4. Menyengsarakan Hidup

2303 Words
"Sudah aku katakan berulang kali, jangan pernah siapkan makanan atau sentuh barangku, apa pun itu! Kalau kamu punya telinga, harusnya kamu paham apa yang aku ucapkan!" Suara itu terdengar menggelegar hingga mendebarkan jantung. Seketika hawa mencekam memenuhi ruangan. Seolah pasokan udara terampas paksa, menyisakan rasa sesak di dadaa seorang Velove. Ini bukan kali pertama Erwin berkata kasar atau memberinya peringatan. Sebulan sudah berlalu. Tapi, tetap saja tidak ada satu pun sikap baik yang Erwin tunjukkan kepada sang istri. Seperti pagi ini, sebelum berangkat kerja, untuk kesekian kalinya Velove berinisiatif menyiapkan sendiri menu sarapan untuk disantap dirinya dan juga sang suami. Namun, bukannya menghargai apalagi mengucapkan terima kasih, pria itu malah bersikap ketus. Mungkin kesal karena Velove tidak sedikit pun mendengarkan apa yang sudah berulang kali ia ucapkan. "Harusnya kamu coba dulu makanan ini, Win. Kamu nggak perlu takut, aku nggak masukin racun di makanan kamu." "Untuk apa aku coba masakan kamu? Cukup pernikahan aja yang coba-coba. Aku nggak mau lagi menyengsarakan hidupku sendiri." Pria itu kemudian berlalu. Meninggalkan Velove yang lagi-lagi hanya terdiam di kursinya. Menatap sendu sosok pria yang sampai detik ini tidak sedikit pun mau menghargainya. Mau menangis? Air mata Velove sudah kering. Mau mengadu? Sayangnya Velove bukan tipe anak manja yang suka mengadu nasib buruk yang ia alami kepada kedua orang tuanya. Velove juga tidak ingin membuat sang ayah khawatir. Itu sebabnya, segala perilaku buruk yang Erwin tunjukkan ia pendam sendiri selama ini. Berharap suatu saat nanti pria itu akan sadar dan mau sedikit memandang dirinya. "Non Velove, makanannya mau saya beresin atau dibiarkan aja?" teguran Rani, salah seorang asisten rumah tangga yang memang sudah lama bekerja dengan sang suami, tiba-tiba menyadarkan Velove dari lamunan. Menoleh, ia lantas mengulas senyum. "Beresin aja, mbak. Saya juga udah selesai dan mau siap-siap berangkat kerja." "Tolong dimaklumin aja kelakuan Pak Erwin, Non," kata Rani memberanikan diri. Sambil membereskan pirin kotor di meja, ia berbicara dengan pelan. "Padahal, aslinya Pak Erwin itu baik. Nggak tau sekarang kesambet setann apa bisa berubah pemarah seperti sekarang." Velove mengangguk. Sebagai pekerja lama, Rani tentu hapal sekali kelakuan atau sifat sang majikan. Dan dari awal pindah ke rumah Erwin, Rani juga yang begitu dekat dan menjadi teman Velove untuk bercerita. Ada begitu banyak yang Rani ceritakan serta bagikan kepada Velove. Dari soal apa yang Erwin suka dan tidak suka. Bahkan soal cerita bagaimana dulu sebelum menikah, sang suami sering kali membawa kekasihnya untuk singgah ke rumah. "Iya, mbak Rani. Saya maklum. Mungkin Erwin masih belum mau terima kenyataan kalau harus dinikahkan dengan saya." "Padahal, cantikan non Velove kemana-mana ketimbang pacar lama Pak Erwin yang judes itu. Sama saya aja dia nggak mau negur sama sekali," sungut wanita itu sembari memajukan bibirnya dengan sebal. Velove kembali tersenyum. Wanita itu bangkit bersiap untuk pergi. "Ya mungkin dia udah cinta banget. Tapi, nggak apa-apa. Pelan-pelan, saya yakin bisa buat Erwin pada akhirnya menyukai saya." "Saya bakal dukung non Velove 100%," ucap Rani sambil mengangkat dua jempol ke arah Velove. "Ya sudah. Kalau begitu saya berangkat kerja dulu. Untuk makan malam, mbak Rani aja yang siapkan. Masak aja makanan kesukaan Pak Erwin. Kebetulan hari ini saya pulang sedikit telat karena harus lembur akhir bulan." Velove lantas berlalu untuk segera menuju mobil. Dari awal, ia memang bekerja dan memimpin Carribean, salah satu anak perusahaan milik sang ayah yang bergerak di bidang retail. Setelah menikah, Velove memutuskan untuk tetap menjalankan kariernya. Lagi pula menjadi wanita mandiri yang sukses adalah cita-cita dari dulu. Sesampainya di kantor, sudah ada Deasy yang menunggu di depan ruangan. Sambil membawa satu map berisi kumpulan berkas, wanita itu langsung mengekor kala Velove masuk ruangannya. "Bu Velove, ini ada beberapa yang harus direvisi. Saya rasa, Anda terlewat beberapa poin penting," ungkap wanita itu. Velove mendudukkan dirinya terlebih dahulu di kursi kerja. Meraih map yang Deasy beri, ia langsung mengecek apa yang sekretaris sekaligus sahabatnya itu maksud. "Ya ampun. Ini beneran kelewat. Mungkin, kemarin saya kurang fokus jadi sampai nggak ngecek kalau ada yang terlupa." Deasy tersenyum maklum. Ia pikir mungkin sahabatnya itu sedang lelah atau memang sedang banyak pikiran. Di samping itu, saat ini memang akhir bulan. Biasanya pekerjaan akan semakin banyak bertumpuk meminta untuk segera diselesaikan. "Kalau gitu biar saya tinggal di sini aja berkasnya biar bu Velove baca ulang. Kalau butuh bantuan, panggil saja saya segera." Velove mengangguk. Lantas tak lama terdengar wanita itu mengembuskan napas panjang. Wajahnya yang sedikit tegang mengisyaratkan ada sesuatu tengah wanita itu pikirkan. "Ve, kamu baik-baik aja?" bisik Deasy. Wanita berparas ayu itu langsung mendekatkan posisinya seraya menyondongkan wajah. "Aku baik-baik aja, Des. Cuman sedikit pening aja." "Kamu sakit?" Velove menggeleng. "Nggak. Aku nggak sakit. Hanya saja ----" "Suamimu buat ulah lagi?" tebak Deasy. Sepertinya ia mulai paham apa yang tengah terjadi pada bosnya itu Sebagai bawahan yang juga merangkap sahabat, Deasy sering kali mendengar curahan hati Velove. Tidak ada satu pun yang wanita cantik itu sembunyikan. Termasuk tabiat kasar serta perilaku jahat yang sering Erwin tunjukkan. Deasy sempat marah. Ia bahkan menyarankan Velove untuk segera berpisah atau paling tidak membalas setiap perilaku kasar yang pria itu lakukan. Namun, karena dasarnya baik, Velove tetap saja menganggap angin lalu ucapan Deasy. Ia bahkan tidak berniat sedikit pun membalas perbuatan kasar yang sering kali Erwin tunjukkan kepadanya. "Erwin nggak buat ulah," bantah Velove. Ia malas saja masih sepagi ini sudah mendengar ceramah dari sahabatnya itu. "Terus? Pening kenapa?" "Kepikiran deadline akhir bulan, Des. Ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga. Makanya kepala aku sakit banget." "Yakin ini bukan karena Erwin?" selidik Deasy sekali lagi. Meyakinkan diri bahwa apa yang ia tuduhkan benar terjadi atau tidak. "Beneran. Ini emang karena kerjaan," ucap Velove sekali lagi berusaha meyakinkan wanita di depannya. "Ya sudah. Kalau gitu, bentar aku beresin sedikit kerjaanku. Setelah itu aku bantu kamu buat selesaikan satu-satu deadline yang emang harus dikirim hari ini. Tapi ... kalau Erwin buat ulah lagi, aku minta tolong agar kamu balas kelakuan dia. Jangan kebanyakan diam, Ve. Jangan mau harga dirimu diinjak-injak." Velove tersenyum. Malas mengambil pusing, ia mengangguk saja apa yang Deasy sampaikan barusan. *** Erwin memijat tengkuknya yang terasa teramat tegang. Beberapa menit sebelumnya, ia memang baru selesai menghadiri rapat dengan beberapa dewan direksi. Baru saja menyandarkan bahu pada kursi, pintu ruangan terketuk. Begitu mendongak, ia mendapati Kendra dan juga Randa yang berjalan masuk ke arahnya dengan membawa satu box berukuran sedang yang entah berisi apa. "Tumben kalian singgah nggak ngasih kabar dulu?" tegur Erwin saat kedua sepupunya sama-sama menarik kursi yang ada di depannya. Terlihat Kendra menyerahkan box yang ia bawa terlebih dahulu, sebelum kemudian mendudukkan dirinya di sana. "Nggak sempat, Win. Beres rapat, aku langsung buru-buru disuruh antar ini ke kamu," kata pria itu sambil menunjuk box yang baru saja ia serahkan. Kening Erwin nampak berkerut dalam. Kembali menegakkan tubuh, pria itu menarik box yang ada di atas meja agar posisinya lebih dekat dengannya. Bermaksud untuk mengecek sendiri apa isi di dalamnya. "Emang ini apaan?" "Itu blackforest," sahut Kendra. Pria itu duduk dengan santai sambil melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Luna yang buat. Aku pernah cerita kalau kamu suka banget sama blackforest. Kebetulan, semalam dia buat banyak untuk dibagikan." "Jangankan kamu. Aku aja semalam langsung dapat kiriman kuenya. Entah itu baru masak atau gimana. Yang pasti langsung diantar ke rumahku." Randa yang tadinya duduk tenang, kini ikut menambahkan ucapan Kendra. Erwin sendiri langsung tersenyum lebar. Senang dengan perhatian yang sepupu iparnya itu berikan. "Baik banget istri kamu. Perhatian sama suami, anak, dan seluruh keluarga. Sampai ke sepupu segala macam dia ingat." "Emang! Luna dari dulu kan begitu. Semua orang juga sampai ke anak panti dia pikirin. Makanya aku tambah cinta sama dia," lanjut Kendra kemudian. Erwin mengangguk setuju. Ia tidak membantah pernyataan Kendra. Sebagai pria yang sudah lama mengenal Luna, Erwin sadar kalau istri sepupunya itu memang baik dan perhatian. "Enak banget kali ya nikah sama perempuan yang perhatian. Apalagi yang saling cinta macam kalian. Kamu beruntung banget, Ken." Kendra berdecak. Ia paham dengan apa yang Erwin maksud. Dirinya tahu juga kalau sepupunya itu selama ini masih saja merasa kesal karena pada akhirnya harus dijodohkan dan dipaksa untuk menikahi wanita yang tidak ia cinta. Satu tahun setelah pulang dari Korea Selatan, Kendra tahu kalau Erwin begitu bahagia melanjut hubungannya dengan sang kekasih yang sempat menjalani LDR lumayan lama. Seingat Kendra, sepupunya itu sudah mempersiapkan diri untuk melamar serta mengajak sang kekasih untuk menikah. Namun, harapan Erwin sirna kala sang ayah malah menjodohkannya dengan wanita lain karena tujuan tertentu. Kendra ingat benar bagaimana stressnya Erwin kala itu. Bersusah payah untuk menolak. Tapi, tetap saja tidak merubah sedikit pun keputusan Purnomo menikahkan sang putra dengan wanita pilihannya. Kendra tidak lupa, hampir tiga hari berturut-turut Erwin menghabiskan waktu di Bar atau klab malam hanya untuk mabuk-mabukan. Ia dan Randa sampai pusing sendiri karena harus bergantian membawa sepupu mereka pulang ke rumah dan berusaha untuk memberi pengertian agar Erwin tidak terus larut dalam kesedihan. "Kata siapa aku nikah sama perempuan yang aku cinta? Ketimbang kamu, lebih parah aku, Win. Dari awal, aku sama Luna itu nggak cocok. Di awal jug, kami berdua bahkan lebih sering bertengkar. Mana dulu Luna nyebelin banget. Kalau nggak ada tender dari Pakuwon aja, mungkin aku nggak akan nikah sama dia." Randa di sebelah Kendra terkekeh geli. Sebenarnya ia juga bosan mendengar Erwin yang di setiap pertemuan selalu mengeluhkan pernikahannya. "Harusnya kamu kursus dulu sama Kendra, Win. Mereka berdua aja pada akhirnya bisa kok bersatu bahkan saling cinta asal ada kemauan. Lah, kamu? Belum apa-apa udah nolak duluan. Bahkan sepertinya nggak ngasih istrimu kesempatan untuk mendekat atau mengenal satu sama lain." Erwin kali ini mendesah malas. Membayangkan harus bersikap baik dengan Velove membuatnya muak. "Kamu belum aja ngerasain di posisi aku, Ran. Mana enak harus nikah bahkan tinggal serumah sama perempuan yang nggak kamu suka." "Ah, itu perasaan kamu aja kali," ejek Randa. "Bukannya Kendra dulu juga gitu sama Luna?" "Tapi, sebelumnya Kendra sempat saling kenal satu sama lain walaupun cuma sebatas bos dan atasan? Lah aku? Bener-benar nggak kenal sama sekali." "Sama aja, Win," bantah Randa. "Beda, Ran," sungut Erwin. Ia jadi kesal sendiri mendebat sepupunya itu. "Aku doain aja kamu merasakan juga yang namanya dijodohkan terus nikah sama perempuan asing yang benar-benar nggak kamu kenal, suka, atau cinta. Biar kamu tau rasanya di posisi aku seperti apa." Randa tertawa keras. Ia tidak sedikit pun tersinggung atau marah mendengar doa yang Erwin panjatkan untuknya. Sudah biasa ia mendengar sepupunya itu marah atau mengomel. "Tapi setelah nikah, kamu udah nggak mabuk-mabuk lagi, kan?" Kali ini Kendra yang kembali bertanya. Memastikan, apakah kebiasaan buruk yang pernah Erwin lakukan kembali diulang oleh pria itu. "Nggak," geleng Erwin. "Kalian nggak usah khawatir. Aku udah nggak pernah pergi ke Bar atau klab malam lagi." "Bagus," sahut Randa. "Ngerepotin orang lain soalnya. Yang kamu nggak sadarkan diri waktu itu aja, aku sama Kendra sampai pusing sendiri." "Iya. Masa pas kamu nggak sadarkan diri, sama Randa mau dikasih minum antimo," cerita Kendra. Erwin menarik wajahnya dalam. Kenapa juga tiba-tiba Randa saat itu kepikiran memberinya minum obat antimo segala macam. "Buat apaan? Kalian mau bunuh aku?" "Bukan!" geleng Randa. "Sembarangan mau bunuh! Kan antimo obat anti mabuk. Siapa tau aja kalau dikasih minum obat itu, kamu bisa segera sadar dan mabukmu langsung hilang," seloroh Randa tanpa dosa. "Ya nggak nyambung tolil! Mana ada kolerasinya mabuk alkohol dikasih obat mabuk perjalanan. Dasar sepupu gila." Erwin langsung mengomel. Memang sudah nasibnya punya sepupu yang kelakuannya sama-sama kurang ajar dan terkadang sangat absurd. "Ya sudah. Aku mau balik dulu. Kelamaan di sini nanti yang ada kerjaan aku malah terbengkalai." Kendra buru-buru bangkit. Diikuti Randa setelahnya. Kedua pria itu memberi pelukan terlebih dahulu kepada Erwin. Baru setelah pergi meninggalkan ruangan. Belum ada beberapa detik pintu ruangan pria bermata sayu itu tertutup, terdengar kembali suara ketukan pintu diikuti dengan suara derap langkah kaki. Tanpa mendongak, Erwin yang baru saja memfokuskan pandangannya pada layar laptop langsung menegur. Ia meyakini yang masuk barusan pasti adalah sekretarisnya. "Kenapa Alisa? Apa laporan tadi pagi udah kamu selesaikan?" Tidak ada sahutan sama sekali. Mengangkat wajah, Erwin langsung menampilkan raut keterkejutan. Ada sosok wanita yang begitu ia cinta kini tengah berdiri tepat di depannya. "Vicky." Yang disebut namanya langsung menyunggingkan senyum lebar. Melangkah maju. Mendekati posisi di mana Erwin tengah duduk. "Aku nggak ganggu waktu kerja kamu, kan?" Erwin menggeleng. Walau sibuk sekali pun ia tidak akan keberatan menyisihkan waktunya untuk sang pujaan hati. "Kamu kok ke sini nggak bilang-bilang dulu?" tanya Erwin penasaran. Biasanya, memang ia yang menjemput atau menemui Vicky lebih dulu. "Aku kangen banget sama kamu. Kan kita udah tiga hari ini nggak ketemu. Makanya aku langsung samperin aja ke sini." "Maaf, sayang. Beberapa hari belakangan aku emang lagi padat banget jadwal kerjanya. Please, jangan marah." Vicky tersenyum saja. Tidak sedikit pun marah atau kesal setelah mendengar alasan yang baru saja Erwin sampaikan kepadanya. Ia sangat makluk kalau kekasihnya itu sangat sibuk mengurusi pekerjaannya. "Nggak apa-apa. Aku tau kamu sibuk. Yang penting, sekarang aku bisa ketemu sama kamu." Erwin tidak menanggapi apa-apa kecuali menarik tubuh Vicky hingga terduduk tepat di atas pangkuannya. Secepat itu juga ia melabuhkan satu ciuman panjang nan dalam. Ingin rasanya mengobati kerinduan yang tengah dirasakan oleh kekasihnya. "Kamu kangen banget sama aku?" bisik Erwin saat mengurai ciumannya. "Iya dong. Aku pengen peluk kamu lama-lama," balas Vicky seraya mengusap bibir Erwin yang basah karena ciuman mereka sebelumnya. "Gimana kalau kita ke apartemen aku aja? Kamu emangnya nggak pengen kangen-kangenan sama aku?" Mata Vicky tampak mengerling jenaka. Sengaja sekali menggoda pria yang kini sedang memangku tubuhnya. Sedang Erwin langsung menarik sudut bibirnya tinggi. Mana mungkin ia menolak tawaran untuk menghabiskan waktu dengan wanita yang ia begitu cinta. Lagi pula, sudah menjadi hal lumrah mereka berdua menghabiskan waktu bersama. "Ya sudah, ayo kita ke apartemen kamu aja." Maka detik itu juga Erwin bangkit. Mengabaikan pekerjaannya. Lebih memilih untuk pergi. Kalau perlu, hari ini ia tidak perlu pulang ke rumah agar Vicky merasa puas menghabiskan waktu bersama dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD