Perkenalan

1013 Words
"Pagi, Kak Rian. Boleh saya catat pesanan nya?"  Dalam satu minggu ini, Adrian sudah bepergian selama empat kali. Dan itu membuatnya dikenal oleh Naira, yang dalam seminggu ini memang selalu mendapatkan jadwal kerja shift pagi. Seperti biasa, jika bepergian pagi hari, Adrian selalu menyempatkan diri membeli kopi di kafe tempat Naira bekerja. "Iya, Nai. Cappuccino, seperti biasa." sahut Adrian tak kalah ramah. Wajahnya terlihat segar dan sumringah menyapa Naira seolah mereka sudah lama saling kenal. Padahal berkenalan secara langsung pun tidak pernah. Hanya sebatas tahu nama masing-masing karena beberapa kali berinteraksi.  "Mau sekalian coba pancake atau soft cookies, Kak? Buat sarapan." tawar Naira. "Sarapan soto enak kayaknya nih. Pesen soto sekalian deh." sahut Adrian dengan nada becanda. Dia tahu kafe ini tidak menyediakan menu makanan berat, apalagi soto.  Naira terkejut dan memasang tampang bersalah, "Maaf kak, kita nggak menyediakan soto disini." "Oh, nggak ada ya? Habis kamu tadi nawarin sarapan. Kalo kue sih, cemilan. Bukan buat sarapan."  Naira tersenyum ketika menyadari lelaki di depannya ini hanya menggodanya. "Naira, kamu kerja sampai jam berapa?" tanya Adrian tiba-tiba. "Jam tiga, Kak." "Oke, Saya balik ke sini nanti sore, pesawatnya landing sekitar jam tiga lewat lima belas. Tunggu saya pulang, ya…" Naira membulatkan matanya terkejut. Ini maksudnya apa? "Mm… Maksudnya gimana, Kak?" "Kita makan siang bareng. Eh… bukan makan siang sih, udah sore ya itu. Makan sore berarti. Oke. Bye, Naira. Sampai ketemu nanti sore."  Langkah kaki panjang milik Adrian sudah beranjak meninggalkan kafe, ketika Naira memanggilnya. "Kak Rian, pesanannya." seru Naira sembari mengangkat cup berisi cappuccino hangat less sugar milik Adrian. Adrian menoleh sambil mengangkat salah satu alisnya, lalu tertawa saat menyadari bahwa dia melupakan pesanannya. "Iya, maaf. Lupa."  ---  “Naira…” seru Adrian setengah berteriak, ketika melihat sosok Naira yang sepertinya sudah bersiap untuk pulang. “Kamu lupa, atau memang mau kabur dari saya?” tanya Adrian pada Naira ketika mereka sudah berhadapan.  Naira hanya tersenyum miring menanggapi ucapan lelaki di hadapannya, karena memang sejujurnya Naira lupa dengan janji Adrian tadi pagi. Baginya, ajakan makan siang itu hanyalah basa basi. Mana mungkin seorang customer-nya yang terlihat sibuk ini mengajaknya makan bersama.  “Mm… Maaf, Kak. Saya ada kesibukan lain jadi mau buru-buru pulang.” “Tapi kamu tadi nggak nolak waktu saya ajak makan bareng.”  ‘Iya, aku nggak nolak. Tapi kan aku nggak iya-in juga ajakannya.’ batin Naira. Akhirnya karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Naira mengikuti saja saat Adrian mengajaknya ke salah satu restoran yang masih berada di kawasan bandara. Adrian memesan soto, seperti keinginannya tadi pagi, Dan hal itu membuat Naira tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi pagi. “Kamu pesan apa, Nai?”  “Nasi goreng aja, Kak.” “Jangan panggil saya, Kak. Saya nggak lagi beli kopi sekarang.” Naira tertunduk malu, sekaligus bingung harus bagaimana. “Engg… Jadi saya harus panggil apa…” Adrian terlihat berpikir sejenak, “Ngomong-ngomong, kita belum kenalan ya. Saya Adrian.” tangan kanannya terjulur untuk mengajak Naira berjabat tangan. Naira mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum karena merasa aneh dengan situasi ini. Namun tak lama disambutnya juga uluran tangan Adrian. “Saya Naira, Pak Adrian.” “Lah, kok malah panggil Pak. Saya setua itu ya, kelihatannya?” Karena pada dasarnya Adrian memang orang yang mudah bergaul dan Naira adalah gadis yang ramah, tidak sulit bagi mereka berdua membangun obrolan. Meskipun perkenalan itu baru terjadi, namun keakraban yang terlihat di antara mereka berdua seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Adrian banyak menceritakan mengenai pekerjaannya yang akhir-akhir ini banyak menyita waktu sehingga mengharuskannya keluar kota beberapa kali dalam satu minggu terakhir. Sementara itu, Naira menanggapi dengan antusias karena memang dia senang mengetahui hal-hal baru mengenai berbagai kota yang tidak pernah dikunjunginya. Naira bukanlah anak kecil yang tidak tahu bahwa Adrian menunjukkan tanda-tanda bahwa lelaki itu menyukainya. Hanya saja Naira tidak ingin terbawa dengan perasaannya karena dia baru saja mengenal lelaki ini. Apalagi jika melihat perbedaan yang ada antara dirinya dan Adrian. Dirinya yang hanya bekerja sebagai karyawan di sebuah kafe, sedangkan Adrian adalah seorang pengusaha. Naira menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Apa yang dipikirkannya? Perbedaan? Memangnya mereka memiliki hubungan apa sampai Naira memiliki pikiran sejauh itu? Berkenalan saja baru hari ini. Mungkin Adrian memang tipe lelaki yang mudah bergaul dan berteman dengan siapapun. Dan karena beberapa waktu belakangan ini mereka sering bertemu meskipun hanya sebatas transaksi secangkir kopi, maka kedekatan itu begitu saja tercipta. “Kamu ngelamun, Nai?” tanya Adrian yang masih sibuk mengunyah makanannya. Naira segera menguasai dirinya dan berpura-pura sibuk menyendok nasi gorengnya. “Nggak, Pak. Saya nggak ngelamun kok.” “Pak lagi, emang kamu pikir umur saya berapa sih?” “Mm… 30 tahun?” Adrian tertawa, karena jawaban Naira hampir benar. Usianya saat ini 32 tahun. “Salah. Saya masih 20 tahun.” jawab Adrian. “Hah? Masa sih lebih tua saya? Saya aja udah 22 tahun. Kalo Pak Adrian 20 tahun, berarti masih kuliah dong.” sahut Naira tidak percaya. “Makanya, panggil Rian aja, Atau Adrian. Kan kamu lebih tua dari saya.” “Bohong nih. Saya nggak percaya.” “Ya terserah kalo nggak percaya. Yang pasti, saya nggak mau dipanggil Bapak. Emangnya saya atasan kamu.” “Iya deh, saya panggil Mas Rian aja ya. Supaya lebih sopan sama yang lebih tua.” “Eh, saya belum tua ya…” Adrian masih tetap bertahan tidak ingin disebut tua. Entah kenapa, bersama Naira dirinya merasa nyaman. Beban pekerjaan yang terkadang membuatnya sedikit tegang menjadi hilang. Dirinya merasa lebih bersemangat. Mungkin ini pengaruh berteman dengan orang yang lebih muda, semangat dan suasana ceria yang terpancar dari Naira juga menular pada dirinya sendiri.  “Kamu udah lama kerja di kafe itu, Nai?” Naira mengangguk, “Udah setahun lebih.” “Sebelumnya kamu kerja dimana?” tanya Adrian lagi. Naira hanya menggeleng, “ Sebelumnya saya kuliah. Baru setahun terakhir saya kuliah sambil kerja. Sekarang udah lulus, jadi enak nggak terlalu capek bagi waktunya.” Adrian mengangguk, “Habis ini saya antar kamu pulang ya.” “Nggak perlu, Mas. Saya bawa motor sendiri kok.” tolak Naira dengan sopan. “Boleh saya minta nomor ponsel kamu?” Adrian masih tak menyerah. “Buat apa?” “Ya buat disimpan. Kita kan teman, masa temenan tapi nggak punya nomor ponsel masing-masing?” Naira menggeleng, “Nggak ada kepentingan mendesak juga. Nggak perlu lah kita simpen-simpenan nomor ponsel.” “Saya nggak ada jadwal keluar kota lagi sampai akhir bulan ini. Kalo saya kangen kamu, gimana?” 18 Nov 2020 10.57 WIB
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD