Setelah mengenakan seragam pabrik, Calandra duduk terlebih dahulu untuk mengembalikan mood yang tiba-tiba hancur akibat kepala pabrik. Sungguh, si tua bangka kepala botak itu selalu saja menguji kesabaran Calandra. Tatapannya terlihat sok paling sinis dan kejam, padahal jika dibentak balik, nyalinya juga akan menciut. Andai Calandra bukan pekerja biasa, dia tidak akan berpikir dua kali untuk balas mengomeli pria itu. Sepertinya kepala pabrik memang memiliki dendam kesumat pada Calandra yang selalu mempunyai kelakuan minus di matanya.
"Kenapa lo, Cala?" Gadis berbadan kecil itu namanya Bella. Dia seumuran Calandra, rumahnya persis di depan jalan sana--pertigaan jalan sebelum menuju ke pabrik ini. Biasanya kalau masih pagi Calandra berangkat kerja, dia jalan kaki dari depan bersama Bella sambil mengobrol beberapa hal lucu. Bella memiliki selera humor yang bagus.
"Biasalah, sarapan mulut pagi-pagi. Selalu aja berurusan sama si badan besar kepala botak itu. Gedek gue, pengen balas pukul kepalanya sampai bunyi bug!"
Bukannya setuju, Bella malah memukul bahu Calandra sampai gadis itu mengaduh. "Sialann mulut lo ya, Cala. Bisa-bisanya ngatain kepala pabrik dengan sebutan kayak gitu. Tapi bener sih, dia gendut dan botak kepalanya." Lalu menaikkan bahu, terkikik tanpa dosa.
"Gue kesel sama omongan dia. Kejam banget. Awas aja nanti kalau gue udah kaya, gue beli pabrik ini. Gue balas perlakuan dia." Memutar bola mata malas. "Siapa tahu pemilik pabrik ini punya anak tunggal kaya raya kan? Nanti gue tikung jalur pelett."
"Niat nggak bener biasanya nggak bakal kesampaian. Kalau kata kepala pabrik jangan ngayal terlalu tinggi, miskin mah miskin aja."
"Emang kurang ajar si kepala botak. Udah bau tanah, masih aja nimbun dosa. Semena-mena sama orang, mentang-mentang dia lebih kaya dari kita. Nanti kalau gue banyak duit, gue beli mulutnya." Calandra mencebikkan bibir, kesal minta ampun.
"Bicarain 'kalau' mah susah, Cala. Namanya juga nggak pasti. Syukurin aja hidup begini, untung masih bisa kerja dan jajan meski sering pusing harus ngirit biar cukup semua keperluannya. Gue nanti nikah sama juragan kontrakan aja, biar tinggal ongkang-ongkang kaki, setiap bulan dapat duit." Ngomong-ngomong, Bella ini juga anak yatim piatu. Dia hanya tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Mereka tidak bayar kontrakan setiap bulan, tapi Bella harus menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli obat-obatan. Nenek Bella sering sakit, mungkin karena faktor usia.
Calandra dan Bella sama-sama pejuang rupiah untuk keluarga. Banyak yang harus mereka biayai, termasuk kebutuhan diri sendiri.
"Gue aminkan, siapa tahu kejadian besok kan?" Bella hanya tertawa, mengangguk dengan mengacungkan jempolnya.
"Memangnya lo ada masalah apa lagi sih? Kok bisa telat mulu berangkat kerja. Nyapu jalanan dulu?"
"Enggak, gue ada kerjaan baru. Lumayan besar uangnya, tapi sedikit menguji kesabaran dan nyali gue." Selain itu juga mempertaruhkan harga diri. Benar-benar gilaa!
"Kerja apaan? Kok nggak bilang-bilang gue. Lo nggak ambil kerja jalur sesat kan? Bisa aja lo nyopet, dulu lo pernah bilang mau nyopet. Bukan salah gue kalau nebak begini." Bella duduk di samping Calandra. Wajahnya sangat serius, dia juga selalu bersemangat jika membicarakan soal uang.
Calandra menghela napas. "Susah dijelasin."
"Lo bukan simpanan om-om kan?"
"Sugar daddy boleh sih. Lumayan gue bisa kaya mendadak."
"Cih, gegayaan lo. Disentil dikit doang pinggang lo udah ngamuk kayak orang kesurupan. Apalagi mau jadi simpanan sugar daddy yang harus ngangkangg setiap hari. Nggak yakin manusia kayak lo mau digrepe-grepe pria tua. Apalagi modelan kayak kepala pabrik!" Bella memelankan suaranya saat menyebut kepala pabrik. Dia sama kurang ajarnya dengan Calandra, pantas saja mereka berteman baik. Otak sedikit geser, mohon maklum.
