🎤: Ingrid Michaelson
Kadang hidup tak memberi waktu untuk bertanya ‘kenapa’, tapi langsung membawamu ke bab baru yang tak sempat kamu baca sinopsisnya.
***
‘Kira-kira berapa juta kWh listrik yang dikonsumsi kota Jakarta perhari? Kalau semua manusia melompat bareng, apakah bumi akan bergeser? Kenapa cicak bisa ganti ekor, tapi manusia ngga bisa ganti jari saat typo di chat? Ya ampun, apa sih ini ….’
Ku hela pelan napasku. Rasanya begitu gugup. Aku bahkan tak sanggup menoleh ke pria yang berada di samping kananku. Meski … aku sangat penasaran apa yang ada di benaknya setelah dengan konyolnya aku menerima lamarannya.
Jakarta di malam minggu, tempatnya hiruk pikuk, hiburan, kerlap-kerlip lampu kota, dan kemacetan berpadu. Sudah setengah jam lebih kami di sedan mewah yang dikemudikan pemiliknya sendiri, dan kami masih sama-sama bungkam. Bahkan alunan musik pun tak ada. Sepertinya otak Mas Ay masih memikirkan Kak Ajeng?
‘Aku terlalu banyak mengenal orang bernama Andra, kalau dia ku panggil Mas Ay saja, dia keberatan ngga ya? Atau Ayden saja, ngga usah pakai mas? Atau heh atau hei saja—toh ini cuma pernikahan untuk menutup malu yang entah akan bertahan sampai kapan.’
“Dek? Nara?”
Suaranya beratnya yang menyapa sontak membuatku menoleh. Ia tersenyum simpul.
“Kita sudah sampai,” lanjutnya.
“Oh.” That’s it! Lalu lidahku kelu lagi.
Pria yang masih asing bagiku itu meninggalkan balik kemudi. Ia beringsut ke bagasi, mengeluarkan dua koperku. Ibu bilang, beliau meminta Mbok Ti—ART kami—memasukkan barang-barangku. Sudahlah, meski sebenarnya aku kesal karena kesempatan packing saja tak aku dapat, namun tenagaku sudah kepalang habis digunakan untuk meredam emosi.
Beberapa saat kemudian, pintu di samping kiriku terbuka. “Ayo, Dek?” ajaknya lembut.
Aku mengambil alih salah satu koper—dengan ukuran lebih kecil, yang Mbok Ti bilang berisi perlengkapan pribadiku—begitu keluar dari mobil.
“Aku aja,” ujarku dingin sembari mulai melangkah.
Ia sama sekali tak berkomentar.
Aku mematung di depan pintu yang Mas Ay bilang adalah unitnya, membeku. Di baliknya, ada tempat yang akan ku sebut rumah. Kedua tanganku masih menggenggam erat handle koper andalanku melanglang buana. Apa yang akan terjadi begitu aku melangkah masuk nanti? Akankah aku menyesali langkahku? Benarkah keputusan yang sudah kuambil? Kenapa aku bisa sebodoh itu? Bagaimana jika suatu saat nanti pernikahan ini menjadi bumerang dan menyakitiku?
"Nara?"
Aku terkesiap saat jemarinya lembut menepuk lenganku.
"Nara?" ulangnya sekali lagi. Ah, belum tentu, bisa saja ia sedari tadi memanggilku.
"Iya, Mas?"
"Ada apa? Kenapa melamun?" balasnya.
Aku menghela pelan. Apa pertanyaan itu penting? "Ngga apa-apa, Mas," jawabku malas.
"Ayo masuk,” ajaknya kemudian. Ia men-tap kartu di panel kunci, membukakan pintu lebar-lebar untukku. “Maaf lama, tadi aku lupa naruh key card-nya dimana. Aku ngga pakai panel ber-password karena khawatir ada orang yang ngamatin,” jelasnya.
‘Terserah Mas aja, kan ini unit Mas.’
"Ngga apa, Mas," tanggapku seraya melangkah masuk.
