04. AYDEN: 🎵 YOU ARE THE REASON

2202 Words
🎤: Calum Scott Sarapan gosong, hati berantakan. Tapi bukankah semua kisah besar dimulai dari kekacauan kecil? *** Kemudian aku diam. Pertanyaan Nara begitu menusuk—bukan karena tuduhannya sepenuhnya salah, namun karena aku tau, aku pantas diragukan, dicurigai, disalahkan. Ia menatapku lekat, mungkin mencoba mencari celah kebohongan. Matanya telihat merah sembab, sepertinya akibat dari kelelahan menangis saat ia begitu lama di kamar mandi tadi. Keningnya lalu mengerut, seolah tubuh kecil ini tengah bersiap menumpahkan ledakan emosi dari dadanya. Satu kalimat sedari tadi bercokol di ujung lidahku—aku menikahimu karena aku ingin, bukan karena kamu kebetulan ada di sana. Tapi bibirku terlalu kaku untuk mengucapkannya. Lagipula, dengan situasi seabsurd ini, adakah jawaban yang bisa terdengar masuk akal di telinganya? “Apa maksud Mas menikahi aku kalau Mas tau di mana Kak Ajeng?” ulangnya. Tegas. Namun … suaranya retak. Jika aku salah menjawab, kekacauan di malam pertama pernikahan kami pasti tak terhindarkan. “Nara,” lirihku. “Jawab, Mas!” Ia nyaris memekik. Kedua tangannya mengepal di dadaku, mendorong kuat, berusaha melepaskan diri. Refleksku bekerja, mengeratkan rengkuhanku. Tidak, aku tidak ingin ada pertengkaran yang menjauhkanku dengan istriku. Aku tak mau membiarkan jarak terbentuk di antara kami. Aku tak mau membiarkan keraguan bertumbuh menjadi tembok pemisah tak kasat mata. Yang aku inginkan adalah, apa pun itu, baik canda, bincang ringan, bahkan perseteruan … semuanya harus kian mendekatkan kami. “Setau aku ….” Aku mendengus pelan, memilah setiap kata. “New York,” ujarku akhirnya. “Fashion Week. Dia dapat tawaran mendadak untuk jadi salah satu model. Katanya ini mimpinya sejak dulu.” “Setau Mas?” Aku mengangguk. “Cuma itu hal serius yang dia ceritain ke aku belakangan.” “Maksud aku …Mas tau pasti ngga Kak Ajeng di mana?” “Apa aku harus minta kenalanku di New York buat nyariin dia? Mau sekalian aku pasang iklan ‘Ajeng Hilang’ di Times Square?” Aku mencoba melontarkan sedikit humor sarkas, namun Nara justru mendengus keras, ekspresinya kian kesal. ‘Apa aku salah jawab?’ “Mas ngga jelas ih!” rajuknya. Faktanya, aku memang tidak tau di mana Ajeng. Sama sekali. Soal tawaran Fashion Week itu benar Ajeng sempat cerita, namun ia tak pernah mengatakan padaku apakah ia akan mengambilnya. Aku pun, tak pernah tertarik untuk menanyakan keputusan finalnya. Kami kan belum menikah, jadi aku ngga boleh seenaknya ikut campur dalam karirnya, bukan? “Kamu maunya aku jawab apa, Dek?” tanyaku, melembutkan suaraku. Nara berhenti memberontak. Aku melembutkan rengkuhanku. Ia kemudian mendongak, mempertemukan titik pandang kami. Tak langsung bicara, namun sorot matanya menandakan ia tengah memikirkan sesuatu. “Mimpinya Kak Ajeng?” gumamnya. Ia lalu mendengus. “Dan Mas ngga ngelarang waktu Kak Ajeng cerita? Mas ngizinin?” cecarnya lagi. “Mas, bahkan Ibu dan Ayah ngga tau dimana Kak Ajeng saat ini." “Nara ….” Aku membelai lembut punggungnya, menenangkan. “Kalau aku ngizinin, aku dan keluargaku ngga akan datang ke venue pernikahan. Buat apa?” balasku selembut mungkin. Ia terdiam. “Aku ngga pernah comment soal rencana karirnya. Karena dia juga ngga minta.” Lebih tepatnya, aku tak terlalu peduli. Jika di tengah masa persiapan pernikahan kami ia mundur karena ingin mengejar karir, sepertinya aku tak akan mengajukan keberatan. Aku mengatup bibir sejenak, mengatur napas. “Dia baru mengabariku selepas akad nikah, Nara,” lanjutku. “Dia? Kak Ajeng ngubungin Mas?” Aku mengulurkan tanganku, meraih ponsel yang aku letakkan di atas nakas terdekat dengan Nara. Gerakan itu membuat tubuh kami kian menempel. ‘Kedengaran ngga ya detak jantung gue?’ Berpura-pura kewarasanku tetap terkendali, aku membuka aplikasi chat di gawaiku. Sebuah pesan singkat dari Ajeng aku tunjukkan pada istriku. Ajeng: I went abroad. Sorry. Ia terdiam. Aku tak membalas pesan itu, jadi tak ada lagi yang perlu Nara baca. Ku singkirkan segera gawaiku. Iris matanya yang indah bergetar pelan, tatapannya menerawang, sepertinya tengah mencerna situasi yang terasa aneh ini. “Kak Ajeng tau kita menikah?” tanyanya kemudian, terdengar ragu. Aku menghela napas pelan. “Ya,” jawabku. “Harusnya dia tau.” Kami menikah resmi, meski akad mundur beberapa jam karena menunggu Nara bersiap dan mengubah data-data calon mempelai wanita lebih dulu. Lalu, resepsi pernikahan juga tetap berjalan sesuai rencana. Jadi, kecuali Ajeng berada di antah-berantah tanpa jaringan berbagai frekuensi dan alat elektronik, harusnya ia tau jika aku menikahi Nara. “Terus?” “Apa yang terus, Nara?” “Kenapa Mas ngga balas chat-nya Kak Ajeng?” “Memangnya harus aku tanggapi?” “Seenggaknya Mas bisa tanya benar ngga dia di New York?” “Kamu aja yang tanya, Dek. Ngapain aku kepoin perempuan lain? Aku sudah beristri.” Ia mendengus keras. “Can we stop talk about this?” pintaku kemudian. “Mas ....” “Pernikahan kita akan kekal selamanya,” ujarku tegas. Nara terkekeh, namun bukan senyum bahagia, sorot matanya tetaplah sendu. “Tadi Mas mau pisah kamar lho. Sekarang sudah ngomongin kekal selamanya?” “Apa kamu ngga bisa mempercayai aku?” “Mas …” "Aku mencintaimu, Nara." Nara membelalak, entah karena ia kaget mendengar pengakuanku lagi dan merasa tak nyaman, atau karena ia tak memang tak sedikitpun menaruh kepercayaan padaku. “Mas Ay! Aku lagi serius lho ini!” “Kenapa Mas Ay? Ay itu apa? Karena kamu ay-ang aku?” Ia sontak tergelak. Senyumnya … teramat manis. Tawanya terdengar merdu. “Ge-er banget sih!” tanggapnya. “Aku banyak kenal orang yang namanya Andra.” “Panggilan sayang?” timpalku dengan ekspresi datar, masih menggodanya. “Mas diam ih! Udah sih ngga usah dikomen! Nyebelin!” omelnya. “Aku panggil kamu Dek Ai? Ai-ang.” “Mas!” Sekuat tenaga, ku tahan tawaku. Aku menarik napas dalam, lalu menghela pelan. “Aku mencintaimu, Nara,” ujarku lagi. “Aduh!” rintihku, ada yang nyeri dan panas yang muncul di pinggangku. ‘Istri kalau melakukan kontak fisik, namanya sayang kan—biarpun rupanya adalah cubitan?’ “Kalau Kak Ajeng pulang bagaimana?” tanya Nara kemudian. Aku mendengus. “Aku tetap mencintaimu.” “Bukan itu maksudku, Mas!” “Aku mencintaimu, Nara,” ulangku lagi. “Mas!” Ia mengerang frustasi. “Bisa serius ngga sih?” Aku menatapnya dalam. “Aku serius. Aku mencintaimu. Sangat.” Ia mengempaskan napasnya. “Mas Ay!” Aku suka caranya memanggilku. Senyumku merekah. “Apa baiknya aku panggil kamu; Dek Ai?” “Garing!” “Kriuk?” sahutku, menahan kekehan. “Malah senyum coba!” rajuknya. “Mas iiih … bukan soal perasaan yang mau aku bahas. Apalagi soal panggilan.” “Semuanya berujung ke perasaan, Nara. Perasaan kamu, juga perasaan aku,” tanggapku. “Aku tau kamu marah,” lanjutku, selembut mungkin. “Menikah dengan orang asing pasti ngga mudah untuk kamu. Apalagi orang asing itu mantan tunangan kakakmu sendiri.” Tersua jeda sejenak, kuperhatikan saksama indah parasnya. “Kamu boleh kecewa, marah, benci sama aku. Aku bisa mengerti. Tapi, jangan pernah ragukan satu hal—perasaanku ke kamu. Sekalipun kamu pikir itu gila.” Nara tertawa getir. “Ya memang gila, Mas.” Aku tersenyum. Mengangguk tipis. “Tapi aku ngga punya niat busuk sedikit pun.” “Kalau pun yang Mas bilang benar, itu semata-mata karena kewajiban. Seorang suami harus mencintai istrinya. Iya kan?” tanggapnya, suaranya begitu pelan, nyaris seperti gumaman. “Aku ngga boleh mencintai istriku?” “Bukan begitu, Mas ….” “Nara ….” “Mas,” panggilnya lirih. “Ya?” “Jangan lagi Mas bilang mencintai aku kalau Mas masih berharap Kak Ajeng kembali.” Ya ampun, istriku saja yang begini, atau memang perempuan kebanyakan begini? Mama pun sering kesal tak jelas pada Papa jika mengingat mantan pacar Papa dulu. Aku mendecak pelan. Ia mengatupkan bibirnya rapat. “Terus, kenapa kamu menerima pinanganku?” balasku. “Nara ngga tega sama Ibu dan Ayah.” Ia bahkan tak perlu waktu untuk memikirkan jawaban tersebut. Hatiku berdenyut nyeri untuk kemustahilan yang aku sadari sejak awal. Tidak mungkin Nara mencintaiku, bahkan menyadari kehadiranku pun ia tak pernah. “Cuma itu?” “Memangnya Mas mau alasan apa lagi?” “Oke,” tanggapku, berusaha terlihat tak kecewa. “So, kalau Kak Ajeng pulang bagaimana, Mas?” tanyanya lagi. Kenapa Nara takut sekali aku tidak mau memperjuangkannya dan pernikahan kami? “Kita cerai?” Aku membelalak. Ya Allah, apa semudah itu kata cerai menjadi pertimbangan? “Sama seperti pisah ranjang tidak ada di dalam kamus pernikahanmu, maka cerai hidup juga tidak ada dalam kamus pernikahanku. Cukup jelas, Nara?” Aku mendengus frustasi. “Kalau Ajeng kembali, aku tetap suamimu, aku tetap mencintaimu.” Ia terdiam. Dan akhirnya, aku melihat rahangnya mengendur. Ketegangan itu ... sepertinya mulai mencair. “Mas?” "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Nara." Aku menutup kedua mataku. Tubuhku lelah. Lagipula, sepertinya aku tak mungkin meminta hak ku malam ini, dalam situasi batin Nara yang masih gamang. “Mas Ay …” panggilnya lagi. Cukup! Tidak ada lagi pembicaraan soal Ajeng! "Aku ... cinta kamu ... Nara," balasku sebelum lelap mejemput. *** Tanganku meraba-raba saat mendengar bunyi dering ponsel. Mata masih kukatupkan rapat-rapat—efek dari kelelahan yang teramat sangat. Aku hanya sempat bangun sebentar tadi untuk salat subuh bersama istriku. Setelahnya, kasur seolah menyedot seluruh sisa kesadaranku. Dengan kelopak mata yang malas kubuka, kusematkan gawai ke telinga. “Halo?” sapaku, parau. Rasanya, nyawaku masih beredar entah di mana. “Mas?” balas seorang perempuan. “Assalammu’alaikum,” lanjutnya. Mataku langsung terbuka lebar. “Wa’alaikumsalam. Ibu?” Aku menjauhkan ponsel, memeriksa nama penelpon di layar. Benar, ternyata ibu mertuaku. “Ada apa, Bu?” tanyaku kemudian seraya duduk perlahan. “Maaf kalau Ibu mengganggu pagi kalian,” ucap beliau. “Oh, ngga apa-apa, Bu,” jawabku, mengusap wajah, berusaha mengusir sisa kantuk. “Nara di mana, Mas?” “Nara?” Aku menyapukan pandangan ke sekeliling kamar. Kosong. Tidak ada tanda-tanda kehadiran istriku. “Sebentar, Bu.” Dengan kantuk yang masih cukup hebat, aku memaksa berdiri, melangkah gontai menuju kamar mandi. Namun, ia tak ada di sana. Di saat yang sama, aroma yang agak aneh—seperti ... ada yang terbakar?—menyelinap ke hidungku. Aku mengernyit. “Mmm … Mas baru bangun, Bu. Nara ngga ada di kamar. Kayaknya di dapur,” jawabku. Ada perasaan tak tenang menyertai. Terdengar helaan napas berat dari seberang. “Astaghfirullah.” “Hah? Kenapa, Bu?” “Coba dilihatin dulu, Mas. Nara ngga bisa masak. Nanti ngebul dapur kalian.” “Ngebul?” Alisku terangkat, sementara aroma itu kian menguat. “Iya! Lihat dulu sana,” seru beliau, cemas. “Iya, Bu,” jawabku. “Ada yang perlu Mas sampaikan ke Nara, Bu? Atau Ibu mau ngomong langsung?” tanyaku kemudian setelah menyeka wajah dengan air dan membersihkan sudut-sudut mataku. “Ibu takut Nara masak. Itu aja.” Aku terkekeh. “Ya sudah, Mas. Ibu tutup ya? Jangan lupa kabari kalau kalian mau berangkat.” “Oke, Bu.” "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam, Bu." Panggilan terputus. Aku meletakkan ponsel di nakas, menghela napas panjang. Baiklah mari kita lihat apa yang terjadi. Aku berjalan keluar kamar. Semakin mendekat ke arah dapur, semakin jelas aroma ... apa ini? Bau mentega gosong? Atau ... plastik terbakar? Begitu area dapur terlihat olehku, aku ... tertegun, menutup mulutku yang menganga. Dapur berantakan total. Ada tepung berserakan di lantai seperti butiran salju musim dingin. Sebuah panci kecil menghitam di atas kompor, dan wajan tergeletak miring di samping wastafel dengan genangan air tumpah ruah di sekitarnya. Nara—istriku yang mungil dan tampak panik—sedang berdiri dengan ekspresi horor di depan oven yang pintunya menganga lebar. Tangannya penuh bekas adonan, wajahnya sedikit terhias tepung, dan apron kebesaran tergantung miring di tubuhnya. Aku nyaris tertawa. Nyaris. "Dek Nara?" seruku pelan. Ia menoleh dengan mata membelalak. "Mas ... aku cuma mau bikin roti bakar," ujarnya gugup, seperti seorang anak kecil yang baru saja ketauan melakukan kesalahan. Aku menatap panci hitam, oven terbuka, wajan basah, tepung yang menghalangi jalanku ke dapur. "Roti bakar?" ulangku, menahan diri untuk tidak tertawa di tempat. "Iya," jawabnya polos. "Tapi ... aku keasyikan ngaduk adonan pancake juga. Terus ... terus air di rice cooker buat masak nasi kurang, aku pikir kalau dikasih air panas bisa matangin nasinya. Terus ... aku mau goreng sosis, tapi minyaknya muncrat! Aku takut! Aku siram air! Eh, malah makin meledak-ledak, Mas!" Aku menatapnya—makhluk mungil yang kini tampak seperti karakter anime habis dikerjai—dan akhirnya, tawa pecah dari bibirku. Seketika suasana menjadi cair. Nara merengut. "Mas Ay malah ketawa! Ih, jahat banget! Aku udah berjuang bikinin Mas sarapan tauuu!" Aku menghampirinya, menepuk kepalanya lembut lalu memeluknya sejenak. "Pejuang roti bakar dan korban kitchen war, ya?" candaku, masih terkekeh. "Ih, Mas nyebelin!" Ia memukul lenganku pelan dengan tangan penuh adonan, noda tepung otomatis tertinggal di piyamaku. Aku mengurai pelukan, mengacak-acak surainya, gemas. "Ayo, kita bersih-bersih dulu. Habis itu, kita panasin moge sambil beli sarapan di luar. Deal?" “Mas ngga marah?” “Terima kasih atas hiburan paginya, Dek Ai.” “Mas!” “So?” tanyaku di tengah gelak. “Mau masak aja? Atau mau jajan?” "Jajan," jawabnya, lalu mencengir. Dan pagi kami—meski dimulai dengan kekacauan dapur berskala kecil—akhirnya berakhir dengan tawa, canda, dan ... secuil kebahagiaan baru. Rumah tangga kami … pasti akan selalu baik-baik saja kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD