Makan Malam Istimewa

1656 Words
Vanesha luntang-lantung di lobi hotel. Ia duduk di kursi tunggu, sambil menatap gawainya mencari kamar hotel terdekat untuknya menginap. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ia nyaris menjatuhkan gawainya karena tak sengaja tertidur. Untungnya suara nada dering telepon membangunkannya sebelum ia benar-benar terlelap. “Ya, pak...?” Ia langsung mengangkat telepon dari bosnya itu. Lalu tersenyum ketika mendengar ada harapan terbit di hidupnya malam ini. Terberkatilah ia ketika Lian meneleponnya dan mengizinkannya tidur di kamarnya hanya malam itu. “Terimakasih banyak pak...” Vanesha tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih atas anugrah yang diberikan Lian padanya. “Saya pasti tidak akan menyusahkan. Jadi bapak silakan beristirahat saja, biar saya tidur di sofa.” Lian berusaha mengabaikan sekretarisnya yang merepotkan itu. Di kala pikirannya menerawang ke alam bawah sadarnya, ia melirik ke arah gadis yang sudah terlelap tak sadarkan diri di atas sofa. Pria itu bangkit dari tidurnya—menghampiri Vanesha yang tertidur pulas dengan cepat. Wajahnya yang polos, terlihat cukup menarik perhatiannya. Rambut hitam panjangnya tergerai berantakan. Dadanya naik turun seiring dengan tarikan napasnya yang teratur. Lian kemudian kembali ke kasurnya dan mencoba tertidur. Hari ini terasa sangat panjang. Ia menunggu balasan pesan dari seseorang di bagian belahan bumi lainnya. Hingga ia pun tak sadarkan diri, berpindah ke dimensi mimpi. *** Sinar matahari yang terik, menelusup masuk melewati jendela kamar yang terbuka lebar. Vanesha bergerak, memperbaiki posisinya. Namun, ketika terbangun ia menyadari posisi matahari sudah cukup tinggi. Ia terlambat bangun pagi itu. Ketika pikirannya sadar, ia melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan nyaris pukul tiga sore. Ya Tuhan... apa yang dilakukannya? Vanesha bergidik ngeri jika mengingat reaksi bosnya jika tahu ia terlambat bangun. Ia bahkan belum berpakaian pantas. Parahnya lagi, ia belum mengecek jadwal bosnya hari ini. Vanesha membenturkan kepalanya ke bantal sofa berkali-kali. Menyesali kebodohannya juga ketidak-becusannya bekerja sebagai sekretaris. “Saya rasa bantal itu tidak cocok sebagai samsak kepalamu yang sekeras batu.” Sindir Lian ketika memasuki kamar dan melihat sekretarisnya baru saja bangun, padahal ia baru selesai mengadakan pertemuan lanjutan dengan klien besar mereka semalam untuk membahas lebih lanjut tentang mega proyek mereka. Vanesha menatap Lian penuh rasa bersalah. Dengan apa ia harus meminta ampunan pada gunung es satu ini. “Kau benar-benar putri tidur, ya? Ckckck!” Seru Lian, terang-terangan mengejeknya. “Apa kau tahu kalau dengkuranmu itu melebihi suara terompet tahun baru?” Vanesha melotot kesal ke arah bosnya. Bisa-bisanya pria itu mengatakan kekurangannya tanpa rasa bersalah. Bukannya minta maaf, Vanesha malah memasang wajah cemberut karena kesal. “Terserah apa kata bapak! Sekarang saya mau mandi!” Gumam Vanesha berdiri dari sofa menuju kamar mandi. “Terus...?” Lian tak mengerti isyarat tersebut. “Ya, tolong bapak keluar kamar sekarang.” “Kenapa aku harus keluar, hah?” Lian lantas balik bertanya sehingga membuat Vanesha sulit berkilah. “Tapi, saya kan perempuan. Bapak laki-laki. Masa bapak mau lihat saya mandi?” “Apa yang bisa dilihat darimu?” Lian bertanya lagi, sehingga membuat Vanesha semakin jengkel. “Ya sudah kalau begitu, saya mandi di kamar mandi umum saja di kolam renang.” Vanesha mengambil perlengkapan mandinya, menaruhnya di kantong plastik kecil dan pergi keluar kamar. Lian mengikuti Vanesha turun ke lantai bawah menuju area kolam renang. Di sisi kolam renang, ada restoran kecil dengan beberapa meja kursi tersedia di sana. Lian duduk di salah satu kursi dan memesan makan malam