Yakin Mau Mengalah?

1131 Words
“Gak usah pamitan sama Naura, Om. Dia masih bobok soalnya semalam sempat terbangun gara-gara mimpi buruk.” “Iya, aku juga sudah memberitahunya jika aku akan kembali ke Jogja lebih dulu.” “Om hati-hati nyetirnya. Gak usah ngebut bawa mobilnya meski jalanan lenggang.” Gio menganggukkan kepala, berniat mendekati Siva namun diurungkannya. Hampir saja dia khilaf ingin memeluk gadis cantik di depannya. Bisa-bisa kena bogeman dari Bapak jika sampai itu terjadi. Semalam Gio telah membuat gadisnya menangis. Belum sempat meminta maaf karena Siva tidur lebih dulu dengan alasan capek setelah seharian membereskan kekacauan yang dibuatnya. Kini, Gio harus kembali ke Jogja karena penerbangan ke Singapura pukul 10 siang. Sebelum ke Bandara dia harus ke kantor lebih dulu untuk menandatangani beberapa berkas penting. Melihat tak ada pergerakan dari Gio, Siva berjalan lebih dulu dengan menarik koper kecil milik tamunya. Suasana hatinya masih diselimuti kabut kesedihan dan kini semakin suram saat melihat wajah lelah Gio. “Siv, aku ingin bicara sesuatu sebelum pulang,” ujar Gio yang berjalan di belakangnya. “Katanya buru-buru? Nanti telat kalau ngobrol dulu.” “Hanya sebentar tidak sampai lima menit.” “Kenapa enggak lewat pesan atau telepon saja?” tawar Siva lagi, mencoba peruntungan siapa tahu berhasil Namun, Gio tetap kekeuh ingin bicara dengan Siva sebelum meninggalkan Solo. Menurutnya masalah kecil jika tidak segera diselesaikan bisa berubah menjadi masalah besar. Akhirnya keduanya duduk di kursi kayu dekat tanaman teh-tehan yang menjadi pagar halaman rumah Siva. Jam menunjukkan pukul lima pagi, Bapak dan Ibu masih di masjid mengikuti kultum subuh. “Maaf, aku telah membuatmu sedih, Siv,” ucap Gio tanpa menatap ke arah Siva. “Semalam aku terbawa suasana hingga mengatakan hal yang tidak-tidak.” “Kenapa harus minta maaf? Aku tidak marah atau sedih. Semalam badanku rasanya lelah sekali jadi tidur lebih awal.” “Kamu tidak pandai berbohong, Siva.” “Aku tidak berbohong,” jawab Siva dengan suara lirih. Gio melirik sejenak gadis yang kini tengah menundukkan kepala sambil memainkan jari tangannya. Kemudian, mengambil sesuatu dari saku kemejanya, “Buat kamu,” ujarnya. “Ini apa?” tanya Siva ketika diberi dompet kartu. “Beberapa kartu untukmu. Ajak Ayah dan Ibu jalan-jalan ke kota. Belikan makanan, pakaian dan kendaraan.” Siva memberikan kembali dompet kecil itu pada Gio. “Terima kasih, Om. Tapi aku tidak membutuhkannya.” “Siv, anggap saja ini hadiah dariku karena telah merepotkan kalian sekeluarga. Mumpung kamu memiliki banyak waktu luang, apa salahnya mengajak Bapak dan Ibu jalan-jalan?” “Aku punya tabungan, Om.” “Iya, aku tahu. Toko Hijab Asyva sekarang sudah berkembang dengan pesat tapi kamu butuh rumah produksi yang lebih besar lagi. Kamu sedang mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan membuat tempat produksi yang baru. Benar ‘kan?” Siva menganggukkan kepalanya. Semua yang dikatakan oleh Gio memang benar. “Belilah barang yang dibutuhkan oleh Bapak dan Ibu. Utamakan barang yang memudahkan beliau dalam kehidupan sehari-hari agar kamu tidak khawatir lagi ketika berada di Jogja." “Harga motor roda tiga sangat mahal, Om,” ujar Siva. “Lagipula Bapak pasti menolak jika aku membelikan beliau barang yang harganya mahal.” “Bilang saja kamu dapat rezeki lebih. Memangnya kamu tidak kasihan beliau mengangkut hasil kebun menggunakan sepeda motornya yang sudah berusia tua? Motor itu juga sering mogok saat diberi muatan lebih.” Gio tak sengaja mendengar obrolan antara Ibu dan Bapak saat dia selesai mengangkat telepon dari sekretarisnya. Motornya mogok dan butuh kendaraan untuk mengangkut hasil panen dari sawah dan kebun. Jika, memakai sepeda membuat keduanya lelah karena jalan di desa Siva menanjak dan menurun. “Anggap saja ini bayaran sebagai pengasuh Naura,” ucap Gio, memberikan lagi dompet kecil miliknya pada Siva. “Buat apa diberi bayaran? Aku ikhlas mengasuh Naura.” Gio tersenyum melihat wajah manyun gadis cantik yang sering membuat tidurnya gak nyenyak. Rasanya ingin segera meminang Siva agar bisa bertemu setiap hari. Sayang sekali perjuangannya masih panjang. “Tunggu aku ya. Aku pastikan tidak akan lama karena takut kamu diambil orang.” “Apaan sih, Om?! Sembarangan kalau bicara. Memangnya aku ini barang bisa diambil sama orang.” “Kamu pasti tahu yang aku maksud, Siv,” suara Gio mulai berubah. Membuat jantung Siva berdetak cepat. “Kemarin aku sudah bicara dengan Bapak tapi belum berhasil. Nanti, aku akan mencari waktu untuk berkunjung ke sini lagi. Semoga saja Bapak mau merubah keputusannya.” “Om, keputusan Bapak sama seperti keputusanku.” “Salah satu diantara kita harus ada yang mengalah. Dan, aku yang akan mengikuti mu.” Rasa sesak mulai menghimpit d**a Siva. Setetes air mata mengalir dari pelupuk mata disusul dengan butiran air mata lainnya yang mengalir dengan deras. “Jangan pindah keyakinan karena kamu mencintaiku! Jika hatimu ingin dan tertarik maka cari tahu sendiri tentang agamaku. Jika tidak paham bertanyalah, aku akan menjelaskan” “Aku siap belajar setelah pindah nanti,” jawab Gio Siva menggelengkan kepala. “Cari tahu dulu, Om. Waktumu masih lama. Jangan gegabah dalam mengambil keputusan! Dan, aku pun tidak mau Om bertengkar dengan orang tua hanya demi aku.” “Mama dan Papa tidak keberatan saat tahu aku mulai dekat denganmu.” “Karena beliau tidak tahu Om memiliki rencana yang akan mengubah segalanya,” sahut Siva dengan cepat. “Siv, apa Mama dan Papa pernah mengatakan sesuatu padamu?” “Sudah waktunya Om pulang. Sebentar lagi Bapak dan Ibu pulang jadi aku harus segera menyiapkan sarapan.” Gio berdiri di depan Siva hingga gadis itu tidak bisa pergi ke mana-mana. “Siva jawab dulu pertanyaanku!” “Om, sudah ya hentikan perjuanganmu. Aku capek membahas tentang ini terus. Sampai kapan pun kita tidak akan bisa bersatu.” “Siva, harus berapa kali aku bilang jika aku yang akan berubah. Aku akan menerima segala konsekuensinya,” ucap Gio sambil mengacak-acak rambutnya. “Yakin Om mau mengalah? Yakin semua konsekuensi akan Om tanggung sendiri? Yakin aku dan keluargaku tidak akan terkena dampak?” Gio terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan beruntun dari Siva. Memang keputusannya sudah bulat namun dia belum mengatakannya pada kedua orang tuanya. Itu lah yang menjadi kesalahan terbesarnya. “Aku hanya seorang gadis desa yang tidak memiliki apa-apa. Kedua orang tua ku pun seorang petani yang hanya memiliki sepetak tanah untuk bertahan hidup. Bagaimana bisa kami melawan keluarga kaya yang memiliki harta berlimpah?” “Papa dan Mama tidak pernah membeda-bedakan manusia. Mereka bukan orang seperti itu, Siv. Bukankah kamu tahu sendiri seperti apa orang tuaku?” “Pulanglah, Om,” jawab Siva dengan tubuh lemas. Tenaganya seolah terkuras sejak kedatangan Gio ke rumahnya. “Aku akan menjaga Naura dengan baik.” Gio merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Siva tentang kedua orang tuanya. Mungkinkah Papa dan Mama-nya diam-diam menemui Siva? Meminta gadis itu untuk menjauhinya. “Aarrgghh!” teriak Gio sambil menjambak rambutnya. “Kenapa malah jadi rumit begini?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD