannya. Sembari menimbang-nimbang apa yang hendak dilakukan, Lara berusaha mencari tahu siapa penolongnya tadi. Namun siswa-siswa nakal yang mengeroyoknya membuat wajah si penolong tertutupi sehingga menghalangi pandangan Lara.
Bug!
Satu siswa nakal terkapar tak sadarkan diri.
Bug! Bug!
Dua siswa nakal terjatuh dan mengerang kesakitan, Pengeroyok penolongnya semakin sedikit. Namun wajahnya masih belum terlihat jelas. Lara hanya bisa melihat kelebat tangan dan kakinya yang begitu lincah menghajar siswa-siswa yang tadi berusaha mencelakainya.
Bug! Bug! Bug!
Berturut-turut penolongnya menjatuhkan lawannya. Tinggal satu pengeroyok lagi yang bertahan. Tapi melihat teman-temannya sudah jatuh bergelimpangan, si pengeroyok terakhir ketakutan dan dia lari tunggang langgang melintasi lapangan sepak bola. Lara melihat sosoknya semakin mengecil. Melihat temannya kabur, siswa yang lain pun mengikuti sambil memapah temannya yang tidak sadarkan diri. Mereka tidak mau berdekatan dengan penolong Lara yang kelihatannya jauh lebih tangguh dari mereka semua.
“Lain kali cari tempat nongkrong yang lebih ramai sajalah! Cewek kayak lu nggak pantes berada di sini.” Suara sinis penolongnya terdengar mengejek Lara. Segera Lara menyadari siapa penolongnya itu. Mereka sempat bertemu tadi pagi.
“Cewek seperti aku? Cewek yang gimana maksudmu?” Lara segera berdiri dan menghampiri penolongnya.
“Ya, cewek kayak lu. Sok kecakepan dan sukanya jalan-jalan keliling sekolah kayak lu aja yang punya sekolah. Murah banget, sih!”
Seharusnya Lara berterima kasih kepada penolongnya itu. Tapi mulutnya terlalu tajam, membuat telinga Lara terasa seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Lain kali kalau mau menolong orang, kamu tanya dulu, dia minta ditolong atau tidak. Dan seandainya kamu tadi bertanya, aku akan bilang, tidak!” ucapnya sambil berlalu pergi.
“Tunggu!” panggilnya menghentikan langkah Lara.
“Gue minta maaf kalau ucapan gue keterlaluan. Tapi gue nggak bisa membiarkan lu disakiti seperti tadi. Seandainya lu bilang tidak, gue bakal tetap nolongin lu,” katanya sambil menatap mata Lara.
“Terima kasih.”
“Apa?”
“Aku bilang terima kasih. Karena sudah menolongku.”
“Biasa aja.”
“Apa?”
“Eng-enggak. Bukan apa-apa. Sudahlah, gue mau ke kantin. Lu juga sebaiknya kembali ke sekolah. Gabung sama teman-teman cantik lu yang lain.”
“Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Kamu terluka,” kata Lara. Dia menunjuk pada ujung bibir penolongnya yang pecah.
“Nggak masalah. Gue laki-laki, luka seperti ini nggak akan bikin gue dipandang sebelah mata. Berbeda jika wajah lu ini yang terluka. Akan ada banyak hati yang tersakiti.” Pemuda penolong Lara mengulurkan jemarinya. Dengan lembut diusapnya pipi Lara. Meninggalkan rasa hangat dan kedamaian yang seolah telah lama tercabut dari dalam diri Lara.
“Kembalilah ke sekolah. Dan jangan pernah kemari lagi,” katanya sambil berlari meninggalkan Lara.
Dari kejauhan, Lara mendengar bunyi bel tanda jam pelajaran berakhir. Sebentar lagi siswa-siswa akan keluar untuk beristirahat. Termasuk kedua teman atau sahabatnya. Lara melihat sosok pemuda penolongnya berlari melintasi lapangan sepak bola. Bayangannya terlihat mengecil dan sepi. Ada rasa sakit yang mengiris dalam dadanya ketika mengingat sentuhan lembut jemari pemuda itu di pipi Lara.
Sambil memejamkan mata, Lara berusaha menghadirkan kembali sentuhan pemuda itu dalam ingatannya. Dia menyimpan dengan rapi kenangan itu dalam kepalanya. Dia percaya, suatu hari nanti ingatan itu akan menolongnya menemukan sesuatu. Entahlah. Tapi sejak kemunculannya di masa lalu, ada keyakinan-keyakinan besar yang muncul di dalam hatinya. Meskipun keyakinan itu meleset, seperti saat ini. Ketika dia yakin akan menemukan kedamaian di bukit belakang sekolah, tapi yang dia temukan sebaliknya. Kerusuhan.
Tapi mungkin tidak. Lara membuka kedua matanya. Dia memang tidak menemukan kedamaian seperti yang dia pikirkan. Tapi ketika jemari pemuda tadi menyentuhnya, dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Ah, ternyata keyakinannya tidak meleset!
Lara berlari melintasi lapangan sepak bola. Dia harus menemui kedua temannya dan mencari tahu siapa nama pemuda yang menolongnya tadi. Perasaannya hangat dan bahagia ketika membayangkan wajah pemuda itu. Pemuda itu selalu mengeluarkan kata-kata sinis dan menyakitkan, seperti tadi pagi ketika berada di mobil jemputan. Tapi Lara merasa kesinisannya hanya topeng untuk menutupi kebaikannya.
Ketika langkahnya semakin dekat dengan sekolah, Lara melihat seorang gadis berlari terburu-buru ke arahnya. Wajahnya tertunduk dan sepertinya dia menangis. Larinya tak beraturan. Lara yakin jika dia tak buru-buru menghindar, mereka akan segera bertabrakan. Dan benar saja …
“Ma-maaf. Aku tidak melihat jalan,” ujar gadis itu sambil berusaha berdiri. Wajahnya menengadah memandang Lara takut-takut.
Entah sampai kapan kejutan demi kejutan akan Lara terima. Ini adalah kejutan terbesar pada hari ini. Melihat wajah gadis itu, Lara seolah di ping-pong berkali-kali antara masa depan dan masa lalu. Akhirnya dia tahu, di manakah dia berada saat ini.
“Bunda …?”©