untuk mereka berdua. Pemandangan area kolam renang itu begitu cantik. Warna biru laut dan langit berbaur menjadi satu di garis horizon yang indah. Lukisan alam yang sangat indah, mampu melenyapkan sejenak beban berat dalam pikirannya. Vanesha keluar dari toilet umum di dekat kolam renang. Rambutnya yang panjang terurai di punggungnya yang halus lembut. Titik-titik air menetes di wajahnya, ia baru saja membasuh wajahnya dan belum sempat mengeringkannya. Entah kenapa, gadis itu terlihat cantik sore ini. Ada sisi lain darinya yang membuat Lian tertarik. Bahkan bayang wajah Angela yang biasanya terpatri di benaknya, perlahan tergeser oleh wajah sekretaris barunya itu. “Kau itu mandi atau menyelam?” Tukas Lian, sarkas seperti biasa. Vanesha menimpali dengan sengit, “wah, ternyata bos baru saya gemar mengomentari orang lain, ya? Apa itu hobi bapak sekarang?” Lian memasang wajah masam mendapati komentar sinis sekretarisnya ini. Memang Vanesha selalu bisa membalas semua kata-kata sindirannya. “Aku sudah memesan makan malam buat kita.” “Wah, terimakasih banyak. Bapak tahu saja, saya sudah lapar.” Sahut Vanesha antusias menunggu makanan mereka datang. Sambil menunggu makanan mereka datang, dari arah panggung terdengar suara musik mengalun lembut. Seorang penyanyi mulai menyanyikan lagu merdu. Vanesha mendengarnya dengan syahdu. Suara penyanyi itu begitu merdu, membuat Vanesha terhibur. Akhirnya makanan mereka pun tiba, Vanesha begitu semangat melihat seporsi nasi goreng seafood hangat yang menggugah selera makannya. Ia berbinar-binar menatap makanan tersebut. Hingga ia tak sadar sang penyanyi menunjuk ke arah meja mereka. “Mari, kita beri sambutan meriah untuk pasangan romantis kita yang duduk di meja sana.” Suara riuh tepuk tangan menggema di sekeliling mereka. Baik Vanesha maupun Lian, keduanya tampak bingung ketika semua pasang mata tertuju ke arah mereka. “Silakan naik ke panggung...” ujar sang penyanyi kepada Vanesha. Vanesha menunjuk ke dirinya. Memberi isyarat pada sang penyanyi. Sang penyanyi menganggukkan kepala. Menandakan bahwa mereka adalah pasangan yang dimaksud. “Ayo naik ke atas panggung...” asisten panggung datang menghampiri mereka. Vanesha terpaksa mengikuti arahannya, begitu pula dengan Lian. Ia pun berjalan mengekori Vanesha dan kru panggung tersebut. Di atas panggung, riuh tepuk tangan penonton menggema di sekeliling. Beberapa bersorak-sorai menyambut keberadaan Vanesha dan Lian di atas panggung. Vanesha yang tampak kebingungan hanya tersenyum kaku ke arah penonton. Lian memasang ekspresi dingin seperti biasa. Ia tampak tak tertarik sedikit pun. “Wah, kalian benar-benar pasangan serasi. Aku iri pada kalian. Yang wanita sangat cantik. Yang laki-laki juga sangat tampan.” Sang penyanyi memuji Vanesha dan Lian. Sepertinya ia salah mengira kalau Vanesha dan Lian adalah sepasang kekasih. Vanesha hanya tersenyum kecut menanggapi komentar tersebut. Sesekali ia berusaha melirik ke arah bosnya, yang tampak tak peduli. Ia menarik lengan bosnya, meminta bantuan. Tapi, Lian tak meresponnya. Ia justru berdiri di sebelahnya sambil memandangi ke arah penonton dari atas panggung. “Bagaimana kalau kita minta pasangan pengantin baru ini menyanyikan lagu untuk kita?” Sang penyanyi meneriakkan ide gilanya yang konyolnya langsung disambut oleh antusias para pengunjung restoran di pinggir kolam. “Apa...?” Vanesha memekik kaget. “Tidak...! Tidak..! Tidak...! Jangan...! Lagipula kami ini bukan pasangan seperti yang kau kira.” Vanesha bersikeras menyangkal hubungan mereka. Lian seperti tak merespon apapun. Ia tak mengiyakan juga tak menampik. “Ayolah, nggak usah malu. Lagipula suamimu itu sangat ganteng sekali. Kalau dia bukan suamimu, mungkin aku sudah menggaetnya.” Bisik sang penyanyi, membuat wajah Vanesha bersemu kemerahan karena malu. Tentu saja Lian bukan suaminya. Untung saja pria itu tidak mendengar apa yang si penyanyi bisikkan di telinganya. Kalau tidak, ia mungkin bisa malu karena menganggap bosnya sebagai suaminya. Tak menerima penolakan sang penyanyi langsung memberikan mikrofon kepadanya. Dengan gerakan luwes, ia dan sang gitaris yang mendampinginya segera turun dari panggung. Kini semua mata tertuju padanya. “Bagaimana ini?” Ia bertanya pada Lian. “Apa kau bisa bermain gitar?” Tanya Vanesha, tak memiliki pilihan selain mengikuti permainan ini. Respon Lian justru diluar pikiran Vanesha. Bosnya itu bergerak mengambil gitar lalu menyetel senar sesuai dengan alunan yang ia inginkan. “A Thousand Years.” Ujar Lian lalu mulai memetik gitar secara perlahan mengikuti alunan nada. Vanesha yang memang jago bernyanyi langsung mulai mengambil napas dan bernyanyi dengan suara merdunya. Nada demi nada, lirik demi lirik, ia nyanyikan dengan syahdu. Seolah menyimpan arti, ia mengekspresikan lagunya penub pengkhayatan. Sehingga semua penonton seolah tersihir oleh suara nyanyian yang dilantunkan Vanesha. Begitu pula dengan denting gitar yang dimainkan Lian dengan sangat apik. Suara merdu Vanesha seolah menyatu dengan permainan gitar Lian. Menjasi satu harmonisasi yang sempurna. Di akhir nada, tak lupa Vanesha menutup nyanyiannya dengan tarikan nada yang sempurna. Ia menundukkan badan sambil mengucapkan terimakasih. Suara riuh tepuk tangan antusias menggema di sekeliling mereka. Lian mendengar suara tepuk tangan keras itu untuk mereka. Ia bergetar mendapati momen yang selama ini ia impikan semenjak dulu. Dengan tubuh gemetar ia pun berdiri, menerima semua pujian, tepuk tangan antusias penonton kepada mereka. Semua ini berkat sekretarisnya, yang secara tidak langsung mewujudkan satu impian kecilnya. Vanesha turun dari panggung dengan hati-hari. Lian mengikutinya dari belakang. Gadis itu menunduk malu, karena baru pertama kalinya ia menyanyi di depan banyak orang. Meski gemar bernyanyi, Vanesha tidak pernah sekali pun menunjukkan bakatnya dalam menyanyi. Karena ayahnya pastj membencinya. Ayahnya selalu ingin ia menjadi putri yang sempurna. Karena itu, ia selalu berjuang keras memenuhi semua ambisi ayahnya. Tapi... semuanya hilang begitu gadis lain datang menggantikan posisinya. Ia tak lagi dianggap. Hingga kini ia masih berjuang hidup untuk dirinya sendiri. Lian tampak terdiam sepanjang perjalanan mereka kembali ke meja mereka. Nasi goreng yang mereka pesan sudah tak lagi hangat. Yah, setidaknya Vanesha masih bisa menyantap makanan itu sekarang. “Pak... pak... bapak baik-baik saja?” Tanya Vanesha bingung melihat wajah Lian yang membeku. “Maaf ya pak, bapak terpaksa melakukan hal konyol kayak tadi.” Entah sudah berapa banyak Vanesha meminta maaf, tapi tetap saja Lian tak merespon permintaan maafnya. “Halo, adikku...? Sepertinya kau cukul bersenang-senang dengan kekasihku?” Suara bariton yang familiar itu memecah lamunan Lian. Vanesha terbelalak melihat sosok Leon di hadapannya. Tersenyum lebar ke arahnya. Lian justru memasang wajah dingin ketika melihat kehadiran kakaknya di sana. “Apa yang kau lakukan disini, hah?” Tanya Lian, merasa terusik dengan sosok Leon sekarang. Leon tersenyum malas, “tentu saja aku akan menculik pacarku.” Lian mencengkeram tangan Vanesha. Menahannya untuk tetap di sisinya. “Kurasa aku sudah berbaik hati meminjamkan pacarku padamu. Sekarang waktunya kau mengembalikannya padaku!” Suara Leon yang datar, menyiratkan sedikit ancaman. Tapi Lian tak sedikit pun gentar. Ia berdiri dan bersiap menghadapi sosok yang terlihat seperti bayangannya sendiri. Vanesha hanya menundukkan kepala lesu, sambil menatap nasi goreng dingin di hadapannya. Sepertinya malam ini akan terasa sangat panjang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD