BAB. 5 BIG B (ENDING)

2240 Words
Lepas Ashar kujalankan pelan sepeda motor untuk kembali kerumah Mas Bimo, bukan sepeda motorku sih sebenarnya, tapi sepeda motor yang dibelikan Mas Bimo untuk aktifitasku di luar rumah. Tahukan maksud aktifitas luar rumah bagi asisten rumah tangga seperti aku? Ke pasar adalah aktifitas luar rumahku, dan dia sendiri yang mengajariku menaiki sepeda motor matic ini. Dia juga mengijinkan aku memakainya untuk pulang ke rumah orang tuaku. Dia baik sekali, tidak salah kalau aku jatuh cinta padanya. Hari ini aku pulang untuk mengantarkan baju yang dibelikan Mas Bimo untuk kedua orang tuaku juga kedua adikku. Cuaca yang sudah mendung berubah jadi hujan deras. Aku yang lupa membawa jas hujan, terpaksa berteduh di emperan sebuah toko bersama beberapa orang lainnya. Pandangan aku arahkan ke toko di sampingku, di mana ada sebuah butik yang cukup terkenal di kotaku. Kutajamkan pandangan, saat dua orang ke luar dari dalam butik, menembus hujan dengan menggunakan payung, menuju mobil yang terparkir di halaman butik. Aku mengenali mobil itu milik siapa, dan mengenali dua orang yang masuk ke dalam mobil. Mereka adalah Mas Bimo, dan Mbak Rara Hatiku terasa teriris, perih, pedih, sakit dengan tiba-tiba. Aku naik ke sepeda motor, kupacu kencang menembus derasnya hujan. Bukan hanya air hujan yang ada di pipiku, tapi juga air mata, membuat pandanganku jadi kabur. Aku tiba di depan pagar rumah Mas Bimo, pak Satpam membukakan pagar. "Kok nggak pakai jas hujan, Mbak Bella?" tanyanya, seraya membukakan pintu pagar dengan payung terbuka di tangannya. "Jas hujannya ketinggalan, Pak. Saya bisa minta tolong nggak, Pak?" tanyaku. "Bisa, Mbak, minta tolong apa ya?" tanya beliau. "Kalau ada teman Mas Bimo yang namanya Mas Ervan datang cari saya, tolong katakan, saya belum pulang dari rumah orang tua saya. Saya ngerasa kurang enak badan karena kehujanan." "Oh iya, Mbak, bisa," jawab Pak Satpam. Aku masuk lewat pintu belakang, karena pakaianku yang basah kuyub. Setelah mandi, aku membersihkan lantai yang basah karena terkena tetesan hujan dari tubuhku. Ponsel aku non aktifkan, aku tidak ingin menerima telpon dari siapapun, aku ingin segera tidur setelah salat maghrib, dan berharap terbangun saat Isya nanti. Aku berbaring di atas ranjang, kutarik selimut sampai dagu, terasa gemetar tubuhku. Entah sudah berapa lama aku tidur, ketika aku bermimpi mendengar suara Mas Bimo memanggil namaku. Aku bermimpi ia meletakan punggung tangannya di dahi, dan leherku, lalu aku rasakan kecupan bibir Mas Bimo mendarat di keningku, sebelum kurasakan sesuatu yang dingin ditempelkan di atas dahiku. Sungguh ini mimpi yang begitu indah, aku tak ingin membuka mata, tak ingin terbangun dari mimpi indah. Biarlah hanya dalam mimpi kurasakan semua ini. "Bella!Bella, bangun sarapan, Bel." Aku mendengar suara Mas Bimo memanggilku, dan kurasakan tepukan lembut di pipiku. Kubuka mata pelan, aku tergeragap bangun. Kepalaku terasa sakit, kupijit pelan keningku. Mas Bimo kulihat duduk di tepi tempat tidur. "Enggak usah bangun kalau masih pusing, biar aku suapin sarapannya, habis sarapan minum obat ya," kata Mas Bimo lembut. Ya ampun ... meleleh aku kalau begini. "Banyak yang harus kita bicarakan nanti, sekarang kamu harus sehat dulu, Bella." "Aku mau gosok gigi dulu, Mas," kataku seraya turun dari tempat tidur. Mas Bimo memegang lenganku, ingin menuntunku ke kamar mandi. "Aku bisa sendiri, Mas." Aku tepiskan tangannya sedikit kasar. "Ada apa, Bella, kau tidak seperti biasanya?" tanya Mas Bimo, ini pertama kalinya aku bersikap sedikit kasar padanya. Aku hanya tidak ingin perhatiannya akan membuat cintaku bertambah besar, dan itu pasti akan mengoyak lukaku semakin besar pula. Tanganku berpegangan pada sisi meja di dekat