3. Hak dan Kewajiban

1339 Words
Erwin memang tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya sampai dijodohkan seperti ini. Padahal, ia sudah membuat rencana manis untuk menikahi Vicky, sang kekasih tepat di hari ulang tahun wanita itu. Namun, Sayang. Takdir sepertinya tidak memihak pada Erwin. Ayahnya, Purnomo Salim malah menjodohkan lalu memaksa agar ia menikahi anak dari sahabat sekaligus rekan bisnisnya sesegera mungkin. Erwin tentu saja tidak kuasa menolak. Di samping karena tujuan bisnis, dari kecil, ia memang dibentuk sebagai pribadi yang penurut terhadap seluruh perintah kedua orang tuanya. Ironis memang. Ketika orang lain bisa bebas memilih serta menjalani hidupnya sendiri, Erwin harus tunduk dengan apa pun yang orang tuanya minta. Termasuk dengan rencana membawa Velove berbulan madu seperti sekarang. "Papa juga sudah atur jadwal bulan madumu. Kamu bisa pergi membawa istrimu setelah acara resepsi selesai digelar," ucap Purnomo pada Erwin, satu hari sebelum gelaran pesta dimulai. "Apa ini nggak berlebihan, Pa?" Purnomo menggelengkan kepala. "Berlebihan gimana maksudmu? Bukannya pasangan suami istri setelah menikah pasti melakukan bulan madu?" "Mungkin lazim untuk pasangan suami istri normal, Pa," sahut Erwin dengan nada protes. "Jadi menurutmu pernikahan yang sudah Papa atur ini nggak normal?" Purnomo langsung menyipitkan mata. Yang mana hal ini membuat Erwin langsung terdiam. "Seingat Papa, kamu dan Velove itu baru dua kali bertemu. Pertama saat jamuan makan malam dan yang terakhir saat pesta pertunangan. Itu sebabnya, Papa pikir, momen bulan madu ini memang perlu untuk kamu dan Velove jalani agar bisa saling mengenal satu sama lain." "Tapi, Pa ---" Purnomo langsung mengibaskan tangan kanannya ke udara. Isyarat kalau dirinya tidak ingin mendengar alasan apa pun dari sang putra. "Ayolah Win. Velove itu wanita baik-baik. Dia sopan, pintar, mandiri, bahkan sudah jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Dan ingat juga, hanya keluarganya yang mau membantu keluarga Salim agar tidak mengalami kebangkrutan. Jadi, Papa harap kamu bisa menerimanya sebagai istri dan lupakan kekasihmu yang dulu." "Kalau soal bantuan, kenapa Papa nggak minta tolong aja sama Opa Antonie. Keluarga Prawira bahkan mampu mengatasi masalah yang tengah Salim Group alami. Kalau Papa malu, Erwin bisa minta tolong Kendra lewat Palma. Apa susah? Nggak perlu sampai jodoh-jodohin Erwin segala macam." Purnomo berdecak. Padahl, ia teramat malas berdebat seperti ini dengan sang putra. "Bunuh diri kalau minta tolong dengan opa Antonie. Kamu mau harga diri Papa diinjak-injak keluarga Prawira?" "Tapi kita kan bagian dari mereka, Pa? Bukannya keluarga itu harusnya saling membantu?" Purnomo tertawa sinis. Mengangkat sebelah alis matanya, pria itu kembali mengemukakan argumentasinya. "Mau keluarga Prawira kasih bantuan sekali pun, keputusan Papa untuk menikahkan kamu dengan Velove udah bulat dan nggak bisa lagi diganggu gugat. Jadi, Papa harap kamu nggak perlu lagi protes. Lebih baik, mulai sekarang hentikan berhubungan dengan kekasihmu yang nggak jelas latar belakangnya itu. Sampai kapan pun, Papa dan Mama juga nggak akan merestui hubungan kalian." Erwin pada akhirnya memang menjalankan perintah sang ayah untuk membawa Velove pergi berbulan madu. Tapi tidak soal melupakan kekasih yang dulu. Ia bahkan sudah membuat janji temu dengan Vicky untuk menghabiskan waktu bersama ketika tiba di Bali. Maka, begitu dirinya sampai di hotel, gegas Erwin meninggalkan Velove lalu memilih untuk berpindah ke kamar yang sudah Vicky pesan sebelumnya. Lebih memilih menghabiskan waktu bersama sang kekasih ketimbang dengan wanita yang jelas-jelas baru saja ia kenal. Namun, kebahagiaan Erwin sedikit terusik. Ia dan Vicky yang baru saja sampai di kamar setelah melihat sunset, harus kedatangan tamu yang tidak diharap. Ada Velove yang tiba-tiba hadir mencari keberadaan dirinya. "Mau apa kamu kemari?" tanya Erwin dengan nada dingin. Raut wajahnya kentara sekali menunjukkan aura tidak suka. "Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu ada di sini?" Velove langsung melirik ke arah wanita yang berdiri diam di dekat pintu kamar. "Bahkan dengan wanita lain." Erwin tidak menjawab. Pria itu memilih untuk langsung menarik pergelangan tangan Velove dengan kuat. Menyeret sang istri untuk segera menuju kamar yang seharusnya mereka berdua tempati. Begitu sampai, Erwin langsung membuka pintu. Membawa Velove masuk lalu tanpa ragu pria itu untuk kali kedua mendorong tubuh Velove hingga terbaring di kasur. "Apa hak kamu ikut campur urusan ku?" ketus Erwin. Ia menatap Velove penuh amarah. "Kamu tanya apa hakku?" balas Velove dengan suara meninggi. Berusaha dari awal untuk diam, pada akhirnya Velove merasa kesal juga. "Jangan lupa Erwin Pranata Salim, status kita berdua sudah suami istri sekarang. Lagi pula, yang kamu lakukan itu bisa mencoreng nama baikmu sendiri." Erwin tertawa hambar. Apa yang Velove ucapkan lama-lama membuatnya semakin muak. Kenapa juga ia harus dijodohkan dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya seperti sekarang. "Jadi, kamu pikir karena sekarang statusmu adalah istriku lantas kamu punya hak atas segala hal yang aku lakukan, begitu?" "Suka nggak suka, kita memang suami istri sekarang. Jadi, aku berhak untuk larang kamu bertemu dengan wanita lain!" Erwin mengangguk seraya menyeringai. Detik kemudian merangkak naik ke atas tempat tidur. Menarik tubuh Velove. Menindih kemudian menguncinya hingga wanita itu tidak bisa berkutik. "Erwin kamu mau ngapain?" tanya Velove sambil meronta-ronta. Kedua tangan wanita itu dicekal begitu kuat oleh Erwin agar tidak dapat bergerak ke sana kemari. "Meminta apa yang seharusnya jadi hakku sebagai suami." Erwin menyeringai. Senyum pria itu terlihat begitu menakutkan. Maka setelahnya, tanpa banyak berpikir, Erwin menarik gaun yang istrinya kenakan hingga robek tak berbentuk. Sementara Velove terus saja meronta. Berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan apa yang sedang Erwin lakukan pada dirinya. Tapi tetap saja percuma. Velove terlalu kecil untuk Erwin yang memiliki postur tubuh begitu besar darinya. "Kenapa berontak?" Masih dalam keadaan memegangi kedua tangan Velove, Erwin mendekatkan wajahnya. Sambil tersenyum pria itu kembali berbisik. "Bukannya aku berhak menikmati tubuh istriku sendiri?" Melepaskan cekalan tangannya, kali ini Erwin menarik gaun Velove hingga benar-benar terbuka bagian atasnya. Menampilkan dengan jelas kulit mulus wanita itu. "Kita sudah resmi jadi suami istri, Ve. Rugi sekali kalau aku nggak meminta hakku sebagai suami," sindirnya dengan nada mengejek. "Jadi, bagian mana yang harus aku coba lebih dulu?" Erwin membawa tangannya. Detik kemudian menunjuk bagian tubuh milik Velove. "Apa perlu aku coba bagian atas? Atau langsung ke intinya?" Pria itu kembali menyunggingkan senyuman menakutkan. Sementara tangannya terulur, mulai menyentuh, membelai pelan kulit tubuh Velove. Lantas selanjutnya menyasar pada dadaa, kemudian meremas salah satunya dengan sengaja. "Erwin, aku mohon ... Jangan lakukan ini." Air mata Velove sudah menggenang di pelupuk mata. Sakit sekali rasanya menerima penghinaan seperti ini. "Oh, ayolah Velove, nggak perlu nangis." Erwin tertawa. Sedikit pun rasa kasihan tidak terlihat di wajahnya. "Bukannya memang kewajibanmu melayaniku? Lagi pula, kamu duluan yang bahas soal hak antara suami dan istri. Lalu kenapa saat aku menagihnya, kamu malah sedih seperti ini?" Masih terus menangis, Velove langsung menggeleng keras. "Tapi bukan begini caranya." "Lalu seperti apa!" Erwin berteriak. "Apa aku harus menidurimu dengan cara yang lemah lembut?" Erwin kali ini tersenyum lalu menggeleng. Tak berapa lama pria itu tertawa pelan kemudian berkata-kata lagi. "Pikirmu siapa? Lagi pula, untuk apa aku harus bersikap baik denganmu, Velove? Untuk apaa?!" Erwin kembali berteriak. Tindakannya ini membuat Velove gemetaran. "Asal kamu tau, karena kehadiranmu, aku dan wanita yang kamu temui tadi harus berpisah sementara waktu. Karena kehadiranmu juga hubungan kami nyaris hancur! Dan kamu yang menyebabkan ini semua. Jadi bagaimana caranya aku harus bersikap baik dengan orang yang jelas-jelas merusak masa depanku. Bagaimana caranya, hah!" Suara itu menggelegar keras. Membuat Velove semakin menangis karena ketakutan. Tapi, Erwin benar-benar tidak perduli. Pria itu hanya menyeringai sembari beringsut turun. Berjalan menjauh lalu berkata-kata lagi. "Jangan pernah bermimpi juga aku bakal berbaik hati denganmu, Ve. Dan perlu kamu ingat baik-baik, jangan pernah sekali pun ikut campur urusan pribadiku, apa pun itu." Erwin bersiap untuk pergi. Akan tetapi, sebelum benar-benar melangkah keluar, pria itu kembali menoleh lalu sekali lagi memberikan peringatan. "Silakan kamu laporkan perbuatanku ini sama Papaku atau Papamu. Aku nggak sedikit pun takut. Aku malah senang kalau kita bisa segera bercerai. Itu artinya aku bisa secepatnya lepas dari kamu!" Erwin kemudian memilih pergi. Meninggalkan Velove yang sudah tidak bisa lagi menahan tangis atas penghinaan yang suaminya berikan. Mau melawan? Sepertinya percuma. Dan Velove yakin, ada banyak lagi penderitaan yang akan ia terima setelah ini. "Nggak akan pernah ada perceraian dalam rumah tangga kita, Win! Nggak akan pernah." gumam Velove seraya megusap air mata yang membasahi pipnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD