Satu Rupa Dua Raga

990 Words
Brengsek...! ketika membuka matanya Leon merasa dipermainkan. Ranjang yang semula hangat, sekarang terasa dingin. Wanita itu meninggalkannya dengan lima lembar uang ratusan ribu yang tergeletak di atas nakas. Ia melempar uang tersebut ke udara, lalu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi, membersihkan diri. Denting nada dering pesan masuk terdengar di ponselnya. Ia meraih ponselnya dan terkejut. [Lian, menjabat sebagai CEO per hari ini] Leon tersenyum miring ketika membaca pesan tersebut. Berita tersebut cukup mengejutkannya. Sepertinya ia memang harus bertemu adiknya segera. Keesokan paginya, Leon mendatangi gedung kantor salah satu kerajaan bisnis milik keluarganya. Ia berjalan santai memasuki gedung dan disapa ramah petugas keamanan yang sedang bertugas. “Selamat pagi, pak...” “Pagi,” Leon membalas sapaan mereka dengan sopan. Tidak perlu bertanya dimana ruang CEO berada, karena ingatannya masih sangat bagus ketika dirinya dan papa yang sering mengajaknya bekerja di sebuah ruangan yang berada di lantai tertinggi gedung megah ini. Dalam beberapa menit, ia sudah tiba di lantai yang dituju. “Selamat pagi, pak Lian...” salah seorang pegawai berlari menyambut kedatangannya. Sepertinya pegawai tersebut salah mengira dirinya. Bukan salah pegawai tersebut yang tidak mengenalnya, karena memang tidak ada seorang pun yang tahu siapa dirinya. “Pagi,” balas Leon dengan suara dingin. Ia terus berjalan memasuki ruangan dan menemukan ruang CEO itu masih sama seperti terakhir kali ia kunjungi beberapa tahun silam. Leon berkeliling ke setiap sudut ruangan. Di sebuah lemari, terdapat sebuah foto dirinya dan ayahnya. Tidak ada ibunya, tidak ada Lian. Hanya ia dan ayahnya yang ambisius yang ingin menjadikannya si nomor satu. Langkahnya terhenti di sebuah kursi besar yang didominasi oleh warna keemasan. Kursi singgasana yang membuatnya melarikan diri dari pesonanya yang menghanyutkan. Karena untuk mendapatkan kursi tersebut, ia harus rela kehilangan segalanya. Sayangnya, ia tak mau. Tok... tok... Terdengar sebuah ketukan di pintu dan muncullah sesosok wanita berambut panjang yang meninggalkannya malam itu. BINGO! ia berseru dalam hati sambil menatap wanita yang berdiri dengan gugup di hadapannya. “Selamat pagi, pak.” Sapa wanita itu dengan nada ragu. Leon memperhatikan penampilan wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Terlihat wanita tersebut berdiri gelisah di bawah tatapannya yang tajam. “Saya sudah memikirkan ucapan bapak kemarin. Jadi, saya akan menerima tawaran bapak dan siap bekerja untuk bapak.” Alis Leon melengkung, sedikit tak mengerti apa yang dibicarakan wanita itu. “Siapa namamu?” “Vanesha Anastacia, pak. Bapak bisa panggil saya Vanesha atau Nessa.” “Vanesha,” Leon menyebut nama wanita yang telah melukai harga dirinya itu. “Apa kau masih perawan?” Pertanyaan itu membuat wajah Vanesha memerah seketika. “Jangan main-main, pak!” Vanesha siap berdebat. “Apa yang kau lakukan di sini, hah?” suara itu terdengar sinis. Leon hanya mendesis sekilas lalu tersenyum miring melihat adiknya muncul tiba-tiba dengan wajah kesal dan juga jengkel. “Aku hanya berkunjung. Apa tidak boleh?” jawab Leon singkat, membuat adik kembarnya tersebut semakin merasa jengkel. “Sejak kapan kita jadi saudara yang saling mengunjungi, Leon?” Sindir, Lian dingin. Leon tertawa mengejek, “sejak kapan kau jadi adik yang suka menyindir, hah?” “Apa maumu, Leon?” tanya Lian, tak ingin berbasa-basi. “Tidak ada.” Jawab Leon sambil mengangkat bahu, tak acuh. Lian terdiam sejenak, tak bergeming dari tempatnya berdiri saat ini. “Aku hanya memastikan kalau adikku benar-benar menjabat sebagai CEO di perusahaan ini.” Kali ini Lian tertawa skeptis, “apa kau sekarang iri, hah?” “Tidak...! Tidak sama sekali...!” Leon menyangkalnya. “Terus apa maksud kedatanganmu pagi ini dan merayu sekretarisku?” “Jadi, dia sekretarismu?” Leon memasang wajah terkejut. “Jangan bilang kau sedang merayunya!” “Sudah kulakukan.” Jawab Leon membuat wajah Vanesha memerah seketika. Lian tampak tak terpengaruh oleh jawaban sang kakak. “Sudah kuduga!” “Kalau begitu, bisa kau berikan dia padaku sekarang?” “Tidak!” jawab Lian dengan nada tegas. “Kalau begitu aku tak punya pilihan.” Leon bergerak cepat sambil menggandeng Vanesha keluar dari ruangan. Sayangnya Lian pun menarik tangan Vanesha yang bebas dan menahan langkah mereka. “Mau kemana?” “Pergi dari adikku yang menyebalkan.” “Kau tidak akan membawanya!” nada suara Lian penuh peringatan. Hanya saja, Leon tidak pernah mempedulikan peringatan adiknya, pria itu tetap membawa Vanesha pergi. “Aku harus membawanya sekarang. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.” Leon menarik Vanesha cukup keras hingga wanita itu terhuyung ke arah Leon dan nyaris terjatuh. Dengan sigap pria itu menahannya dengan tubuhnya yang tegap. Vanesha terperangkap dalam pelukan Leon yang erat. Tak mau kalah dengan sang kakak, Lian pun melakukan hal yang sama sehingga kali ini Vanesha yang bergerak menuju ke arah Lian dan memeluknya lebih erat. Vanesha meringis kesakitan ketika dirinya menjadi objek rebutan dua kakak beradik tersebut. Hingga akhirnya ia capek dan berusaha menghentikan keduanya. “Pak... pak... tolong! tangan saya sakit ditarik sana-sini sama bapak. Jadi...” “Kalau begitu kau jangan mendekat!” Seru keduanya dengan nada membentak. Mendengar itu, Vanesha hanya menunduk lesu di tengah perdebatan dua kakak beradik yang sama-sama menjengkelkan. Vanesha menatap Lian-bosnya, awalnya dia berpikir bos besarnya ini akan lebih berwibawa setelah kesan pertama mereka bertemu. Ternyata dugaannya salah. Pria ini sama-sama menyebalkan. Begitu pula dengan pria yang satunya. Pria yang mengaku tidur dengannya malam itu. Ternyata dia sama menjengkelkannya dengan adiknya. Vanesha hanya bisa pasrah berdiri di antara dua kakak beradik yang masih sibuk berdebat layaknya anak kecil. Kedua tangannya dipegang dua pria ini masing-masing satu. Sehingga ia hanya bisa pasrah mendengar perdebatan mereka yang semakin sengit. Diam-diam Vanesha mencoba melepaskan tangannya. Ia menghela napas lega ketika kedua tangannya bebas dan perlahan ia berjalan menjauh dari keduanya. Sayangnya Lian menyadari kepergiannya. “Kau mau ke mana?” “Kau tetap di situ! jangan ke mana-mana!” kali ini Leon menunjuk ke arahnya dengan penuh peringatan. “Bisakah kalian berhenti sekarang?” tanya Vanesha dengan suara lelah. “Tidak!!!!” sahut keduanya bersamaan. Vanesha menatap keduanya dengan tatapan lelah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD