“Za, apa wanita itu sering nemuin Mas Aji di kantor?” tanya Venus.
Moza menggeleng, masih dalam keterkejutan yang sama. “Kalau sekarang-sekarang, sih, enggak, Ven.”
“Berarti dulu sering?”
“Sering. Tapi, kita para pegawai gak ada yang sampai menaruh curiga berlebih karena kita pikir, dia datang ke ruangan Pak Aji buat urusan pekerjaan,” jelas Moza dengan perasaan tak nyaman. Ia tahu, temannya itu tidak sekuat yang terlihat saat ini. Hatinya pasti terluka. Bahkan sangat terluka, apalagi setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Aji sedang bersama wanita lain.
Namun, Venus tetap memperlihatkan senyumannya. Meskipun dari sorot mata tidak terlihat demikian. “Makasih, ya, Za, udah ngasih tahu semuanya.”
Moza menggenggam tangan Venus, menatap penuh iba. “Jangan ditahan. Aku tahu, gimana sakitnya hati kamu sekarang.”
Awalnya Venus tetap tersenyum menanggapi ucapan Moza. Namun lambat laun, air mata itu perlahan berjatuhan di atas wajah, terlebih saat teringat alat tes kehamilan yang ia temukan dalam saku jas sang suami.
Rasanya ... semakin sakit, semakin marah, dan semakin terluka. Sampai-sampai, untuk tetap terlihat baik-baik saja sepertinya begitu sulit. Apalagi jika nanti berhadapan dengan Neptuna. Venus yakin, air matanya pasti akan berjatuhan di atas wajah tanpa ia sadari.
“Ven ....” Gumam Moza sembari bangkit dan memeluk temannya dari samping.
Venus menunduk. “Aku mikirin Una. Gimana perasaan dia kalau tahu Papanya kaya gini? Gimana mental Una kalau nantinya kami bercerai?”
“Ven, apa gak sebaiknya dibicarakan dulu secara empat mata sama Pak Aji? Mungkin dengan bicara berdua, kalian bisa menemukan jalan tengahnya. Masalah apapun akan selesai kalau komunikasi yang dibangun cukup baik.”
Wanita itu menggeleng. “Kita gak bakalan menemukan jalan tengah yang sesuai sama harapan, Za. Karena ending dari pernikahan kami, udah pasti perpisahan.”
Moza mengerutkan dahi. “Ven? Kok ngomongnya gitu, sih?”
Venus merogoh sesuatu dari dalam tas, lalu menaruh benda tersebut di atas meja, berikut ponsel miliknya yang kini sudah menampilkan sebuah foto pada layarnya. Sementara Moza, segera mengambil benda-benda tersebut, untuk melihatnya lebih dekat.
Satu menit ... Dua menit ... Tiga menit berlalu, Moza hanya diam memandangi keduanya secara bergantian. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, atau bahkan gerakan lain selain ibu jari yang menggeser gambar melalui layar ponsel. Yang ada, hanya kerutan dahi semakin dalam, juga mata membulat sempurna.
“V-Ven ... I-ini ....” Bahkan wanita itu tak sanggup melanjutkan perkataannya setelah memahami kejadian yang sebenarnya. Moza hanya menatap penuh tanya pada Venus, sedangkan Venus malah mengangguk meng-iya-kan.
“Aku harus gimana sekarang? Aku bener-bener bingung, Za,” ucapnya melirih. “Semuanya udah hancur! Entah itu mimpi aku, mimpi Una, bahkan kehidupan kami berdua. Semuanya udah hancur, sehancur-hancurnya.” Lanjut Venus terisak dalam.
“Ven ....”
Venus terus terisak. “Una masih terlalu kecil untuk menjadi korban keegoisan orang tuanya, Za. Una bahkan masih terlalu kecil untuk menghadapi masalah keluarga sebesar ini.”
“Ven ....”
Venus menunduk. “Aku bener-bener ngerasa bersalah sama Una, Za. Aku bener-bener ngerasa gak becus jagain Una.”
Moza mencoba memberikan dukungan dengan memeluk tubuh temannya erat-erat. “Aku tahu, ini adalah fase terberat dalam hidup. Tapi, Ven, aku mohon, kamu harus tetap kuat dan semangat demi Una, ya? Kamu gak boleh sampai nyerah, dan harus berjuang demi dapetin hak kamu sebagai istri.”
Venus semakin menunduk dalam. Benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana. “Za ... Lelaki seperti apa lagi yang harus aku percaya?”
“Ven ....”
“Kalau udah tabiat memang gak bisa berubah. Harusnya, aku dengerin omongan Papah waktu itu. Harusnya, aku gak percayain sepenuhnya hidup aku sama lelaki kaya Mas Aji. Seharusnya, aku berhenti mencintai Mas Aji saat itu, biar gak berakhir kaya gini. Seharusnya ... Seharusnya ....”
“Stop, Ven! Berhenti nyalahin diri kamu sendiri! Apa yang lagi kita jalanin sekarang, adalah sebaik-baiknya rencana dari Tuhan. Kamu gak boleh bilang kaya gitu!”
Sembari menghapus sisa air mata di atas wajahnya, Venus mendengkus, mulai erasa kesal terhadap dirinya sendiri, dan takdir yang sedang dijalani saat ini. “Jadi, apa yang aku alamin ini, adalah rencana terbaik dari Tuhan? Gitu? Ha! Yang bener aja, Za! Sesakit ini kamu bilang rencana terbaik? Skenario terburuk, sih, iya!”
“Ven, takdir Tuhan itu gak ada yang buruk! Bahkan, takdir Tuhan itu jauh lebih baik daripada yang kita harapkan!”
“Lalu ini apa, Za? Semua yang aku alami nyatanya gak sebaik yang aku harapkan!”
Namun, belum sempat Moza membalas perkataan temannya itu, Aji dan sang kekasih yang nampak berjalan mendekat–hendak menuju toilet yang letaknya berada di sudut ruangan–tiba-tiba menghentikan langkahnya. Menatap ke arah Venus dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan.
“Ve-Venus ....” Gumaman Aji terdengar sangat pelan bahkan hampir tak terdengar.
Wanita cantik berpakaian casual itu berusaha untuk tetap tenang, mengulas seringai tipis dari salah satu sudut bibir kala menyadari, siapa wanita yang sedang berdiri di samping suaminya tersebut. Bangkit dari posisinya–diikuti oleh Moza setelahnya yang sudah bersiap-siap untuk melerai jika sampai terjadi pertengkaran hebat.
“Kenapa kamu ada di sini?” Bodohnya, Aji malah bertanya seperti itu dengan mimik wajah kusut hingga membuat Venus semakin terbakar emosi. Padahal maksud dari pertanyaannya adalah untuk mencari jawaban atas situasi yang tidak terduga ini. Sementara wanita di sampingnya, mencuri-curi pandang ke arah Venus dengan sorot mata yang penuh dengan ketidaksukaan.
Venus terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat sembari terus memaksakan diri untuk tetap tenang. “Ah, jadi ini, Mas, wanita yang kamu hamili!” ucap Venus tak terduga-duga.
Aji semakin gelagapan mendengar pertanyaan itu, sampai-sampai ia tak menyadari, hampir seluruh pengunjung kafe tersebut kini sedang melihat ke arah mereka. “Sa-Sayang ... Kamu ....”
“Jadi, tebakan aku benar, ya, Mas, kalau wanita yang kamu hamili adalah Manda?” sela Venus tak ingin memberikan kesempatan barang sedetik untuk Aji membela diri.
Perlahan, jantung Aji mulai berdetak lebih cepat dari sebelumnya, hingga bulir keringat pun mulai membasahi sekujur tubuh pria itu, bersama puluhan pertanyaan dalam pikiran.
Sejak kapan Venus mengetahui semua ini?
Saking terkejutnya, lidah Aji mendadak kelu untuk sekadar menjawab pertanyaan Venus. Tangannya terkepal kuat hingga basah, apalagi saat melihat tatapan tajam dari wanita itu yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya.
Namun, Venus yang sudah terlanjur emosi, akhirnya berjalan mendekat beberapa langkah, berdiri di hadapan Aji dan Amanda, kemudian mendengkus. “Aku udah tahu semuanya, kok, Mas. Bahkan, tanpa aku yang mencari tahu pun, bukti-bukti pengkhianatan kamu bermunculan ke permukaan dengan sendirinya sepwrri sekarang. Jadi, kalau pun kamu mau membela diri, atau bahkan membela perempuan kegatelan ini, kayanya itu percuma. Toh, semuanya udah sangat jelas!”
Aji menarik pergelangan tangan Venus dan melepas genggaman tangan Amanda. “Ayo pulang! Kita selesaikan masalah ini di rumah! Di sini terlalu ramai orang!”
Venus menghempaskan tangannya hingga terlepas dari cengkraman pria itu “Terlalu ramai? Kenapa? Mas malu terbukti jadi pengkhianat? Gak usah malu, Mas! Toh, ngelakuinnya aja gak ada rasa malu. Malah terang-terangan kaya gini.”
“Venus!”
Plak!
Satu tamparan tiba-tiba melayang di atas wajah Aji, dan membuat pria itu sedikit meringis kesakitan. Mengusap salah satu sisi wajahnya yang mulai memanas, tanpa melepas tatapannya dari sosok Venus. Sementara wanita itu mulai mengacungkan jari telunjuk ke hadapan wajah Aji.
“Jangan pernah sebut nama aku lagi dengan mulut hinamu itu, Mas! Aku bener-bener gak sudi! Aku bener-bener gak ikhlas!” bentak Venus.
Tepat setelah mengatakan hal itu, tanpa terduga, seorang pria gagah bersetelan jas lengkap, yang baru saja masuk ke dalam cafe, nampak berjalan cepat menghampiri Venus. Menarik pergelangan tangan wanita itu dengan lembut, kemudian berkata, “jangan pernah merendahkan harga diri di depan banyak orang karena sampah seperti mereka, Venus! Itu hanya buang-buang tenaga!”
***