"Lo pikir sugar daddy modelannya kayak kepala pabrik semua? Ada yang ganteng kali."
"Di luar negeri sih banyak, di sini jarang."
Calandra terkikik. "Gue bercanda. Kenapa lo serius amat dah?" Ekspresi Bella langsung datar, lalu mencubit paha Calandra. Gadis itu sudah berpikir yang tidak-tidak. Kalau memungkinkan, Bella juga mau mendaftarkan diri. Lumayan kan?
"Terus lo kerja apa? Ajak-ajak gue dong, gue juga perlu duit yang banyak. Nenek kadang kumat lagi penyakitnya, kemarin aja sempat di rawat inab. Biayanya banyak. Nggak mungkin gue open house untuk om-om gatal kurang belaiann dan kasih sayang kan?"
Ketika mereka bersama, obrolannya memang tidak jauh-jauh dari jalur sesat. Beginilah ketika dua perempuan mata duitan yang sedang stress bertemu. Banyak tekanan membuat otak mereka sedikit kurang sehat.
"Mau lo na-ni-na di hadapan Nenek?"
"Ya kagak, begoo! Bisa ditebas kepala gue."
Calandra tertawa lepas, hingga pintu ruang ganti diketuk oleh seseorang. "Ngapain kalian cekikikan di sini? Bukannya kerja!" Itu adalah kepala pabrik, wajahnya terlihat sangar.
"Baik, Pak." Calandra dan Bella menjawab kompak, lalu beranjak dari tempatnya.
"Kalian berdua selalu membuat ulah, pusing kepala saya. Awas saja kalau membuat kekacauan di sini, saya tidak segan memecat kalian."
Calandra dan Bella tidak ada yang menyahut, malah meledek kemarahan pria itu sembari melangkah menuju meja kerja masing-masing.
***
Aluna melangkah senang bersama Kenny di sebuah pusat perbelanjaan ibukota. Anak itu baru saja selesai bermain, pulangnya membawa boneka yang lumayan besar. "Papa, di mana ya rumah Nona Cala? Setelah ini kita cari rumah dia kan?" Anak itu mendongak, menatap Kenny yang jauh lebih tinggi darinya. Aluna mengerjap polos, senyum manisnya itu yang selalu membuat Kenny tidak tega untuk menolak permintaannya.
"Sayang, Jakarta itu luas. Di mana kita harus mencari rumah Nona Cala? Papa nggak tahu, nggak kenal dia juga. Kamu jangan terlalu senang berteman dengan orang asing, Papa nggak suka. Dia bisa saja bersikap jahat sama kamu. Orang manusianya aneh kayak gitu."
"Nona Cala baik, dia nolongin aku dan kucing."
"Tapi semua itu nggak gratis. Papa bayar dia."
"Papa banyak uang kan? Jangan pelit dong!" Aluna cemberut, mengerutkan kening mendengar Kenny perhitungan soal uang. Biasanya juga tidak begitu, apalagi kalau sama Faradilla. Apa pun yang wanita itu inginkan, Kenny tidak pernah menolak.
Kenny menggendong Aluna, membawa anak itu naik lift menuju area parkiran. Ini sudah menjelang malam, mereka harus pulang dan istirahat. "Bukannya Papa pelit, tapi kita nggak kenal sama Nona Cala itu. Bisa aja dia berencana menculik kamu. Nanti kamu dijual sama dia. Mau?"
"Papa jahat!"
"Kok malah ngatain Papa?"
"Nona Cala kan baik."
"Baik karena dia menginginkan sesuatu dari kita. Andai Papa nggak ngasih uang, bisa aja kamu dijadikan sandera sama dia."
"Aku nggak suka Tante Fara, aku sukanya Nona Cala."
Kenny menghela napas kasar, memijat pangkal hidungnya. "Jangan ngomong gitu di depan Tante Fara ya, nanti Papa berantem. Kalau Aluna suka Nona Cala, ya sudah nggak masalah. Papa harap mulai sekarang Aluna juga belajar menyuka Tante Fara. Dia baik dan penyayang. Jika waktunya sudah tiba, Papa akan menikahi Tante Fara. Dia yang akan menjadi Mama sambung kamu."
"Dia bakal ambil Papa kan dari Aluna?" Anak itu mengerjap sedih, bersandar lesu di tok samping pengenudi sambil memeluk boneka.
"Kata siapa kayak gitu? Tante Fara juga menyayangi Aluna. Dia nggak cuman menjadi istri Papa, tapi menjadi seorang Mama yang baik buat kamu."
Aluna menaikkan bahu, tidak berniat membalas apa pun mengenai obrolan satu ini. Dia sering merajuk jika Kenny mengatakan kalau Faradilla yang akan menjadi ibunya. Sejak pertama kali bertemu dan bertegur sapa, Aluna memang tidak cocok dengan Faradilla. Mungkin hal ini disebabkan karena pembawaan diri wanita itu. Faradilla sebenarnya memang kurang bersimpati dengan anak kecil. Dia cepat bosan melihat tingkah anak-anak, apalagi yang menurutnya tidak bisa diam dan susah dibilangi.
"Aluna mau beli apa buat nyemil, Sayang?"
"Nggak, aku nggak mau apa pun. Apa bisa kita ke toko roti tadi pagi? Kali aja di dekat sana rumah Nona Cala."
"Sayang, Papa capek dan Aluna juga harus istirahat. Kita sudah bermain lama banget, nanti kamu sakit."
"Aku mau latihan piano sama Nona Cala, dia bisa mengajariku. Aku mau temenan sama dia. Papa bisa mencari Nona Cala kan?"
Kenny menggaruk pipinya, mengusap rahang kasar. "Entah apa yang sudah dia katakan, otak kamu tercuci cepat sama wanita aneh itu." Kenny bergumam pelan, memijat pelipis mulai merasa nyut-nyutan kepalanya.
Sesampainya di toko roti yang kemarin, Kenny membawa Aluna berjalan di sekeliling sana. Anak itu sangat yakin jika Calandra tinggal di dekat sana. Minimal mereka bertemu Calandra lagi, lalu bertanya di mana kediaman gadis itu.
"Nggak ada Nona Cala di sini. Ayo kita pulang aja, udah mau malam. Kamu hari ini belum tidur siang, capek main."
"Tunggu dulu, nanti kita pulang, Nona Cala lewat sini."
"Kamu kayak dukun aja, sok tahu banget. Papa nggak suka ya kamu begini, susah dibilangi. Selain Nona Cala itu, Papa bisa carikan kamu guru piano yang lebih hebat. Nanti kita cari yang profesional langsung. Mau?"
Aluna cemberut, lalu melepaskan genggaman Kenny pada tangannya. Anak itu jalan sendirian sambil menghentakkan kakinya, merajuk lagi.
"Ayo pulang, besok baru kita cari Nona Cala lagi."
"Nggak mau!" Aluna merengek tidak mau diajak Kenny menuju mobil. Dia menangis sambil duduk di pinggiran jalan, memukul-mukul Kenny kesal sekali.
Kenny berdecak sebal. "Astaga anak ini. Siapa yang mengajari kamu mengamuk di tempat umum begini. Nggak boleh, ayo berdiri dulu." Aluna juga menolak digendong Kenny, membuat kesabaran pria itu semakin diuji. "Aluna, Papa bisa marah ya."
Aluna membuang muka, masih duduk lesehan di pinggiran jalan. Tidak peduli orang-orang melihat dia. Wajahnya memberengut masam. "Papa nakal!" katanya bergumam kecil sambil menahan tangis.
"Kamu yang nakal, Papa baik-baik aja dari tadi. Ayo pulang dulu, malu dilihat orang." Kenny memaksa Aluna, menggendongnya tanpa mau mengalah. "Papa cubit nanti ya?" Ucapan Kenny tegas, membuat Aluna semakin menangis ketakutan.
"Papa jahat!" Kakinya menendang-nendang Kenny, berusaha berontak dalam gendongan Kenny. "Nona Cala, tolong aku!" Aluna membulatkan mata saat melihat Calandra melangkah di trotoar jalan. Dia mengulurkan tangannya sebelum berhasil di masukkan ke dalam mobil. "Itu Nona Cala. Aku melihat dia!"
"Nggak ada Nona Cala. Kamu jangan berubah lagi. Papa nggak suka kamu keras kepala begini."
"Hai, Aluna." Calandra menyapa tanpa tahu dosa, mengulas senyum. Senang sekali dia bisa bertemu pundi-pundi rupiah lagi. Kalau setiap hari rutin begini, dia bisa kaya mendadak. Rasa lelah bekerja seharian langsung hilang, matanya menghijau saat menghirup aroma uang dari Aluna maupun Kenny. "Kenapa menangis?" tanyanya terdengar lembut.
Kenny menahan napas, menggertakkan gigi melihat Calandra dan wajah sok manisnya. "Kamu apa 'kan anak saya--"
"Nona Cala, bawa aku pulang!" Aluna turun lagi dari mobil, meminta digendong oleh Calandra. "Papa jahat, dia nakal!" Sekali lagi, Aluna memukul Kenny.
Calandra menghela napas, lalu menggendong Aluna dengan senang hati. "Udah nggak becus jaga anak, sekarang mau gagal juga jadi Papa yang baik, eh?" sindirnya terang-terangan. Dia berusaha menenangkan Aluna. Tidak masalah hidupnya direpotkan dengan anak kecil, yang penting dapat uang.
Kenny menganga, rahangnya mengetat seketika. "Jaga ucapan kamu. Saya sudah melakukan yang terbaik untuk dia."
"Papa enggak!" Aluna menggelengkan kepala cepat, memeluk leher Calandra dengan mengerjap polos. "Papa marah-marah terus."
"Anak kecil biasanya nggak pernah bohong."
"Cih, kamu hanya orang asing yang tiba-tiba menarik perhatian anak saya. Jangan besar kepala. Saya tahu kamu menginginkan sesuatu dari Aluna. Licik sekali. Turunkan dia sekarang, ini sudah petang. Dia harus pulang dan istirahat."
Calandra menurunkan Aluna, tapi anak itu masih menggenggam tangannya. "Pulang gih sama Papa kamu. Udah mau malam."
"Rumah Nona Cala di mana? Aku mau menginap."
"Aluna ...!" tegur Kenny dengan mata memicing. Dia tidak senang melihat Aluna seperti ini. "Pulang sekarang, besok saja mainnya."
"Atau Nona Cala aja yang menginap di rumahku ya? Kita main lilin malam ini. Aku punya banyak barbie juga. Ada yang rambut panjang dan pendek, mereka cantik-cantik."
Calandra berjongkok di hadapan Aluna, tersenyum. "Terima kasih tawarannya, tapi aku nggak bisa menginap di rumah kamu. Kamu punya hewan buas, seram."
"Hewan buas? Enggak kok, aku cuman punya kelinci. Dia lucu dan baik."
Kenny menyepak Calandra pelan, membuat gadis itu terkikik. Paham sekali yang Calandra sebut hewan buas adalah dirinya. "Kamu aja yang menginap. Mau nggak? Di rumahku ada Cilla juga, dia cantik kayak barbie."
Mata Aluna berbinar, langsung mengangguk tanpa meminta persetujuan dari Kenny. "Mau, mau!"
"Papa nggak setuju. Nggak usah macam-macam, kita nggak kenal sama keluarga mereka. Kamu bisa diculik dan dijual ke luar negeri. Seram, Papa aja takut."
"Haduh, pikirannya kuno banget!" Calandra menatap Kenny, geleng-geleng kepala. "Apa mau sekalian kamu juga menginap? Nanti kita berbagi tempat tidur." Tersenyum miring, menantang maut.
Kenny mendorong kening Calandra menggunakan telunjuknya, membuat gadis itu mengaduh. "Sintingg!" katanya terdengar malas berdebat. "Ayo, Aluna. Kita pulang!"
"No, no. Aku mau menginap di rumah Nona Cala."
"Alunaaa ...?"
"Aku mau menginap. Ayo Nona Cala, kita pergi." Aluna menarik tangan Calandra, mengajak pergi meninggalkan Kenny.
Saat Kenny akan mencegah, Calandra terpaksa buka suara. "Biarin dia menginap di rumahku, aku nggak bakal menjual dia. Apa kamu pikir muka aku gini kelihatan kayak tukang penculikan anak? Seenak jidatnya aja ngefitnah orang!" Lalu membawa Aluna pergi, anak itu terlihat senang sekali. Beberapa kali dia tersenyum lebar pada Calandra.
"Masuk ke mobil, saya antarkan. Itu anak saya, saya berhak menjamin keselamatan dia!"
"Cih, harusnya kamu memikirkan itu dari kemarin sebelum dia berkeliaran di tengah jalan dan hampir celaka. Papa nggak becus!"
"Aluna, ayo masuk mobil dulu. Papa harus tahu juga rumah Nona Cala di mana, nanti Papa antarkan pakaian dan beberapa mainan kamu." Jujur, Kenny takut meninggalkan Aluna begitu saja. Kalau beneran hilang, ke mana dia mencari Aluna dan Nona Cala itu. Tempat tinggalnya tidak tahu, nama aslinya juga tidak tahu.
"Nggak usah, lagian rumahku masuk gang kecil. Mobil nggak bisa masuk."
"Saya antar jalan kaki saja kalau begitu."
Calandra mengerucutkan bibirnya. "Ayo, Aluna. Papa kamu emang nyebelin ya?"
"Iya, Nona Cala."
"Saya mendengar kalian mengatai saya. Jangan kurang ajar mulut kamu ngajarin anak saya yang nggak bener, saya bisa melaporkan kamu ke pihak berwajib."
"Nona Cala habis dari mana?"
"Kerja."
"Oh. Nona Cala ada piano nggak di rumah? Aku mau diajarin main piano, sampai jago."
"Nggak punya. Aku nggak punya uang buat beli barang-barang mahal. Jadi nanti kalau sampai kontrakan kamu nggak betah sama suasana rumahnya, bisa pulang lagi sama Papa kamu."
Aluna masih melangkah beriringan dengan Calandra, mengerjap polos sambil memikirkan ucapannya. "Memangnya rumah Nona Cala kenapa? Bocor pas hujan ya?"
Calandra terkekeh. "Enggak juga sih. Kamu tahu dari mana kalau rumah bisa bocor? Rumah kamu bocor kah?"
"Rumah saya tahan hujan, badai, gempa, atau angin p****g beliung!" Kenny cepat menyahuti. Obrolan yang sangat tidak berfaedah, gumamnya dalam hati.
"Enggak, Nona Cala. Tapi parkiran sekolah atapnya bolong. Hujan meluncur dari sana. Kemarin aku mandi hujan sama temen. Seru, aku suka. Tapi Papa marah."
"Rumahku kecil, soalnya kontrakan murah. Cuman ada dua kamar. Nggak ada kolam renang, taman, atau halaman hijau untuk bermain."
"Kenapa nggak bikin aja? Aku suka berenang. Tanya Papa, aku hebat berenang dan menyelam." Aluna tersenyum lebar, senang bisa mengobrol banyak hal bersama Calandra. Sampai tidak terasa, akhirnya mereka sudah tiba di kontrakan kecil milik Calandra.
"Ini rumahku. Aku jamin anak ini akan selamat sampai besok. Jemput dia pagi-pagi sebelum aku berangkat kerja, kalau telat ... kujual anak kam---"
"Kan! Kamu memang tidak beres!" Kenny langsung menjauhkan Aluna dari Calandra.
Calandra terkikik geli. "Kamu percaya? Aduh, dangkal banget pikirannya. Gih pergi ke tempat spesialis, beli akal sehat di sana. Ngapain aku jual anak kamu, aku masih pengin hidup bahagia."
Kenny mengabaikan Calandra, sudah terlalu muak dengan drama yang dia hadapi sejak kemarin. Hidupnya terasa kacau saat Calandra tiba-tiba muncul. Dan sial sekali, bisa-bisanya Aluna tertarik dengan wanita itu. Apa menariknya? Wajahnya biasa saja, wangi seperti Faradilla pun tidak.
"Aluna, nanti kalau pengin pulang, telepon Papa ya." Memberikan ponselnya pada Aluna. "Kalau dia nakal, pukul saja kepalanya."
"Papa nggak boleh gitu."
"Pinter anak kecil daripada kamu. Ajaran sesat!" Calandra mencibir.
"Nanti malam Papa datang, bawain pakaian, makanan, dan selimut buat kamu."
"Nggak usah bawa mainan, aku mau bercerita aja sama Nona Cala sepanjang malam ini."
Kennya menatap Calandra beberapa saat, masih ragu dan tidak yakin meninggalkan anaknya pada orang asing. "Sini ktp kamu, saya pegang dulu. Kalau ada apa-apa, saya bisa melaporkan kamu."
"Nggak perlu."
"Perlu. Cepat berikan, kesabaran saya tinggal sedikit."
"Dasar pria nggak jelas!" Calandra tidak ingin membuat keributan di sana, dia langsung memberikan kartu identitasnya kepada Kenny. "Jangan sampai hilang. Kalau enggak, kamu denda sebesar nominal yang kusebutkan!"
"Mata duitan!"
"Ayo Aluna, kita masuk sekarang. Cilla pasti lagi masak, kita makan malam bersama."
"Oke. Dadah, Papa. Jangan jemput aku, aku nggak mau pulang malam ini." Melambaikan tangannya, lalu mengikuti Calandra masuk ke dalam kontrakannya yang terbilang kecil dan sempit. Mungkin hanya sebesar ruang tamu milik Kenny di kediaman Ryder.
Kenny hanya berdoa semoga Aluna tidak betah dan merengek meminta pulang.