01. AYDEN: 🎵 REWRITE THE STARS
🎤: James Arthur, Anne Marie
Terkadang, saat hal terburuk terjadi, Tuhan memperlihatkan dua hal; warna sesungguhnya orang yang kita perjuangkan, dan sebuah kesempatan untuk meraih impian yang terlupa.
***
“Ajeng menghilang, nak Andra.”
Pria yang barusan bicara adalah Gading Indrajaya—calon ayah mertuaku. Kedua matanya merah, wajahnya pias seolah darah tak mengalir ke sana, pun keringat deras mengalir di kening, pelipis dan lehernya—meski suhu ruangan ini terasa sejuk bagiku.
“Esa sudah berusaha mencari. Tapi ngga ketemu,” ujarnya lagi, merujuk ke bungsunya. “Om juga ngga kepikiran itu anak ke mana.”
Aku menoleh ke Gita Hapsari—perempuan terkasih yang aku panggil Mama, beliau menganga dengan wajah kesal, namun tak ada satu kata pun terlontar dari mulutnya. Lalu aku alihkan pandanganku ke Pandu Nakula Adhitama—panutan hidupku yang aku sapa dengan panggilan Papa, beliau memejamkan mata sambil memijit pelipisnya. Sama, seolah kemampun berbicara Papa menguap dan tak meninggalkan bekas.
“Nak Andra mungkin tau?” Ia ikut menyumbang tanya. Adalah Ningrum Maharani—calon ibu mertuaku. Belum ada pembatalan pernikahan, jadi status hubungan di antara kami masih demikian bukan?
Sudah satu jam terlewat dari jadwal akad nikah yang ditetapkan, namun tak ada tanda-tanda kedatangan tunanganku. Lucu bukan, kejadian yang katanya hanya ada di drama-drama televisi, ternyata dialami seorang Andra Ayden Adithama. Keluarga dan kerabat terdekat mulai berbisik-bisik di belakang kami, meski sebagian ada yang memberanikan bertanya ke keluarga kandung. Padaku, tentu saja meski mereka mencoba, aku tak akan memberi jawaban.
“Kalau Mas Andra tau, ngapain dia capek-capek ke sini?” Kalista, adik semata wayangku, yang menjawab. “Aneh banget pertanyaannya!”
Aku tidak tau harus bereaksi seperti apa. Rasanya … konyol!
“Gila banget sih ini! Ngga ngotak banget tunangan lo, Mas. Bilang Kek seminggu yang lalu kalau ngga mau nikah sama lo. Jangan tau-tau ngilang begini! Bikin malu banget!” Ternyata Kalista belum selesai menumpahkan kekesalannya. “Duh Mas, abis-abisan dari segala sisi sih ini.”
“Mungkin Ajeng ngga bermaksud begitu, nak Kalista,” sanggah Tante Ningrum di sela tangisnya, mungkin ia masih berharap Ajeng datang dan meminta maaf pada kami. Misalnya membawa alibi salah keluar tol dan akhirnya harus memutar jauh sementara lalu lintas di jalan arteri bak pelataran parkir. Masalahnya, otak ini pun tak bisa menerima kemungkinan tersebut.
“Iya, Ajeng ngga bermaksud seperti itu.” Mama menimpali. “Menurut kalian!”
“Jeng Gita …”
“Kalian juga salah! Anak satu hari lagi mau menikah kok diizinkan pergi?”
“Ajeng hanya pamit ke klinik kecantikan, Jeng.”
“Tanpa ditemani? Jangan-jangan kalian sekongkol ya ingin mempermalukan kami?” Suara Mama kian meninggi. Papa mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk lembut punggung Mama. “Harusnya dari kemarin mereka ngomong ke kita, Mas. Ini sekeluarga memang edan! Sinting!”
“Kami juga malu, Mbak Gita,” ujar Om Gading. Dari ekspresinya yang sendu, jelas jika ia tak mencoba membela diri.
Aku duduk di tengah kericuhan itu, mendengar semua kalimat tanpa satu pun yang bisa kujawab. Karena … kami semua tak siap menghadapi ini.
“Itu penghulunya masih nunggu, lho Yah, Bu.”
Aku menoleh ke sumber suara, menatap seorang gadis yang tampak lebih dari ayu di hari ini. Manglingi kalau kata Mama pagi tadi saat ia menyambut rombongan kami. Seseorang yang pernah aku minta pada Allah agar dijodohkan denganku. Sayangnya ....
Padahal, ia tak bicara sepatah kata pun sejak tadi.
Wajahnya tenang, namun aku tau, ia pun tak kalah malu. Ia yang sudah ketiban lelah mewujudkan kerewelan Ajeng, kini malah harus ikut menanggung aib yang dilemparkan kakaknya.
“Apa ada yang kalian ributkan belakangan ini, nak Andra?” Seolah tak mengindahkan apa yang dikatakan putri keduanya barusan, Om Gading justru melontarkan pertanyaan baru padaku.
“Maksud kamu, gara-gara Andra makanya Ajeng pergi?” Suara Mama kembali meninggi.
“Bukan begitu, Mbak Gita.”
“Saya dengarnya begitu! Sepanjang yang saya amati, selama mereka pacaran, Andra terus lho yang ngalah sama Ajeng. Kenapa jadi Andra yang kamu tuding?”
“Mbak, maksud suami saya tidak begitu,” ujar Tante Ningrum, frustasi.
Mama mendengus keras, bahkan rangkulan Papa tak mampu menenangkan beliau seperti biasanya.
“Sudahlah, ayo kita pulang, Mas, Ma, Pa,” ajak Kalista kemudian. “Mau ngapain kita di sini? Malah makin malu. Biar aja mereka yang jawab kenapa ngga jadi ada pernikahan!”
Aku masih bergeming, mencoba mencari solusi di tengah suasana tegang di sekitar. Namun, semakin dipikirkan, semakin pikiranku mengarah ke solusi gila. Entah dari mana keberanian itu datang.
“Nara .…”
Ia menoleh padaku, perlahan.
Aku tidak pernah merasa sekacau ini, dan satu-satunya hal yang terasa benar hanyalah dia, seolah kehadirannya memaksaku untuk kembali ke titik awal.
“Menikahlah denganku.”
Permintaanku itu meluncur begitu saja. Jelas. Lantang.
Aku membawa langkahku, mendekatinya, berdiri berhadapan dengannya.
Ruangan mendadak hening. Semua menoleh. Bahkan Papa dan Mama ikut terdiam, tak percaya pada apa yang baru saja mereka dengar.
“Nak Andra?” tanya Om Gading pelan, wajahnya kian pias.
Aku menarik napas dalam, menghela pelan. “Ajeng tidak datang. Apa pun alasannya, kami tidak ditakdirkan bersama. Dan aku tidak ingin mempermalukan siapa pun di ruangan ini.”
“Dengan mengorbankan saya?” Nara nyaris memekik, kedua matanya memerah dan tergenang air mata.
“Mas, menikah bukan hal kecil,” ucap Papa akhirnya. “Jangan macam-macam kamu!” tegas beliau kemudian.
“Justru karena ini bukan hal kecil, Pa.” Aku menatap Papa, lalu kembali pada Nara. “Aku sudah mengenal Nara cukup lama. Lebih lama dari aku mengenal Ajeng.”
Kening Nara sontak mengerut. Ia menatapku penuh tanda tanya. Masalahnya, waktu terlalu sempit untuk menjelaskan banyak hal.
“Dan aku akan melakukan apa pun untuknya, dengan cara yang lebih jujur dan gila daripada yang pernah aku coba dengan Ajeng,” lanjutku.
“Coba?” Dari sekian banyak kata yang aku gunakan dalam kalimatku, hanya satu kata tersebut yang Nara pertanyakan. Ia lalu menyeringai, mungkin tak habis pikir atau tak bisa memahami apa yang ada di relung pikiranku.
Air mata jatuh mengalir di pipi Mama. “Mas Andra ….” Hanya namaku yang beliau sebut, kembali tak mampu menguntai kata.
Bisik-bisik keluarga dan kerabat di luar ruangan ini kian jelas terdengar, aku menghempaskan napasku dengan titik pandang yang tertuju ke ujung sepatuku. Sungguh, entah apa rencana baik yang Allah siapkan untukku.
“Ya.”
Aku menoleh ke Nara. ‘Ya? Apa yang ya?’
Kata itu terucap pelan. Namun cukup jelas untuk membuatku menahan napas.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Ainara Manggarani Indrajaya binti Gading Indrajaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Akhirnya, tunai sudah ikrar kabul aku ucapkan.