Kutatap matanya setelah mengumpulkan segenap kekuatan yang aku punya.
"Jadi benar kau menghindari berbicara akrab denganku, karena kau takut jatuh cinta padaku?" tanya Mas Bimo.
Matanya memandangku dengan penuh selidik, seakan ia ingin menembus hatiku lewat mataku, ingin menembus dahiku agar bisa melihat apa yang kupikirkan dikepalaku.
"Mencegah lebih baik dari mengobati, Mas," jawabku akhirnya, karena aku merasa tak bisa lagi menghindari pertanyaannya.
"Hhhh ... baiklah, Bella, kamu benar, mencegah lebih baik dari mengobati. Selamat malam, Bella, selamat bermimpi indah, dan berharaplah mimpi indahmu akan jadi kenyataan suatu saat nanti." Mas Bimo berbalik, lalu melangkah pergi, meninggalkan aku yang masih berusaha mengatur debaran hatiku.
Mas Bimo.
Pertama bertemu saat aku menabrak mobilnya kesan yang ditinggalkannya, dia sedikit kasar saat marah waktu itu.
Kedua kali bertemu pagi tadi, dia menjungkir balikan semua penilaianku saat pertama bertemu.
*
Saat sarapan tak ada yang bersuara satupun diantara kami, aku sarapan di meja dapur, karena Mas Bimo tidak memintaku untuk ikut duduk di meja makan bersamanya.
"Bella, selesai sarapan ganti bajumu, aku ingin kau ikut denganku." Mas Bimo berdiri di ambang pintu dapur.
"Tapi Mas saya belum menyetrika pakaian Mas."
"Itu bisa kau kerjakan nanti, sekarang cepatlah bersiap, ingat jangan pakai daster!" Mas Bimo mengacungkan jari telunjuknya sebagai tanda peringatan.
Aku mengangguk, Mas Bimo berlalu dari dapur, mungkin masuk ke kamarnya.
Aku bergegas membereskan bekas sarapan kami, lalu masuk ke kamar mengganti bajuku.
Rok lebar warna coklat, dengan atasan coklat muda motif bunga kecil.
Rambutku aku kepang satu, bedak tipis kupoleskan diwajah.
Aku melangkah ke luar kamar, Mas Bimo berdiri membelakangiku di ruang tamu, dia tengah berbicara diponselnya.
Aku menunggunya selesai bicara baru mendekatinya.
"Aku sudah siap Mas."
Mas Bimo berbalik, menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambutku.
"Kita berangkat" katanya.
Kuikuti langkahnya menuju mobil, dia membukakan pintu mobil untukku.
Di letakan telapak tangannya diatas kepalaku, seakan ia takut kepalaku terantuk saat masuk ke dalam mobil.
Hhhh ... sikapnya membuatku tersanjung, tapi aku tidak boleh terlena.
Hanya kesunyian yang ada diantara kami.
Ternyata Mas Bimo membawaku ke rumah sakit untuk memeriksakan kesehatanku.
Itu dilakukan sebelum aku memulai program diet katanya.
Aku tidak tahu apa alasan dia begitu ngotot ingin aku diet.
"Mas tidak perlu melakukan ini," kataku saat kami di mobil menuju pulang ke rumah.
"Jujur aku sudah banyak memotivasi orang agar bisa menurunkan berat badan mereka, Bella, tapi aku gagal menggugah hati orang tua dan saudaraku sendiri."
"Tapi gemuk itu bukan suatu dosa, Mas."
"Apa aku bilang gemuk itu dosa? Tidak kan? Tapi aku selalu merasa bahagia, bila orang yang kubantu diet, mereka bisa berhasil, dan itu juga membuat mereka merasa bahagia. Kau ingat penyanyi dangdut yang kulihat ditelevisi tadi malam?" tanya Mas Bimo seraya matanya menatap kearahku.
"Ya," sahutku.
"Dulu dia juga gemuk, dan aku yang membantunya agar sukses diet, dia teman SMA ku."
"Oooh ... aku pikir dia wanita yang membuat Mas ingin diet," gumamku tanpa sadar terlepas begitu saja dari mulutku.
Kukatupkan rapat mulut, ada rasa malu menyergap hatiku.
Mas Bimo mengernyitkan kening seraya menatapku, mata kami bertemu sesaat, tapi kemudian dia mengalihkan pandangannya kembali kejalan.
"Kenapa, Bella, mulai tertarik dengan hidupku?" tanyanya dengan suara mengejek kukira.
"Tidak, aku hanya melihat tadi malam Mas Bimo memandangnya tak berkedip," elakku.
"Hahahaha, aku memandangnya tak berkedip, aku kira orang yang mengenalnya sejak dulupun pasti akan memandangnya tak berkedip, karena perubahan luar biasa yang terjadi pada dirinya," jawab Mas Bimo.
Aku terdiam, malas melanjutkan percakapan.
Tiba di rumah kukira dia tidak akan ikut turun, tapi ternyata dia ikut turun juga.
Mas Bimo masuk ke kamarnya, ke luar lagi dengan gulungan kertas, mungkin poster ditangannya.
"Pasang di dinding kamarmu, dia tujuan dietmu, Bella, kau punya waktu empat bulan untuk merubah penampilanmu." Mas Bimo menyerahkan gulungan poster itu ke tanganku.
Kuterima, lalu kubuka, dan kubentangkan diantara dua tanganku.
Foto Mas Ervan!
Kenapa Mas Bimo berpikir kalau aku menyukai Mas Ervan?
Apakah ada sikapku yang menunjukan demikian?.
"Pasang di dinding kamarmu ya, dia motivasi dietmu, aku ke kantor dulu, Assalamualaikum, Bella," pamitnya dengan senyum manis yang membuat lututku terasa bergetar.
Uuuhhh ... bisa diabetes aku kalau tiap hari disuguhi senyum semanis itu Massss, batinku.
*
4 bulan kemudian
Sudah empat bulan.
Sukseskah dietku menurut kalian?
Tentu saja sukses dengan penyemangat senyum semanis madunya Mas Bimo.
Aku tak perlu memajang poster Mas Ervan di dinding kamar sebagai penyemangatku.
Karena Mas Bimo sangat keras terhadapku dalam hal program diet ini.
Sekarang berat badanku sudah 60 kg, masih gemuk sih kalau dilihat tinggiku yang cuma 160 cm.
Tapi kata Mas Bimo cukuplah kalau aku sudah lelah, dia menyebutku my semok, lucukan dia.
Karena dietku dibarengi dengan olahraga yang teratur, jadi tidak ada istilah kulit yang kendor, dan bergelambir, tubuhku jadi padat, dan berisi.
Semua orang yang mengenalku sejak lama, jadi terkejut dengan penampilanku sekarang.
Apa lagi Mas Bimo tidak pelit sama sekali, dia yang membelikan aku pakaian, dari ujung kaki sampai ujung rambutku.
Bahkan dia membawaku ke salon untuk perawatan.
Aku pernah bertanya, kenapa dia melakukan itu, Mas Bimo bilang jika ingin berbuat baik, dan merubah penampilan seseorang menjadi lebih baik jangan setengah-setengah, tapi harus sepenuh hati, dan menyangkut semua lini. Namun Mas Bimo juga berpesan, hatiku harus tetap seperti dulu, jangan pernah tinggi hati, tetap jadi Bella yang rendah hati tapi jangan pernah rendah diri, itu pesannya.
Pagi ini sebelum ke kantor, sesudah sarapan, Mas Bimo berdiri di sebelahku yang tengah mencuci piring bekas sarapan.
"Bella!"
"Ya, Mas." Aku menengok ke arahnya. Lalu kembali fokus ke pekerjaanku.
"Nanti malam aku mau pergi dengan temanku, kamu juga boleh pergi dengan Ervan. Nanti malam dia akan menjemputmu jam delapan, dandan yang oke ya, jangan bikin malu aku," kata Mas Bimo. Dia bicara sangat dekat denganku, sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang segar.
"Ehmm ... boleh saya pulang ke rumah orang tua saya sebentar, Mas. Nanti sore saya balik lagi ke sini, itu kalau Mas ijinkan." Aku memutar tubuhku, tanpa kusadari kepalaku tepat berada di depan dadanya.
Aku mendongak dengan spontan menatap wajahnya, saat kurasakan hembusan nafasnya yang terdengar berat.
Aku tidak tahu siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah merasa sesuatu merangsek masuk di antara kedua bibirku.
Mataku terbuka lebar, kulihat mata Mas Bimo terpejam rapat.
Satu tangannya kurasakan memeluk erat pinggangku, sedang yang satunya menekan tengkukku.
Bibirnya terasa melumat bibirku dengan lembut, tapi terasa penuh tekanan, lidahnya kurasakan seperti menjilati semua benda di dalam mulutku, sebelum lidahnya membelit lidahku kuat, air liurnya kurasakan bercampur dengan air liurku.
Aku merasa kedua lututku lemas, ingin berontak tapi tak bisa, bibir Mas Bimo kurasakan seperti memijit-mijit bibirku dengan kecupannya yang bahkan terdengar nyaring ditelingaku.
Ting tong!
Ting tong!
Bel di pintu depan berbunyi.
Mas Bimo melepaskanku dengan cepat. Cepat pula aku memutar tubuh membelakanginya, kuseka bibirku yang terasa basah, dan terasa bengkak dengan punggung tanganku.
"Maafkan aku, Bella, maafkan aku. Sungguh aku tidak bermaksud melecehkanmu. Sungguh semua diluar kendaliku. Aku mohon maafkan aku, harusnya ini tidak terjadi! Bisakah kita lupakan saja kejadian tadi? Bisakah semuanya tetap seperti hari kemarin?"
Tanya Mas Bimo beruntun.
"Lupakan saja, Mas, ini kesalahanku juga, bukan cuma kesalahan Mas semata," jawabku.
Aku beranjak ke luar dapur untuk membuka pintu, karena bel tidak berhenti berbunyi.
Kubuka pintu depan pelan.
Seorang wanita cantik berdiri dihadapanku.
"Mbak Rara Ardina" gumamku.
"Haay, kau pasti Bella," jawabnya.
Dia, Rara Ardina, penyanyi dangdut yang tengah naik daun ini tahu namaku.
Sungguh suatu kejutan bagiku.
"Selamat ya, Bella dietmu sukses, Bimo bilang ...."
"Rara, masuk, Ra. Bella buatkan minum untuk Rara." Mas Bimo memotong kalimat Mbak Rara, padahal aku sangat penasaran apa yang dikatakan Mas Bimo kepadanya.
"Bella!" panggilan Mas Bimo membuatku sadar dari lamunanku.
"Eeh ya, Mas, Mbak Rara mau minum apa ya?" tanyaku.
"Enggak usah, Bel, terima kasih. Kita langsung pergi saja ya, Bim!" kata Mbak Rara.
"Oke, aku ambil tas, dan kunci mobil dulu ya." Mas Bimo masuk ke kamarnya.
"Bimo itu orang baik, Bella, jangan kecewakan dia ya." Mbak Rara bicara sangat pelan di dekatku.
Jujur aku tidak mengerti, apa arti ucapannya tadi, apa makna dari 'jangan kecewakan dia' yang dikatakan Mbak Rara.
Sebelum aku sempat bertanya, Mas Bimo sudah ke luar dari dalam kamarnya.
"Bella, jam delapan nanti malam Ervan akan jemput kamu, jangan pulang terlalu malam ya, dan tidak usah menungguku, karena aku tidak pulang malam ini." Mas Bimo bicara sambil menatap ke arahku, tapi sungguh aku terlalu sibuk menahan rasa sakit di hatiku, sehingga tak berani balas menatapnya.
"Ya, Mas," jawabku dengan kepala mengangguk.
"Aku pergi dulu, Assalamuallaikum," pamit Mas Bimo.
"Waalaiku msalam," jawabku pelan.
"Semoga kita bisa ketemu lagi ya Bel. Assalamuallaikum," pamit Mbak Rara sopan.
"Waalaikum salam," jawabku pelan.
Mereka masuk ke dalam mobil Mas Bimo, mobil yang tadi membawa Mbak Rara mengikuti di belakang mobil mereka.
Kututup pintu, kusandarkan punggungku di balik pintu.
Air mataku mengalir di pipi, ini tangis pertamaku sejak aku tinggal di sini.
Selama ini Mas Bimo memperlakukan aku seakan aku bukan asisten rumah tangganya, dia sangat baik, sangat baik hingga aku terlena dengan kebaikannya, dan menyodorkan hatiku pada cinta.
Cinta yang aku tahu pasti akan membuat hatiku terluka.
Aku sadar betul siapa aku, dan siapa Mas Bimo.
Tapi saat cinta datang, siapa yang bisa mencegahnya, siapa yang tahu cinta akan berlabuh di mana.
Aku hanya bisa memendam cinta ini, dan berusaha mengikisnya sedikit demi sedikit.
Namun, bukannya terkikis, justru cinta ini semakin kuat, karena perhatian yang Mas Bimo berikan kepadaku selama empat bulan ini.
Aku tahu ini pasti akan terjadi.
Aku tahu jatuh cinta padanya pasti akan membuat hatiku terluka, tapi aku tak bisa menghindarinya.