Baru kali ini aku masuk ke sebuah unit mewah. Benar-benar mewah. Namun, langkahku justru terasa berat.
“Mau lihat-lihat unit ini dulu?” tanya Mas Ay.
Aku menatapnya. “Kasih tau aja, mana ruangan yang ngga boleh aku masuki. Atau … barang ngga boleh aku sentuh?”
Keningnya mengerut. Lalu … tak berselang lama, ia menggeleng. “Ngga ada, Dek.”
“Oke,” jawabku.
“Kamu lapar? Mau makan sesuatu?” tanyanya kemudian.
“Mas lapar? Boleh aku ganti baju sebentar baru masak?” Masak? Sejak kapan aku bisa masak? “Rasanya aneh ke dapur pakai baju pengantin.” Ayolah Nara, jangan terlalu mendalami peran! Kalau dia mengiyakan, memangnya aku bisa apa selain membuat dapur bak kapal karam?
Ia tersenyum, dan kembali menyusulkan gelengan. Ingatkan aku untuk bersyukur. “Aku tanya kamu, Nara. Apa kamu lapar dan mau makan sesuatu?”
“Ngga,” jawabku singkat. Masih dengan nada acuh tak acuh.
“Kita istirahat saja kalau begitu,” tanggapnya.
“Hmm.”
"Nara?"
"Iya, Mas?"
"Maaf ya."
"Untuk apa?"
"Kamu pasti belum bisa menerima keadaan ini."
Aku diam saja seraya menundukkan kepalaku. Rasa sesak yang sedari tadi menyelinap di dad4, kian membuncah. Aku … ingin sekali menumpahkan emosiku.
"Kamu punya pacar?" Sungguh pertanyaan tak terduga dari seorang pria yang baru beberapa jam menjadi suamiku. Maksudku, kenapa dia baru bertanya sekarang? Bukankah harusnya sebelum ia kembali duduk berhadapan dengan Ayah?
‘Sabar, Nara.’
Aku menggeleng pelan. "Baru putus kemarin, Mas,” tuturku.
“Kemarin kapan?”
“Ya kemarin. Sebelum hari ini. Masa gitu aja harus dijelasin sih?” Suaraku terdengar sinis. Aku menggigit bibir bawahku. Ya ampun, baru juga hari pertama, aku sudah bersikap menyebalkan pada suamiku.
"Kemarin banget?" tanya Mas Ay lagi.
Aku memutar bola mataku. "Kemarin banget, Mas,” jawabku malas.
Mas Ay mengangkat tangannya, mengusap-usap tengkuknya sendiri. Entah apakah karena aku sudah teramat lelah, aku melihat kedua sudut bibirnya bergetar, dan ada senyuman tipis yang sempat tersungging.
"Mau cerita?" tanyanya lagi.
Hah? Untuk apa aku mau menceritakan salah satu nasib burukku yang baru saja lewat? Memangnya aku kurang kerjaan? "Ngga, Mas. Rugi ngomongin mantan. Mereka ngga sepenting itu untuk dibicarakan,” jawabku, betah dengan nada tak bersahabat. Siapa juga yang mau menjalin persahabatan dengannya?
Konyol memang! Suamiku malah tertawa geli. Entah di mana bagian lucunya, sepertinya terlewat olehku.
"Pintar kamu, Nara," ujarnya kemudian.
"Iya, Mas. Aku summa cumlaude,” tanggapku.
Gelaknya kian menjadi.
Puas tertawa, tangan kanannya terulur, mengacak-acak pucuk kepalaku. “Kamu lucu.”
“Itu pujian?”
“Iya.”
“Syukurlah. Ternyata aku punya bakat terpendam.”
Sepertinya, perkiraanku salah, ternyata … pernikahan ini tak menjadi beban untuknya. Apakah akan terus begini kalau Kak Ajeng pulang nanti?
"Ayo, kita ke kamar,” ujar Mas Ay kemudian, memecah lamunanku. “Aku tunjukin walk in closet kita, biar kamu bisa nyimpen barang-barangmu," ujarnya seraya mengambil koper dari tanganku dan membawa keduanya—dengan yang ia bawa sedari tadi—ke dalam kamar utama di unit ini.
Unit apartemen ini berada di area Jakarta Selatan. Bagiku yang masih berstatus bud4k corporate level dasar, memiliki unit di wilayah bernilai tinggi seperti ini belum pernah masuk ke dalam dream list-ku. Ya bayangkan saja, unit yang kami huni dengan tiga kamar tidur dan dua kamar mandi sudah seharga 25 milyar rupiah. Jangankan mencicilnya, mendengar harganya saja aku sudah megap-megap. Oh, aku ingat, unit ini dibeli Mas Ayden cash. Mungkin dia punya mesin cetak uang sendiri di salah satu kamar di unit ini.
“Mas?”
“Ya?”
“Nara boleh nanya?”
“Boleh. Soal apa?”
“Unit ini beneran Mas beli cash?”
“Kamu mau lihat kuitansinya?” tanyanya antusias. Ya, antusias! Luar biasa bukan?
“Ngga sih.” Aneh banget ini orang! Suami siapa coba?
“Dan sudah lunas,” sambungnya. “Jadi, kamu ngga perlu pusing ngatur keuangan kita untuk membayar cicilan besar. Kita juga punya dua mobil; sedan tadi, dan satu SUV. Dua-duanya aku beli second, tapi kualitasnya masih oke banget. Aku ngga suka beli mobil baru, karena nilainya bakalan anjlok seiring waktu. Tapi, kalau kamu kepingin mobil baru, nanti aku suruh orang showroom ke kantor untuk bawain katalog terbaru. Oh iya, kita juga punya moge, Nara. Dan satu skuter matic. Semua kendaraan kita sudah lunas. Aku ngga punya hutang, kecuali hutang budi sama kamu.”
Aku terkekeh. Singkat, aneh, dan garing.
Mas Ay mengusap tengkuknya lagi. “Aku kebanyakan ngomong ya?”
Iya banget! “Ngga apa-apa, Mas,” tanggapku.
"Itu walk in closet-nya ya, Nara," ujarnya kemudian seraya menunjuk sebuah pintu.
Aku berjalan mendekat, meraih handle pintu, lalu menggesernya lebar-lebar.
Mulutku menganga. Namun kakiku tetap melangkah pelan ke dalam ruangan yang ukurannya bahkan melebihi kamar mungilku di rumah Ibu dan Ayah. Sampai-sampai, aku refleks berdecak kagum menatap baju-baju yang terlipat dan tergantung rapi di dalamnya.
"Mas?" panggilku.
Mas Ay ikut masuk ke dalam ruangan ini, duduk di sebuah kursi yang berada di sana sedari awal.
"Mas ... ini baju siapa?" tanyaku, merujuk ke gaun-gaun indah yang terpajang rapih.
"Kamu ngga suka?" Ia balas bertanya.
Aku menelisik lagi semua gaun itu. Dari bahu hingga ke tepi bawah. Dan ku sadari, panjang baju-baju itu tak sesuai dengan tinggiku. Mas Ay, pasti menyiapkan ini semua untuk Kak Ajeng bukan? Tentu saja begitu, yang seharusnya menikah dengannya kan bukan aku.
"Nara?"
Otakku sibuk merangkai kalimat, menyusun kata yang kira-kira tak menyinggungnya. "Baju-bajunya untuk orang tinggi, Mas. Tinggiku cuma 155 cm. Aku bisa kayak hantu pakai baju-baju ini." Aku mengambil satu, kutempelkan di bagian depan tubuhku agar Mas Ay tak mengira aku mengada-ada.
Kini ia yang terdiam. Sorot matanya yang tadinya hangat dan … senang, jadi meredup.
"Oh, ya udah Mas, ngga apa-apa,” ujarku lagi. Biar bagaimana pun, ia suamiku. Aku tidak punya rencana mengecewakannya di hari pernikahan kami. “Nanti ku bawa ke tukang jahit langganan saja. Biar dipotong sesuai tinggiku."
Ia mendengus keras. "Ngga usah, Nara. Maaf.” Aku tau itu tulus. “Biar besok aku minta orang membuang semua baju-baju ini dan menggantinya dengan ukuranmu."
"Dibuang?" Suaraku nyaris memekik. Apa dia tak salah bicara?
"Iya," jawabnya enteng lalu menaik-turunkan bahu.
"Tapi Mas—"
"Ngga apa, Nara. Kalau dipotong dan disesuaikan dengan tinggi kamu, jatuhnya pasti jelek."
"Maaf ya, Mas ... bukan begitu maksudku."
"Aku yang seharusnya minta maaf. Bukannya kamu."
Aku memaksakan senyum, mencoba bersikap ramah pada suamiku sendiri.
“Mas mau buang baju-baju ini ke mana?”
“Paling aku suruh Kalista urus.”
“Oke.”
“Kenapa?”
Aku mengatupkan bibir, menggeleng.
“Ada apa, Nara?” desaknya lagi, seolah tau aku menelan kembali kata-kataku.
“Kalau Nara aja yang urus gaun-gaun ini, ngga boleh, Mas?”
“Mau kamu apakan?”
“Jual, preloved?”
“Nanti kamu repot. Biar Kalista saja.”
“Tapi bakalan Kalista yang repot jadinya, Mas.”
“Biar saja. Aku ngga pernah protes direpoti dia. Jadi, dia ngga boleh ngeluh.”
‘Padahal kalau kejual uangnya lumayan buat ongkos ke kantor.’
Aku mendengus pelan. Tak mungkin kan aku menunjukkan sisi matrialistisku di malam pertama pernikahan.
“Besok pagi, ayo kita bicara soal keuangan. Kamu ngga perlu susah-susah jual baju bekas untuk dapat tambahan uang jajan,” ujar Mas Ay kemudian, seolah baru saja membaca isi kepalaku.
“Memangnya Nara anak kecil ngarepin uang jajan?” gumamku kesal.
Mas Ay malah terkekeh renyah.
"Beristirahatlah, Nara. Kalau ada yang kamu perlukan, aku ada di kamar samping ya," ujarnya lagi.
Keningku sontak mengerut. "Mas mau ngapain di kamar samping?"
"Tidur, Nara,” jawabnya sembari tersenyum.
"Oh, malam ini, kita tidur di kamar samping?"
"Bukan, Nara. Kamu tidur di kamar ini. Aku di kamar sebelah," jelasnya kemudian, tanpa beban.
Tiba-tiba saja, rasa tak nyaman yang sebelumnya sudah mulai menguap, kini menghantam keras dadaku kembali. Aku sungguh tersinggung dengan ucapannya.
"Kenapa begitu?” tanyaku, ketus. “Mas ngga ikhlas menikahi aku?"
Kening suamiku ikut mengerut. "Nara ... kok ngomong begitu?"
"Mas masih nunggu Kak Ajeng?" cecarku lagi.
Ia menutup kedua matanya sembari menghela napas, sejenak saja. "Bukan begitu, Nara," tanggapnya kemudian.
Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh, menahan kecewa yang membuncah bak buih-buih air mendidih. "Kalau Mas menikahiku hanya untuk memancing Kak Ajeng agar segera kembali, aku harap usaha Mas berhasil!" sarkasku.
Mas Ay membeku. Ia hanya memandangku. Kelu.
"Tapi sampai Kak Ajeng datang, aku akan bersikap selayaknya seorang isteri. Dan ngga ada pisah ranjang di kamus pernikahanku. Sekalipun mungkin ini pernikahan main-main untukmu, Mas!"
Aku berjalan melewatinya, keluar dari walk in closet, meninggalkannya yang masih bergeming di dalam sana. Jemariku menyambar bathrobe yang tergantung di dinding, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Begitu shower head menyala dan suara rintik air memenuhi ruang, tangisku … pecah.