Sang CEO

953 Words
Ada yang aneh dengan gadis bertubuh mungil yang memberikannya laporan barusan. Ia tampak gugup dan berusaha menyembunyikan wajahnya dengan uraian hitam rambutnya yang lebat. Pria itu bergegas menghubungi divisi tempat sang pembuat laporan tersebut yang berada. Setelah berbicara sekilas tentang proposal tersebut, barulah diketahui gadis itu bernama Vanesha. Ia pun segera menyuruh pegawai bernama Vanesha itu untuk segera menemuinya. “Nes, kau dipanggil Pak Lian sekarang!” setelah menerima panggilan interkom dari bos besarnya, Rian langsung menghampiri Vanesha dan menyampaikan perintah CEO barunya tersebut. Bukan hanya Vanesha yang terkejut, Bella beserta staf yang lain sama terkejutnya dengan gadis itu. “Nes, elo nggak bikin masalah besar ‘kan?” tanya Bella penasaran. “Yakin, kamu...?” tanya Pak Rian—sang manager, ikut penasaran. “Ah, bapak jangan nakut-nakutin saya, dong!” gerutu Vanesha. Tega sekali rekan satu tim-nya di saat dia sedang panik seperti ini, mereka bukan menenangkan Vanesha, tapi justru menambah ketakutan Vanesha berlipat ganda. “Masalahnya, baru kamu doang dipanggil sama beliau. Dari tadi ketika pengenalan dewan direksi, beliau bahkan tidak tertarik sedikit pun sama para atasan kita.” “Masa sih, pak?” tanya Bella, tak percaya. “Masa iya saya bohong. Saya ‘kan ikut rapat pengenalan dewan bersama mereka. Tapi aneh banget CEO baru kita pengen ketemu kamu.” Pak Rian ikut penasaran. “Iya, ya pak? aneh benar?” Bella memang ratu kepo, jadi tidak perlu diragukan lagi rasa penasarannya. “Ah, kalian memang jahat! bukannya bikin aku tenang, kalian malah bikin aku tambah deg-degan.” seru Vanesha mengomel. Tapi sayangnya omelan Vanesha tidak ditanggapi sedikit pun oleh para rekan satu tim-nya. Mereka justru sibuk mencari alasan kenapa Vanesha dipanggil ke ruang bos besar mereka. Vanesha hanya bisa pasrah dan mengikuti perintah bos barunya tersebut. Ia pun segera beranjak dari kursi kerjanya dengan langkah cepat, namun setibanya ia di luar ruang divisi langkahnya berubah menjadi gontai. Tubuhnya lemas tak berdaya, jantungnya berdegup kencang memikirkan hal buruk yang akan terjadi selanjutnya. Tidak butuh waktu lama bagi Vanesha menuju ruang CEO yang berada di lantai teratas gedung perkantoran ini. Ruangan tersebut memiliki satu elevator khusus yang langsung membawanya cepat menuju lantai tertinggi gedung. Setibanya di sana, Vanesha menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya yang berdebar-debar. Ia takut jika pria itu mengingat wajahnya semalam. Dengan sopan ia mengetuk pintu hingga ia mendengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk. Pria itu berada di sana, duduk di kursi singgasananya dengan tatapan dingin dan ekspresi wajah yang tenang. Wajahnya persis seperti yang diingatnya semalam. Ingatannya masih segar, jika mengingat bagaimana cara pria itu mencium bibirnya, sensasi sentuhan lembutnya, desah napasnya, duh...! kenapa di saat kritis begini hanya adegan itu yang terlintas di benaknya. Ia mengomeli pikirannya sendiri. “Kamu... Vanesha?” tanya pria itu dengan suara dingin. Vanesha hanya menganggukkan kepala tak berani menjawab. Tatapan yang tajam pria itu, membekukan keberaniannya. Terlebih jika ia mengingat peristiwa semalam. Keberaniannya semakin menciut. Ia tampak seperti seekor semut di hadapan gajah raksasa. “Kamu kenal siapa saya?” tanya pria itu tiba-tiba. Nada suaranya begitu dingin, membuat Vanesha nyaris tak mampu menjawabnya. Bukan hanya suaranya yang dingin. Aura pria ini juga terasa sedingin es di Antartika. Bahkan sorot matanya terlihat begitu tajam menusuk. Ekspresi wajahnya tampak datar, membuatnya terlihat sangat menyeramkan. “Iya, pak. Saya kenal bapak!” akhirnya Vanesha berhasil mengumpulkan keberaniannya, tapi sayangnya itu sia-sia, Vanesha bergerak mundur ketika pria itu beranjak dari kursinya dan berjalan menghampirinya. Ia ketakutan, kenapa pria ini tidak semenakutkan ini semalam? Vanesha bertanya-tanya dalam hati. Pria itu bergerak semakin dekat, seiring dengan langkah Vanesha yang semakin mundur—menjauh. Hingga ia terjebak di antara pintu ruangan dan tubuh sang pria yang menjulang tinggi beberapa puluh sentimeter di atasnya. Ia terpaksa mendongak dan menatap sepasang mata paling dingin yang pernah dilihatnya. Ia ketakutan, kakinya nyaris tak mampu menopang beban tubuhnya ketika jemari kekar pria itu mengarah padanya. Dipejamkan matanya rapat-rapat, tapi yang terjadi bukanlah seperti yang ia bayangkan. Pria itu hanya menyingkirkan helaian rambut yang terurai menutupi seluruh wajahnya. Vanesha memang sengaja mengurai rambutnya dan menundukkan kepala agar pria itu tidak menyadari keberadaannya. Ia takut pria itu mengenalnya setelah peristiwa yang terjadi di kamar hotel semalam. “Biarkan kusingkirkan rambut sialan itu dari wajahmu!” pria itu mengumpat, Vanesha hanya tertegun melihat pria itu menyematkan helaian rambut dan mengikatnya dengan jemari tangannya. Napas Vanesha nyaris terhenti tatkala tatapan pria itu tertuju padanya. Jantungnya berdetak kencang, seakan dunia terhenti seketika ketika mereka saling menatap. Kemudian pria itu melepaskan rambut Vanesha dan kembali duduk ke kursinya. “Aku sudah membaca proposalmu dan aku bermaksud memakai idemu untuk membesarkan perusahaan ini. Jadi kuanggap kau cukup kompeten untuk jadi sekretarisku. Mulai besok kau akan bekerja denganku dan di bawah komandoku. Lagipula kau tidak cukup cantik untuk menarik perhatianku. Kau mengerti...?” Vanesha hanya terperangah mendengar ucapan yang dikatakan pria itu padanya. Ia terdiam sesaat sebelum akhirnya kesadarannya kembali. Rasanya sulit mencerna kalimat yang baru saja diucapkan bos barunya ini. Sekretaris? bekerja dengannya? dan apa maksudnya dengan dia tidak cukup cantik? Vanesha tampak kebingungan untuk menjawab. “Kurasa kau mengerti maksud perkataanku. Jadi siapkan barang-barangmu dan mulai besok kau akan bekerja di ruangan ini bersamaku.” Tanpa banyak kata, Vanesha hanya tertegun cukup lama. “Apa mungkin ini ada kaitannya dengan peristiwa semalam?” akhirnya Vanesha berhasil mengumpulkan keberaniannya. Namun sayangnya keberanian itu harus hancur berkeping-keping tatkala pria itu hanya menjawab, “semalam? memangnya ada dengan semalam?” Tak butuh waktu lama untuk Vanesha segera meninggalkan ruangan CEO tersebut. Ia tak mau bertambah malu karena ternyata pria itu sama sekali tidak mengingat peristiwa semalam, apagi mengingat dirinya. Entah dia harus bersyukur atau mengutuk pria yang telah merebut kesuciannya itu. Satu hal yang pasti, mulai saat ini hidupnya akan terikat dengan pria itu selamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD