Bab 10. Cerita Hidup

1497 Words
Bramantyo sudah dirumah, tiba tiba ponsel Bramantyo berbunyi, dilihatnya nama Anggita disana. " Tyo, besok kita ke butik yah memastikan baju yang akan kita gunakan aku sudah memilih jas yang akan kau gunakan dengan menggunakan kannya ukuran jas kantor mu. Tapikan kita perlu datang untuk memastikannya" terdengar suara Gita merengek manja berbicara panjang lebar sementara Bramantyo hanya diam saja sibuk melihat sebuah email laporan yang harus ia periksa. "Tyo apa kau tak mendengarku", teriak suara di seberang. Padahal Anggita baru saja dua bulan ini di kenalkan ke Bramantyo tapi sudah seperti orang yang paling harus ia dengarkan. " Apa kau tak ingat kataku tadi pertunangan ini aku batalkan aku tidak begitu mengenalmu apalagi mencintaimu, kemarin itu memang aku berusaha untuk mengenal mu dan memahami sifat sifatmu tapi aku semakin muak untuk apa ku jalani pertunangan ini, secara bisnis pun tidak ada untungnya hanya menuruti permintaan Mama tapi dengan syarat aku mengenali sifat mu dulu, dan sekarang aku mengatakan tidak suka dengan semua tingkahmu dan rencana itu batal toh yang rugi kami dan kamu tinggal pergi saja dari hidupku" kata kata Bramantyo yang memang menyakitkan tapi dia memang sangat muak dengan kelakuan Anggita yang seolah olah Bram lah yang bucin padanya. Ia lalu menutup panggilan. Bramantyo keluar dari rumah nya sebelum dengan menggunakan kaos oblong dengan jaket kulit hitam. Iya memasuki mobil sebelum Mama Leni menyadari dan pasti sekarang Anggita sudah menelpon dan menceritakan keputusannya. *** Hanin sengaja meminta Bram menjemput nya di depan sebuah swalayan dekat rumahnya. Dia tidak mau untuk saat ini Bram mengetahui rumahnya khawatir ada yang membuntuti nya, walau bukan hal yang sulit untuk Bram mengetahui rumahnya. Bram dari jauh sudah melihat Hanin, istrinya terlihat seperti anak kuliahan bahkan anak SMA dengan pakaian seperti itu. Setelan kaos dan kulot dengan jilbab segitiga menutupi d**a. Aku seperti memacari gadis belasan tahun, batin Bramantyo sambil tersenyum. " Ayo, Han masuk", kata Bram, tapi Hanin justru datang menghampiri nya. " Kak mobil mu nanti ada. yang mengenalnya kita naik gocar aja yuk", Bram berpikir sejenak , iya ya hari ini dia. baru membuat masalah bukan tidak mungkin Mama menyuruh orang membuntutinya.. Bram memarkirkan mobilnya di pojok halaman swalayan dan keluar menghampiri Hanin. " Hanin sudah pesan gocar nya". Kata Hanin, dilihatnya Bram tersenyum manis sekali sudah lama sekali dia merindukan senyum itu dan kini bisa dilihatnya lagi. " Kita seperti anak kuliah yang pacaran Nin, " kata Bram semakin mengembang kan senyumnya. "Ayo kak , itu gocar nya ", Hanin mengalihkan pembicaraan, wajahnya merah menyadari di umur tiga puluhan lebih baru pacaran. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan mereka. " Neng Hanin taman kota ya", tanya supir. " Iya pak". " Kakak sudah membatalkannya Nin, ah aku akan belajar memanggil mu Hanin". " Iya aku nggak tomboy lagikan kak, maksud kakak pertunangan dengan mbak Anggita itu". " Iya, sepertinya akan ada yang meledak malam ini, tapi Papa sudah mendukung ku. Sekarang Papa sedang di sebuah pesantren yang jauh dari hiruk pikuk kota". " Kak, aku sudah merasa kan hampir setahun kami di bayang bayangi orang suruhan Mama. Kakak hati hati dan hubungan kita ini tidak boleh terekspos untuk beberapa lama". Mereka saling diam dan Bram menggenggam tangan Hanin, "Aku berjanji menjagamu selalu selama aku masih hidup". " Hanin tidak gentar menghadapi masalah kak, tapi ada yang harus kujaga dan ku pertahankan seumur hidupku". " Maksud mu Nin". " Nanti ku jelaskan". Akhir nya mobil berhenti di pinggir trotoar terlihat ramai orang berjualan dan pengunjung padahal ini malam jumat apalagi kalau malam minggu. " Kakak pasti belum pernah makan disini", Hanin keluar dari mobil menarik tangan Bram. " Biar kakak yang bayar Nin", " Sudah Hanin bayar via aplikasi kak". " Ayo, kakak makan apa Hanin belum makan jadi lapar juga, Hanin pengen Bakso panas panas dan pedas", seru Hanin seolah remaja menyatakan keinginannya pada kekasihnya, Bramantyo tersenyum meraih tangan Hanin dan menggandengnya, Hanin membiarkan hal tersebut. " Ah, sudah kakak duga , Kakak juga deh Bakso", ia teringat masa dua minggu pernikahannya dulu yang sering di isi dengan makan bakso. " Yang ujung sana kak enak, bakso urat". Mereka menghampiri sebuah gerobak Bakso yang ternyata cukup ramai. Untung masih ada satu meja di ujung. Bram mempersilahkan Hanin duduk di sampingnya sehingga tidak terlihat dari jalan. " Mang Bakso urat dua mienya satu campur dan mie kuning aja satunya lagi, gak pake tetelan". " Masih ingat ya Nin, kakak nggak suka pake mi putih". " Aku nggak pernah melupakan suami ku, walau hati ini sudah ikhlas dengan apapun yang terjadi. Tapi kami tetap mendoakan kakak. Tujuh belas tahun bukan sebentar, egois Hanin rasa bila berharap Kakak masih mencari dan tidak menikah sementara tidak ada kejelasan masing masing." "Tapi memang kakak masih sendiri mungkin doamu membuat kakak mampu hidup sendiri sambil terus mencari mu" " Tapi dari tadi Hanin menyebut kami dan menjaga seseorang apa Hanin masih tinggal bersama Bik Hanum? ", pesanan mereka datang dengan aroma membuat perut lapar. " Kita makan dulu kak, lapeer", Bram merasa sangat bahagia, berkali dia merasa tak percaya disampingnya kini adalah istri yang dicarinya selama tujuh. Belas tahun. Selesai makan mereka masih duduk disitu Hanin memesan jeruk panas karena tadi dia hanya memesan air mineral. " Kak boleh aku minta kita nikah lagi secepatnya. Nikah saja, karena Hanin merasa ragu kita bersikap begini setelah pisah tujuh belas tahun", " Yah, apa besok ya, Hanin tahu ke siapa kita bisa minta tolong , kalau ke orang orang ku ntar radanya kurang afdhol". "Bagaimana kalau keluarga pak Rahman dan Faiz, tapi kita minta mereka menjaga rahasia. Buku nikah kita berdua masih ada Hanin simpan". "OK pagi aku bicara ke pak Rahman" "Kak, aku punya anak". " Apa..!!!, bukankah Hanin bilang tidak pernah menikah selain dengan kakak", " Kak, ayo kita pindah tempat, bayar dulu". Hanin menarik tangan Bram yang masih bengong. Dia membayar pesanan nya karena di lihatnya Bram masih tidak fokus. Lalu mereka keluar dari area penjual makanan, Hanin melihat kesana kemari, sementara Bram masih diam saja. Hanin melihat ada kursi taman di pojok di sebelah lampu taman. Dia menarik suaminya yang masih bingung. Mereka akhirnya duduk , Hanin mengatur nafas nya. " Hanin punya anak, anak kakak, bukankah kakak sudah menyentuhku berkali -kali ". Lama Bram memandang Hanin dan kemudian dia benar benar menangis. " Jadi kakak membiarkanmu berjuang sendiri untuk anak kita".Bram menangis Tergugu. Beberapa orang yang berada sekitar lima atau enam meter dari mereka menoleh tapi Hanin menutupi wajah Bram sambil tersenyum menganguk kepada mereka. " Diam lah kk jangan menangis lagi, anakmu pun sudah besar sudah kelas dua SMA. kalau dilihatnya dirimu seperti ini dia akan malu", Hanin masih menutupi wajah Bram yang menangis di ceruk bahunya. Dia tak menyangka suami nya yang gagah ternyata bisa menangis seperti ini. Bram bangkit dari bahu Hanin, hijab Hanin sudah basah dengan berbagai jenis air. " Kakak jahat Hanin, membiarkanmu melahirkan sendiri dan membiayai dan membesarkan anakku " "Tapi aku memang selalu bermimpi, Hanin memanggil manggil kakak sewaktu kakak pulang ingin menjemputmu, disitu aku seperti gila mencarimu dan akhirnya depresi. Mama memasukan ku ke rumah sakit jiwa beberapa bulan sampai Sheerly histeris melihat ku dan menelpon Om Revan di Jerman dan akhirnya aku mendapat perawatan eksklusif di klinik dan akhirnya Om Revan mengirimku ke pondok setelah normal baru aku kembali ke Jerman". " Maaf aku sayang yang sungguh lemah hanya bisa terpuruk tapi tak bisa menemukanmu malah menghabiskan hidupku di Jerman". " Sudah lah kak mungkin atas doa kakak juga kami walau tidak mewah tetap hidup layak banyak rezeki Allah untukku dan Zain". "Zayn Putera Wijaya, nama anakmu. Hanin memberi kan Wijaya agar orang tidak menuduh dia anak haram dia bernasab dia lahir dengan halal". " Kita menikah besok sayang, lalu apa anakku sudah makan malam dan dia sendiri dirumah sekarang? " Yah tadi sudah ku pesan online, tapi ayo beli martabak telur untuknya, Hanin harus pulang sebentar lagi atau pasti dia akan memaksa menjemput ku". Tak lama benar hari sudah jam sepuluh malam Zayn pun sudah beraksi. Panggilan video pun muncul dengan wajah Zayn. Hanin menggeser Bram tidak mau Zayn menyangka yang bukan bukan, baru menerima panggilan video tersebut. " Nda, Bunda dimana itu diluar sudah jam sepuluh nih, jomblo kok ngelayap sih biar Zayn jemput ya ntar ada apa apa". " Assalamu alaikum , mulut nya kok kayak gitu, mana gak salam dulu". " Ya, Zayn khawatir nih udah jam sepuluh lewat Bunda di luaran dengan siapa pulangnya jangan naik ojek motor naik gocar aja, atau Zayn jemput itu di mana taman kota ya? ". " Ini Bunda sudah mau pulang, nunggu teman Bunda nyari toilet tu dia udah datang, udah ya.. " "Nda, jangan lupa Martabak dua telur dua kotak". " Tekor deh, Assalamualaikum", Hanin mematikan ponselnya. " Anakku aja tau mengkhawatirkan Bundanya nggak seperti ayah nya. Maafkan aku sayang". " Tunggu nikahi aku dulu, nih sudah peluk peluk". " Aku nggak pernah menceraikanmu, tapi besok Insya Allah kita nikah, sekarang beli Martabak Telur dua telur dua kotak ya?", mendengar kata Bramantyo membuat Hanin tersenyum dengan permintaan anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD