“Argh! s**l,” umpat Alex begitu kakinya berciuman keras dengan keramik sekolah, dan seketika orang yang ia kejar menghilang entah ke mana .
“s**l! “ umpatnya lagi.
“Bro, bu Sri OTW.”
Suren muncul dan langsung menarik tangan Alex mengikuti langkahnya. Suren salah satu manusia parasite menurut Alex. Ada dua manusia yang Alex masuk kategorikan sebagai parasite yang selalu mengganggunya yaitu Willy dan Suren. Kedua manusia itu sama sekali tidak takut pada aura mengerikan yang ada pada Alex.
“Lo!” Alex menepis tangan Suren yang bertengger di lengannya.
“Ya elah pangeran es marah muluk, entar es-nya cair lho,” cibir Suren dengan mulut nyinyirnya. Pria itu tersenyum lebar, menampilkan wajah sok polos.
Alex tahu benar tidak ada gunanya berdebat dengan orang seperti Suren atau pun Willy, karena itu hanya akan menghabiskan waktunya saja.
“Hai Alex,"sapa seorang gadis berambut cokelat. Ia berdiri di depan pintu sambil memainkan rambut panjangnya, membuat Alex sangat muak.
“Hai ganteng,” sapa yang lain.
“Minggir!” kata Alex penuh penekanan. Namun bukannya menyingkir, gerombolan gadis itu malah memperkuat posisinya.
“Ganteng marah mulu,” goda salah satu di antara mereka sambil mencoba mencolek dagu lancip milik Alex. Alex masih tidak bergeming, membuat gerombolan gadis itu menggencarkan aksi mereka untuk menggoda pewaris tunggal, 'IB Compeni.
“Gue bilang minggir!” Alex tiba_tiba menojok tembok. membuat semua orang terperanjat dan ketakutan melihat kemarahan Alex. "Minggir!" kata Alex datar dan semua orang langsung memberinya jalan.
“Lo!” langkah kaki Alek terhenti, sorot matanya menatap tajam pada gadis yang tengah duduk dihadapannya. Gadis itu nampak tersenyum, Alex tahu jelas hal itu dan ia benci menggatakan bahwa ia benci penghalang senyum yang ada pada gadis itu.
***
“Pergi lo dari sini!”
Sejak tadi hanya kata-kata pengusiran itulah yang terus menerus Aisyah dari orang yang baru saja ia temui tadi. Aiayah tidak tahu kenapa pria itu begitu tidak menyukai kehadirannya.
“Tapi kenapa? Terus aku harus duduk di mana kalo bukan di sini?” lirih Aisyah berusaha memberanikan diri.
Alex mendelik tajam, membuat nyali Aisyah sedikit ciut. "Gue nggak peduli! Pergi lo dari sini atau gue jamin hidup lo nggak akan pernah tenang!”
“Wow! Ini langka!” entah dari mana Willy tiba-tiba datang sambil bersorak girang.
“Teman-teman, untuk pertama kalinya seorang Alexander Darwin ngomong sepanjang itu! Ini semua berkat gadis bercadar. Wow! Berikan tepukan yang gemuruh,” pekik Willy sambil bertepuk tangan. Seolah sihir, semua ikut bertepuk tangan mengikuti instrumen yang Willy berikan. Sontak seisi kelas menjadi bising.
Aisyah hanya menunduk malu sedangkan Alex menatap tajam bak pisau ke semua mata yang tertuju padanya, semua orang seketika bungkam melihat tatapan mengerikan itu.
“Lo mau pergi sendiri atau mau gue seret !” kata Alex tajam.
Aisyah tak bergeming, ia menunduk sambil berzikir pelan. Melihat tak ada respons apa pun dari Aisyah, membuat kemarahan Alex memuncak.
“Eh, lo b***k ya!” teriak Alex tepat di telinga Aisyah.
“Astagfirullah,” Aisyah terkejut hingga tanpa sadar berteriak cukup kencang.
Alex menatap tajam Aisyah, pria itu merasa kesal dan hendak menarik tangan Aisyah, beruntung gadis itu mengetahui pergerakan tangan Alex dan langsung menjauhkan tangannya dari jangkauan Alex.
“Maaf kita bukan mahram dan Anda tidak berhak menyentuh saya,” Aisyah berujar pelan namun sarat akan penegasan.
Mata maniak Alex menatap tajam, Aisyah menunduk menghindari kontak langsung dengan mata Alex, ia tak ingin memandang apa yang bukan menjadi haknya.
“Lo itu sampah yang mesti gue buang!” kecam Alex sebelum pergi menghilang dari kelas.
***
Setelah berhari-hari Alex tak menampakkan dirinya di sekolah, namun hari ini dengan terpaksa, Alex duduk di kelas bak seorang murid rajin dan pintar
“Kalo kamu nggak sekolah lagi hari ini, semua fasilitasmu akan Papa ambil.”
Ancam itu sukses membuat Alex duduk dengan tenang di kelas, bahkan berusaha tenang menghadapi kemarahannya yang selalu memuncak tiap kali ia melihat Aisyah.
Keadaan itu diperparah dengan kenyataan bahwa Aisyah adalah teman satu bangkunya. Alex menghela napas kesal, ia harus sanggup menghadapi mata biru hazel gadis itu. Ya, gadis bercadar dengan sorotan mata biru hazel yang selalu berhasil membuat Alex teringat masa lalu. Masa di mana ia tidaklah sedingin dan sekasar ini
“Ah, s**l!” Alex menjambak kasar rambutnya sendiri, menyadari hal bodoh yang sedang ia pikirkan.
“Ada apa?” tanya Aisyah, cemas sekaligus bingung.
“Ah s**l! Mata itu lagi,” batin Alex menjerit. Alex tak sanggup menahan amarahnya. Ia menggeram kesal, lalu mendekat sedikit ke arah Aisyah, “Lo sengaja deketin gue, kan!”
Aisyah bingung, “Apa?”
“Udah deh, lo nggak usah sok suci,” bentak Alex, membuat Aisyah semakin tidak mengerti.
“Maaf, saya tidak mengerti arah pembicaraan kamu,” jawab Aisyah jujur.
“Pergi gak lo dari bangku gue, atau gue jamin takdir lo bakal sengsara sampe lo lebih memilih mati ketimbang hidup!” Alex berbisik pelan di telinga Aisyah.
Aisyah sedikit menjauh dari Alex, gadis itu menunduk dalam, “Maaf akhi2, aku punya Allah dan aku percayakan semua takdirku pada-Nya. Aku percaya apa pun yang Allah beri pada hamba-Nya adalah yang terbaik.”
Alex menggeram kesal, meluapkan segala kemarahanya pada gadis malang itu. “Gue bilang pergi!” Alex langsung menarik tangan Aisyah yang langsung ditepis kasar oleh gadis bercadar itu.
“Maaf Akhi, sekali lagi saya tegaskan, jangan pernah menyentuh saya dengan alasan apa pun!” bentak Aisyah kesal. Gadis itu benar benar marah atas alasan apa Alex berusaha menyentuhnya. Aisyah tak bisa terima itu. Ia mungkin bukan gadis pemberani, tapi ia selalu memegang teguh prinsipnya. Aisyah tak peduli jika ia harus berhadapan dengan sosok Alex. Ia tak peduli seberapa menakutkannya Alex. Ia tak peduli. Saat kebatilan terjadi, maka dia akan menumpaskannya.
“Saya tegaskan sekali lagi! Jangan pernah berusaha menyentuh saya!” teriak Aisyah.
Matanya memerah menahan marah, Alex tahu jelas hal itu.
Tanpa keduanya sadari, ternyata mereka telah menjadi pusat perhatian banyak orang, suara Aisyah berhasil mengundang banyak perhatian murid bahkan dari kelas lain.
“Berhenti!” suara berat pak Eko terdengar memecah ketegangan yang terjadi, guru killer itu berdiri di ambang pintu sembari bersedekap d**a.
Aisyah terkejut, ia baru menyadari apa yang telah dilakukannya. Sedangkan Alex, ia sama sekali tidak peduli.
“Kalian berdua ikut saya sekarang!”
Dengan patuh, Aisyah mengikuti langkah kaki pak Eko sedangkan Alex dengan terpaksa berjalan mengekor di belakangnya.
“Alex, kenapa kamu selalu suka membuat onar?” pak Eko menatap sengit Alex dan yang ditatapnya sama sekali tidak peduli. Ia malah terlihat biasa saja, tidak seperti Aisyah yang merasa ketakutan.
“Dan kamu Aisyah, bukannya kamu murid baru di sini?” Sekarang giliran Aisyah yang mendapat tatapan tajam dari pak Eko. Aisyah mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan pak Eko. “Saya rasa kalian sudah cukup dewasa untuk mengerti kenapa kalian saya bawa ke ruang konsultasi ini.”
“So,” Alex balas menatap pak Eko, ia menarik kursi seenaknya tanpa berniat meminta izin terlebih dahulu, tidak hanya berhenti di situ, Alex juga menaiki satu kakinya ke atas meja, kakinya berada tepat di depan wajah pak Eko.
“Alex!” tegur pak Eko murka.
Aisyah yang dari tadi menunduk, sontak mendongak mendengar teriakan pak Eko.
Aisyah terkejut melihat kelakuan Alex yang sangat kurang ajar.
“Apa?” tanya Alex seolah tidak terjadi apa pun.
“Alex, kamu saya hukum skor—”
“Skorsing berapa hari?” Alex tersenyum meremehkan. Alex tahu jelas setiap kali dia berbuat onar, pak Eko pasti selalu menghukumnya skorsing selama tiga atau empat hari. Dan hal itu adalah favorite Alex selama sekolah di SMA Gangnam. Pak Eko menatap geram pada salah satu muridnya ini yang selalu saja berhasil membuatnya naik pitam.
“Alex, kamu saya hukum membersihkan toilet selama satu minggu,” ucap pak Eko tegas. Jelas seorang Alex tidak akan menerima semuanya dengan mudah.
“Saya tidak mau,” jawabnya keberatan.
Pak Eko tersenyum menampilkan lesung pipit di wajahnya, kali ini kartu As di tangan pak Eko, “Baiklah. Tapi jangan salahkan saya, jika fasilitasmu ditarik.”
Alex mendelik. Ia sama sekali tidak ragu menatap pak Eko yang berstatus sebagai gurunya.
“Baiklah, Anda menang,” jawabnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang bimbingan konseling.
“Aisyah, kamu saya hukum sama seperti Alex,” ujar pak Eko tegas, seolah tak menerima penolakan, dan Aisyah hanya bisa mengangguk pasrah.