Suasana pedesaan di pagi hari terasa sejuk membuat hati Gio kian tentram. Kini dia tengah berdiri di teras rumah menghirup udara segar dalam-dalam dan meregangkan otot yang terasa kaku. Kabut tebal menyelimuti desa kelahiran Siva hingga menyebabkan jarak pandang terbatas.
Rencananya Gio ingin lari pagi mengitari desa. Namun, Bapak mengatakan lebih baik di rumah saja karena cuaca sedang mendung. Beliau khawatir jika tamunya tersesat ketika pergi seorang diri.
Rumah kedua orang tua Siva penuh dengan barang-barang kiriman dari Jogja. Hingga si empunya rumah kebingungan membuka semua kardus-kardus yang entah berisi apa. Jangan tanya siapa yang berulah! Pastinya Gio.
“Nak Gio, ayo ngopi,” ajak Bapak yang baru keluar dari pintu samping. Ditangannya ada sebuah nampan yang berisi teko kecil dan dua buah gelas.
Dengan cekatan Gio mengambil nampan itu dan membawanya ke arah meja yang ada di teras rumah. “Biar makin asik ngopinya harus ada roti bakar, Pak,” ujarnya setelah menaruh nampan ke atas meja.
“Roti bakar kalau orang kota. Di desa kopi temannya singkong rebus. Sayang sekali singkongnya baru Bapak tanam.”
Gio tergelak mendengar jawaban Bapak. Meski terlihat tegas dan galak sebenarnya Bapak orang yang ramah dan lucu. “Sepertinya ada roti dan alat pemanggang di dalam salah satu kardus-kardus yang baru datang.”
“Orang kaya memang beda ya. Bawa oleh-olehnya satu truk.”
Entah sindiran atau pujian perkataan Bapak barusan membuat Gio merasa sungkan karena telah merepotkan keluarga Siva. “Hanya sedikit oleh-oleh untuk Pak Hasan dan Bu Hana.”
Bapak menuangkan kopi ke dalam gelas. Lalu, memberikannya pada Gio. “Minumlah selagi hangat,” ujar beliau dengan suara rendah namun menghanyutkan.
“Terima kasih, Pak.”
Bapak pun menganggukkan kepalanya. Menyeruput kopi hitam hangat yang selalu menemani paginya. Biasanya ada pisang goreng atau singkong rebus tapi pagi ini kedua makanan itu tidak ada karena belum ambil di kebun.
Sejak minggu lalu Bapak sibuk memanen padi, hingga tak sempat memanen singkong dan pisang yang sudah matang. Rencananya pagi ini akan ke kebun tapi cuaca masih sama seperti semalam. Meski tak hujan namun gemuruh masih terdengar saling bersahutan.
“Bagaimana hubunganmu dengan Siva?”
Mendapatkan pertanyaan dadakan tentang hubungannya dengan Siva membuat Gio menghela nafas panjang. “Saya mencintai, Putri Bapak,” jawabnya dengan jujur.
“Kalian berbeda.”
“Iya, Pak. Sejak awal saya sudah tahu jika kami berbeda.”
“Bapak harap Nak Gio tidak memutuskan pindah keyakinan hanya untuk menikahi Siva.”
“Salah satu diantara kami harus ada yang mengalah jika ingin bersatu. Jika, Bapak melarang saya untuk berpindah keyakinan sampai kapanpun saya tidak bisa menikahi Siva.”
“Nak Gio pikir setelah pindah keyakinan masalah akan selesai?” tanya Bapak dengan suara lembut.
Gio pun terdiam dan tidak bisa menjawab pertanyaan dari Bapak. Dia masih bingung dengan masalah perbedaan keyakinan antara dirinya dan gadis yang dicintainya.
“Pikirkan perasaan kedua orang tuamu, saudaramu dan keluarga besar mu. Mereka akan kecewa jika kamu merubah keyakinan yang sejak lahir kamu anut hanya demi menikahi seorang Perempuan desa seperti Siva.”
“Siva spesial dimata saya, Pak. Meski lahir dan besar di desa dia beda dari yang lainnya. Dia istimewa dan bagi saya Siva adalah sosok yang bisa mendampingi saya untuk membesarkan Naura.”
Bapak tersenyum, menatap Gio dengan tatapan teduhnya. “Nak Gio pikir lagi ya. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan! Karena penyesalan selalu datang diakhir.”
Gio menundukkan kepalanya. Sejak mengenal Siva, dia sudah memikirkan matang-matang tentang perasaannya. Namun, dia belum berani mengatakan keputusan yang akan diambilnya pada kedua orang tuanya.
Dia masih ragu. Takut jika kedua orang tuanya tak merestui hubungannya dengan Siva. Dan, menganggap gadis yang dicintainya telah merebutnya dari keluarganya.
“Saya mencintai, Siva, Pak,” gumamnya lirih dengan suara bergetar. Tak terasa air mata telah menetes dari kedua matanya.
Bapak menepuk punggung Gio yang mulai bergetar. “Kalian tidak akan bisa melangkah bersama, Nak. Tempat ibadah kalian saja beda arah.”
“Iya, Pak. Saya tahu dan maaf saya sudah bersikap egois dan mementingkan kebahagiaan saya sendiri.”
***
Siva sejak pagi sibuk membereskan kekacauan yang telah di buat oleh tamu yang tak di undangnya. Mulai dari menata bahan-bahan makanan, buah-buahan, makanan ringan, hingga pakaian untuk Bapak, Ibu dan untuknya.
Setelah semuanya selesai, dia baru mengurus Naura yang sejak pagi menempel terus dengannya. Tidak mau ditinggal meski hanya ke dapur. Takut jika Siva meninggalkannya lagi seperti dua hari yang lalu.
“Eyang Uti mau kemana?” tanya Naura yang sudah terlihat cantik dengan dress warna pink.
“Mau pergi ke masjid, Sayang.”
“Belum jam 12 kok ke masjid?”
“Eyang bukan mau sholat tapi mau menghadiri kajian.”
“Naura sering ikut Bunda datang ke kajian. Naura boleh ikut sama Eyang?”
Ibu melihat ke arah putrinya sebelum menjawab. Sebenarnya beliau suka jika ada anak kecil diajak ke masjid. Tapi, Naura berbeda. Beliau takut jika mengajaknya Papanya tidak setuju.
“Naura mau ikut Eyang uti?” tanya Siva dan si cantik langsung mengangguk. “Kalau gitu ambil hijab dulu ya.”
“Gak usah ganti baju, Bunda?”
“Baju Naura ‘kan sudah panjang tinggal pakai hijab saja,” jawab Siva.
“Bentar ya Uti, Naura ambil hijab dulu,” ujarnya dengan mengedipkan sebelah matanya.
Ibu tersenyum mendapatkan kedipan mata centil dari Naura. Sejak bangun tidur dia selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh putrinya. Mulai dari subuhan, dhuha hingga ingin menghadiri kajian di masjid.
Anehnya, Gio sama sekali tidak keberatan putrinya mengikuti kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga Siva. Justru mengingatkan sang putri agar belajar yang benar dan jangan sampai mengganggu.
“Eyang Uti, Naura sudah siap,” teriaknya setelah memakai hijab dan tas kecil yang berisi uang.
“Jalan kaki ya, Sayang. Masjidnya dekat dari rumah.”
“Siap, Uti.”
Selepas kepergian Ibu dan Naura, Siva pergi ke halaman belakang. Dia ingin bicara dengan Bapak mengenai hubungannya dengan Gio.
Siva yakin para tetangga pasti sudah membicarakan tentang keluarganya yang mengijinkan seorang pria asing menginap. Apalagi Gio dengan segala kemewahannya terlalu mencolok dan menjadi pusat perhatian para tetangganya.
“Nduk, cari siapa?”
“Eh, Bapak ngagetin. Siva cari Bapak.”
Bapak baru selesai memanen jahe yang sudah tua. Hasilnya lumayan banyak bisa untuk stok wedang jahe selama satu bulan. “Duduk dulu. Bapak mau cuci tangan.”
Kedua tangan Siva menyatu diatas pangkuannya, dia memainkan jemarinya karena gugup. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak dengan cepat meski belum mengatakan apapun pada Bapak.
Sejak kecil Siva diajarkan untuk bicara jujur. Belum pernah sekalipun dia berbohong pada kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, siang ini dia akan mengakui tentang perasaan pada Gio.
“Mau bicara apa? Serius sekali.”
“Sebelumnya Siva mau minta maaf pada Bapak dan Ibu karena telah berbohong.”
“Soal apa?”
“Perasaan Siva pada Om Gio.”
“Kamu mencintainya, Nduk?”
Setelah mengangguk, Siva langsung menundukkan kepalanya. Tidak sanggup melihat wajah kecewa dari Bapak. “Maaf, Pak.”
“Lupakan Nak Gio. Sibukkan dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat. Nak Gio memang baik tapi tembok yang menghalangi kalian terlalu tinggi. Sampai kapan pun kalian tidak akan bisa bersatu.”
Lagi-lagi Siva hanya bisa menganggukkan kepala dan mengatakan kata ‘Maaf’ pada Bapak. Rasa cintanya tumbuh seiring berjalannya waktu tanpa disengaja maupun direncana. Entah kapan datangnya rasa itu yang pasti Siva saat ini merasa nyaman ketika berada di dekat Papa dari Naura.
“Apa Naura sering datang ke rumah mu, Nduk?”
“Iya, Pak. Sekarang dia sekolah di Yayasan Abdila tempat Siva mengajar.”
“Bukannya dia ...” Bapak sengaja menggantung kalimatnya karena Siva sudah paham dengan maksudnya.
“Naura ngotot mau sekolah disana. Untuk sementara waktu dia sekolah disana sampai lulus TK.”
“Sejak umur berapa tahun dia mulai sekolah?”
“Awalnya, dia sekolah di PAUD milik teman Siva, Pak. Saat itu umurnya masih 3 tahun. Setelah kenal sama Siva dia pindah sekolah ke Yayasan Abdila.”
“Apa Bapak boleh minta satu hal, Nduk?”
“Tentu saja, Pak.”
“Sebenarnya Bapak sedikit keberatan jika kamu terlalu dekat dengan Naura. Bukan karena dia nakal atau cerewet. Tapi, kedekatan kalian akan membuatmu semakin dekat dengan Nak Gio. Itu yang membuat hati dan pikiran Bapak resah jika kamu berada di Jogja.”
Siva sudah menduga Bapak akan mengatakan hal itu. Namun, dia tidak tega menjauhi Naura. “Siva bingung, Pak,” jawabnya.
Keduanya terdiam sejenak ketika hujan tiba-tiba turun dengan deras. Tidak ada jemuran yang harus diangkat membuat mereka masih nyaman dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya, Bapak kembali mengeluarkan suara. “Apa Nak Gio pernah menyatakan cintanya padamu?”
“Belum pernah, Pak.”
Bapak menganggukkan kepala. Dalam hatinya, kagum dengan sikap yang diambil oleh Gio. Pria itu tidak egois namun mencoba menyelesaikan masalahnya tanpa melibatkan putrinya. Tanpa sepengetahuan Siva, Gio telah meminta restu pada Bapak meskipun di tolak.
***
Malam hari di kediaman rumah orang tua Siva mati listrik. Meski gelap tak membuat Naura menangis ketakutan. Si kecil nan cerewet itu justru tengah tertawa bahagia ketika diajak bermain bayangan tangan oleh Bapak.
“Eyang Akung, lihat Naura bisa buat burung,” ujarnya sambil menggerakkan tangannya.
“Pinternya, baru diajari sekali langsung bisa.”
“Hai, aku burung Naura. Nama kamu siapa?”
“Hai, juga, nama ku burung Eyang Tua.”
“Burung Eyang tua mau pergi kemana?”
“Mau ke ladang untuk mengambil singkong.”
“Singkong itu apa?” tanya Naura dengan kedua tangan masih bergerak-gerak seperti seekor burung yang sedang terbang.
“Singkong adalah makanan kesukaan Eyang Tua.”
Siva mengulum senyum melihat Bapak mau mengikuti permainan yang di buat oleh Naura. Dia sempat khawatir jika Bapak tidak menyukai kehadiran Naura di rumahnya. Ternyata si kecil pandai sekali mengambil hati kedua orang tuanya.
“Siv,” panggil Gio yang baru selesai mengangkat telpon.
“Eh, Om, sini duduk,” jawab Siva.
“Aku besok harus kembali ke Jogja. Bisa titip Naura apa tidak?”
“Om mau ke luar kota?” tanya Siva balik.
“Aku mau ke Singapura. Mungkin berangkat besok malam. Mami dan Papi berada di Jepang tidak bisa pulang cepat.”
“Biar Naura sama aku saja. Lagian aku juga sedang liburan jadi enggak ada kerjaan.”
“Bapak dan Ibu gimana?”
“Lihat tuh ...” ujar Siva sambil melihat ke arah Bapak dan Ibu yang sedang bermain dengan Naura.
Gio menghela nafas dalam lalu menyandarkan punggungnya pada kursi kayu yang dia duduki. “Gambaran kita setelah menikah nanti, Siv,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
“Om ...”
“Bapak dan Ibu akan pindah ke Jogja dan tinggal bersama kita. Beliau tidak akan kesepian karena ditemani oleh para cucunya.”
Siva mengalihkan pandangannya ke samping ketika air matanya mulai mengalir di kedua pipinya. Buru-buru menghapus air mata itu dengan ujung hijabnya agar tidak terlihat oleh Gio.
“Kamu menangis, Siv?”
“A-aku mau ke kamar sebentar,” ujarnya sebelum meninggalkan ruang keluarga yang gelap dan terasa dingin.
Gio memandang kepergian Siva dengan wajah sendu. Dalam hatinya merutuki kebodohannya yang telah membuat gadis polos itu menangis.