ranjang. "Aku tidak apa-apa, Mas bisa tinggalkan aku, aku akan bekerja seperti biasa," jawabku. Jujur pandanganku serasa berputar, kepalaku, dan tubuhku sama sakitnya, tapi hatiku lebih terasa sakit pastinya, tapi aku tidak akan cengeng, aku akan tetap berusaha tegar di hadapannya. "Apa yang ingin kau tunjukan, Bella, aku tahu kau sedang sakit, kau tak perlu bekerja, aku bisa libur ke kantor untuk mengurusmu." Suara Mas Bimo sangat lembut di telingaku. "Tidak perlu, Mas, aku baik-baik saja." Aku mencoba melangkah, tapi sayangnya tubuhku limbung, dan kalau Mas Bimo tidak meraih tubuhku, bisa dipastikan aku akan jatuh ke atas lantai. "Jangan keras kepala, Bella, ada apa sebenarnya denganmu, kau tahu aku hampir gila karena mencarimu tadi malam." Suara Mas Bimo terdengar kesal. Mas Bimo membantuku duduk lagi di tepi ranjang. "Kamu matikan ponselmu tadi malam, kenapa? Kamu minta pak Satpam untuk berbohong pada Ervan, kenapa? Ada apa denganmu, Bella?" tanya Mas Bimo beruntun. Aku hanya diam. "Tadi malam Ervan menelponku, mengatakan kamu tidak ada di rumah. Aku menelpon orang tuamu, menanyakan apa kau ada di sana, ibumu bilang kamu sudah pulang." Aku hanya diam, terdengar Mas Bimo menghela nafas. "Kamu tidak tahukan, kalau aku langsung membatalkan semua acaraku, untuk mencarimu. Kamu tidak tahukan, aku sangat takut terjadi sesuatu padamu. Kamu tidak tahukan, aku sangat mencemaskanmu. Kamu tidak tahukan, berapa kali aku menyusuri jalanan dari rumahmu ke sini untuk mencarimu, karena kupikir mungkin saja kau berteduh karena hujan. Kamu tidak tahukan, betapa senangnya aku saat mendengar dari mulut Pak Satpam, kalau kau ada di rumah, saat aku pulang setelah pencarianku tak membuahkan hasil. Kamu tidak tahukan, betapa cemasnya aku saat mendengar kau mengigau, dan merasakan panasnya keningmu!" Suara Mas Bimo terdengar semakin tinggi nadanya, dia tengah marah. "Mas tidak perlu mencemaskan aku, Mas tidak perlu terlalu memperhatikan aku. Mas tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap diriku, aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang baik, dan buruk ,Mas" jawabku lirih. "Kenapa aku tidak boleh memperhatikanmu, tidak boleh mencemaskanmu, apa kau takut Ervan cemburu kalau aku melakukan itu?" tanyanya, suaranya terdengar sangat tajam. "Tolong berhenti berpikir kalau aku mencintai Mas Ervan, aku tidak pernah jatuh cinta padanya!" jawabku dengan mata memandang marah ke wajah Mas Bimo. "Jadi itu alasanmu tidak memasang poster yang kuberikan padamu, Bella?" "Aku tidak perlu poster itu untuk dietku," jawabku cepat. "Apa ada pria lain di hatimu?" tanya Mas Bimo pelan, saking pelannya, entah kenapa aku merasa seakan hatinya terluka, dengan pertanyaan yang dilontarkan mulutnya sendiri. Aku hanya diam. "Tolong jawab pertanyaanku, Bella," pintanya. Aku tetap diam. "Tolong jawab pertanyaanku, Bella, agar aku bisa mengatur langkah hidupku selanjutnya." Mas Bimo menatap wajahku. Mata kami bertemu, kubuang pandanganku. "Apa hubungannya aku dengan langkah hidupmu, Mas?" "Sangat erat hubungannya, Bella," jawabnya pelan. Kupandang wajahnya. Mata kami bertemu. "Aku tidak mengerti maksud Mas." Mas Bimo menarik nafas berat, dihembuskannya pelan lewat mulutnya. "Kamu pasti berpikir, aku orang yang sangat percaya diri, iya kan, Bella?" Aku mengangguk. Aku rasa tidak ada yang membuatnya tidak percaya diri. Dia sempurna. "Tapi kamu salah, aku kehilangan kepercayaan diriku, saat aku mulai merasakan kalau aku sudah jatuh cinta padamu, Bella." Suara Mas Bimo sangat pelan, tapi membuat tubuhku, hatiku, jantungku terasa bergetar. Kutatap matanya, berusaha menengok isi hatinya. Mataku mengerjap tak percaya. "Aku mencintaimu, Bella, aku jatuh cinta padamu, aku sudah berusaha menolak rasa itu, karena kulihat pancaran terpesona pada matamu, saat kamu memandang Ervan waktu pertama kali kalian bertemu, tapi cinta itu tak mau pergi, ia tumbuh, dan mengakar kuat mencengkram hatiku." Mas Bimo diam sesaat. Ditariknya lagi nafas panjang. "Sekarang kau sudah tahu perasaanku padamu, Bella." "Lalu Mbak Rara?" "Kami hanya berteman, Bella, dia itu calon istri sepupuku." Jawaban Mas Bimo barusan sungguh melegakan hatiku. "Mas tidak ingin tahu perasaanku?" tanyaku seraya menatap wajahnya. Mas Bimo balas menatapku. "Aku terlalu pengecut untuk bertanya, Bella, aku takut jawabanmu tak sesuai harapan." "Bukannya Mas Bimo yang mengatakan, jatuh cinta itu seperti naik sepeda, jadi jangan takut jatuh cinta Bella, begitukan?" Mas Bimo tersenyum. "Bicara memang mudah ya kan?" katanya pelan. "Apa di hati Mas masih ada cinta untukku, atau Mas sudah berhasil mengusirnya pergi?" "Aku mencintaimu, Bella, semakin kuat aku berusaha mengusirnya, semakin kuat cinta itu mencengkram hatiku." "Aku tidak menyangka Mas Bimo yang sangat luar biasa, ternyata takut menyatakan cinta," cibirku. "Jangan mengejekku, Bella, cuma denganmu aku begitu." "Owhhh ... jadi banyak wanita yang sudah Mas suguhi cinta ya?" "Aku tidak munafik, Bella, mereka yang datang padaku, mereka yang mengundang agar aku perhatikan, agar aku cintai, dan aku orang yang tidak tega melihat wanita menderita, apa lagi penderitaannya karena aku." "Owhh ... berarti kalau kita bersama, lantas datang wanita lain merengek meminta cinta Mas, apa Mas akan membagi cinta Mas?" "Tentu saja tidak, aku akan setia pada cintaku padamu." "Yakin Mas bisa setia?" "Tentu saja aku yakin." "Kalau Mas yakin bisa setia, kenapa Mas tidak yakin pada diri Mas sendiri untuk mengatakan cinta padaku?" "Itu hal berbeda, Bella, karena aku merasa cintamu untuk Ervan." "Ternyata Mas orang yang suka mengambil kesimpulan tanpa bertanya, tidak kusangka sama sekali." "Sekali lagi, itu hanya untuk urusan ini, tidak dengan urusan lainnya." "Lalu kenapa Mas belum bertanya juga bagaimana perasaanku." Mas Bimo menatap tepat di mataku. "Bella Maharani, aku mencintaimu, katakan apa kau mencintaiku juga?" . Aku membalas tatapannya. "Hhhh ... tidak ada romantis-romantisnya," gumamku sambil membuang pandangan dari dirinya. "Eeehh ... kamu ingin aku seperti apa?" "Tahu pikir saja sendiri, sekarang aku mau mandi, aku merasa cukup kuat untuk bekerja, Mas pergi saja ke kantor!" aku berdiri dari dudukku. "Bella, kamu belum menjawab pertanyaanku!" Suara Mas Bimo bernada protes. "Aku nggak akan jawab, kalau tanyanya begitu!" Kututup, dan kunci pintu kamar mandi. Kudengar Mas Bimo melangkah ke luar kamar, lalu menutup pintu kamarku. Aku sengaja menggantung jawabanku, aku ingin tahu seberapa sabar dia menunggu, seberapa kuat dia berusaha. Sekali-sekali boleh dong, upik abu bertingkah jual mahal, saat pangeran tampan menyatakan cinta. Kalau dia menyerah, itu tandanya dia tak pantas diterima. Jika dia berusaha, itu artinya dia memang benar-benar mau berjuang demi cintanya. * Malam ini Mas Bimo mengajakku jalan-jalan di mall miliknya. Mall yang besar, megah dan sangat ramai. Kami nonton berdua, mau tahu nonton apa?. Film India DILWALE. Aku suka pakai banget dengan Shahruk khan, dan Kajol, chemistry mereka luar biasa, aku sudah menonton semua film yang bintangnya mereka berdua. Dari BAAZIGAR, KARAN ARJUN, DILWALE DULHAM HUM LE JAYENGE, KUCH KUCH HOTA HAI, KABHI KUSHI KABHI GHAM, sampai MY NAME IS KHAN. Meski jujur aku cuma bisa nonton lewat dvd bajakan. Usai nonton kami makam malam. Setelah itu kami memutuskan untuk pulang. Sampai satu minggu setelah pernyataan cintanya, Mas Bimo belum mengulangi lagi pertanyaannya. Tapi ia selalu bersikap semanis senyumannya. Aku, dan Mas Bimo turun lewat eskalator, ada yang terasa aneh, tiba-tiba mall megah ini terasa sunyi, hanya ada kami berdua di atas eskalator. Tapi, di lantai dasar kulihat dipenuhi orang-orang berpakaian sama, kaos pink, dan celana putih, masing-masing memegang setangkai mawar warna-warni. Tiba-tiba kumpulan orang itu bergerak menari dengan formasi bentuk hati. Kemudian mereka mengelilingi kami yang sudah sampai di lantai dasar, aku kehilangan Mas Bimo, yang entah dibawa kemana oleh sebagian penari itu. Sesaat kemudian, para penari yang kini mengelilingiku berlutut dengan satu kaki, seraya menyodorkan bunga yang mereka genggam dengan kedua tangan mereka ke arahku. Suasana terasa sunyi. Tiba-tiba aku mendengar bait lagu JANJI SUCI dinyanyikan dengan diiringi petikan gitar. Dengarkanlah wanita pujaanku. Malam ini akan kusampaikan. Hasrat suci kepadamu Dewiku. Dengarkanlah kesungguhan ini. Aku ingin mempersuntingmu. Tuk yang pertama, dan terakhir. Jangan kau tolak, dan buatku hancur. Ku tak akan mengulang tuk meminta. Satu keyakinan hatiku ini. Akulah yang terbaik untukmu. Dengarkanlah wanita impianku. Malam ini akan kusampaikan janji suci satu untuk selamanya. Dengarkanlah kesungguhan ini. Akulah yang terbaik untukmu Oh ... woo ... oh ... woo ... oh ... woo .... Mas Bimo menghampiriku dengan gitar di tangannya. Aku tak bisa menahan air mata haru yang jatuh di pipiku. Dua spanduk merah muda bertuliskan. BELLA I LOVE YOU. BELLA WILL YOU MARRY ME. Tergelar dari lantai atas, menjuntai di depan pagar lantai atas. Mas Bimo melepas gitar yang tadi dipetiknya. Diserahkan kepada salah satu penari pria. Salah seorang penari wanita menyerahkan buket bunga, dan kotak beludru merah tua ke tangan Mas Bimo. Dia berjalan mendekatiku, dengan buket bunga mawar beraneka warna, dan kotak beludru warna merah tua itu ditangannya. Diserahkannya buket bunga ke tanganku. Lalu berlutut dengan satu kaki di hadapanku. "Bella Maharani, will you marry me? Maukah kau jadi teman hidupku? Aku mohon, menikahlah denganku!" pinta Mas Bimo lantang. "Terima! Terima!" Teriakan bergema di seantero mall. Di sisi pagar lantai atas sudah disesaki orang yang melihat ke arah kami. Aku diam sesaat, lalu menggeleng pelan. Mata Mas Bimo sangat jelas menyiratkan kekecewaan. "Aku tidak bisa menolakmu, Mas, ya aku mau," jawabku lirih. Mata Mas Bimo langsung berbinar, senyumnya sumringah, cincin langsung dipasang di jariku. Lalu dikecupnya lembut jariku. Cincin mungil bermata satu yang sangat indah. Tapi aku rasa, pancaran mata berliannya masih kalah dengan pancaran mata Mas Bimo yang langsung memelukku erat. Suara gemuruh dari tepuk tangan, suitan, dan teriakan orang-orang yang ada di mall itu seakan tak ada hentinya. Para penari kembali menari dengan atraksi yang luar biasa. "Minggu depan kita menikah," bisiknya. "Apa? Secepat itu? Apa bisa mengurus semuanya secepat itu, aku juga belum bicara kepada orang tuaku." "Semuanya sudah diurus, Sayang." "Haah! Tapi orang tuaku ...." "Kamu pikir aku melamarmu tanpa meminta ijin lebih dulu pada orang tuamu? Itu tidak mungkin, Sayang. Orang tuamu, adalah orang kedua yang kumintai ijin, setelah kedua orang tuaku. Setelah mendapat ijin mereka aku langsung mengurus semuanya," jawab Mas Bimo panjang lebar. Aku hanya bisa melongo mendengar penjelasan Mas Bimo, dan semakin melongo lagi, saat kulihat kedua orang tuaku, kedua adikku hadir di situ, bersama kedua orang tua Mas Bimo, juga kedua kakaknya bersama keluarga kecil mereka. Ya Allah ... ini sangat luar biasa, berkah yang sangat luar biasa. Aku cinderella tanpa sepatu kaca. Aku si Big B yang beruntung. Meski tubuhku sudah langsing, tapi hatiku akan tetap selalu besar. Aku tidak akan rendah diri lagi, tapi aku akan selalu rendah hati. ***TAMMAT***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD