Part 2 : Namanya Saras

1426 Words
Namanya Sarasvati. Dengan balutan kebaya modern berwarna merah pas badan, bagian punggung setengah terbuka memperlihatkan bagaimana tunangan Nata itu bakh titisan bidadari. Kulitnya putih bersih, makeupnya tipis, selalu pas dengan wajahnya, bibirnya merah, membuat kesan seksi juga terlihat begitu jelas. Aku iri. Bukan karena kecantikannya, tapi karena tangannya yang senantiasa menggandeng tangan Nata, tanpa perlu takut tidak direstui. Mereka terlihat mengobrol dengan dewan komisaris perusahaan, sekaligus kerabat mereka. Aku mengalihkan pandangan ke arah dekorasi ruangan ini. daripada sibuk meratapi kebahagiaan mereka yang menyesakkan. Seketika aku kembali tersadar. Ruangan ini sangat mewah. Jelas saja, mereka pasti menyewa EO terbaik di negeri ini hanya untuk sekedar pesta pertunangan. Disudut kiri, ada mini bar tempat para sosialita biasa menegak minuman mahal dengan volume satu sloki. Disudut kanan, aku bisa melihat mini panggung bagi para orchestra memainkan musik. Aku dulu tak pernah membayangkan bahwa aku akan jatuh cinta pada kalangan seperti ini. menyadari ini semua membuat perasaanku kembali terserang kabut kesakitan. Aku sekarang mengerti kenapa upik abu tak akan pernah jadi Cinderella. Tidak sepadan. Aku menghela nafas pelan. Dibandingkan Saras, aku hanya mengenakan gaun dari salah satu desainer tidak kondang, inipun adalah gaun terbaik yang pernah kupunya. Aku tidak mungkin menghabiskan gajiku hanya untuk sebuah baju. Seharusnya, memang seperti ini tempat Nata. Aku benar-benar sudah terlalu bodoh masih mencintainya, padahal aku tau jurang pemisah diantara kami terlalu lebar dan juga terlalu curam. Jika aku memaksa diri, hanya ada satu kemungkinan. Aku mati. Aku melihat Andreas sedang berjalan ke arahku. Teman terbaik Nata yang juga orang yang sempat mengetahui hubungan kami dulu. Taipan juga. Tapi dibandingkan Nata, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana gaya hidupnya saat pertama kali bertemu. "Lo datang?" sapanya setengah riang, dia memegang satu sloki Gin ditangannya. Tidak perlu bertanya bagaimana aku bisa mengetahuinya, aku pernah bekerja di divisi marketing. Tidak begitu sulit membedakan minuman-minuman itu, gin, vodka, wishky, rhum. Terserahlah. Yang jelas itu bukan minuman-minuman yang pernah aku minum. Aku hanya mengangguk ringan dan dia kembali menatapku. Mari kuberitahu, Andreas ini adalah jalangnya laki-laki. b******k. Aku tidak bisa membayangkan gaya hidupnya yang terlalu liberal itu, membuatku sakit kepala saat memikirkannya. Untungnya, virusnya itu tak menginfeksi Nata. "Gue masih heran kenapa dia bisa tergila-gila sama lo" Aku menatapnya lagi. "Dulu" tambahku sarkatis, aku mengedarkan pandangan, mencari teman-teman satu bagianku yang sepertinya entah berada dimana. Ruangan ini semakin sesak dengan kalangan-kalangan atas, sebaiknya aku harus segera pergi dari tempat ini. Aku juga jengah dengan ucapan Andreas. Andreas tertawa. "Nggak usah pura-pura nggak tau, Nata masih-masih mencintai lo. Tania" Aku menyipitkan pandanganku, tidak mengerti dengan arah pembicaraannya. Dia sahabat terbaik Nata, seharusnya dia mendukung secara penuh pertunangan ini, mengatakan sebaiknya aku move on atau apalah. Bukan dengan fakta itu. "Cinta nggak cinta, dia udah punya jalan hidupnya sendiri" aku mengedarkan lagi pandanganku ke arah teman-temanku. Pesta pertunangan Nata memang tak mengundang seluruh karyawan kantor. Karena Aku sudah menjabat sebagai senior –dan juga gadis masa lalunya- aku bisa hadir disini tanpa perlu jadi penjilat. Beberapa staff dari divisiku memang diundang. Pada umumnya, mereka adalah kerabat jauh keluarga Bos Besar, teman-temanku saat training dulu. Sonny dan Yoana juga seharusnya diundang, karena mereka adalah senior sepertiku dan juga orang-orang kesayangan Nata beberapa bulan ini. tapi aku belum melihat satupun dari mereka. "Kenapa lo risih banget dengan obrolan ini, Tan?" Aku mendengus. "Dari dulu gue juga risih deket-deket sama lo!" ujarku jutek. "Ouch" Andreas sok-sok meringis, namun aku tidak peduli, setidaknya sampai dia mengalungkan tangannya dileherku dan membawaku entah kemana sebelum aku mengajukan protes. "Ayo kita lihat gimana ekspresi pangeran pas lihat cewek yang digilainya datang ke pertunangannya" "Ndre! Lepas!" tapi Andreas tidak mengacuhkanku dan terus membawaku ke tengah ballroom ini. sesaat aku merasa hanya perlu menyiapkan diri menghadapi Nata dan Saras, namun saat mataku turut melihat keluarga Nata dibelakang laki-laki itu. Kakiku menjadi lemas seketika. * Aku benar-benar akan menginjak kaki Andreas setelah ini. sampai dia kesakitan atau amputasi sekalian. Benar-benar kurang ajar! Dia dengan santai membawaku ke depan Nata dan Saras, membuat kedua orang itu menegang ditempatnya. Begitupula dengan tatapan Mama Nata dibelakang laki-laki itu. Menghunus, seolah dengan dia berkedip, aku bisa mati seketika. Aku mengabaikan tatapan mereka dan berpura-pura untuk memberikan selamat, namun setelah melihat pandangan Nata juga sangat tajam kepadaku. Ekspresi pura-puraku semakin padam. Aku bisa melihat pandangannya bisa membakar aku dan Andreas, apalagi setelah melihat tangan Andreas melingkar tak santai dibahuku. Nata segera melepas tautan tangannya dari Saras, namun sedetik kemudian, gadis itu menggandengnya lagi. Melihat itu semua membuatku sangat yakin, Saras sudah mengetahui hubungan apapun yang pernah kami jalani dulu. Rasa sakit kembali menghentakku. Saat benar-benar sudah berhadapan, aku bisa melihat dengan jelas rahang Nata yang tegas sekarang menegang. Aku harus menunjukkan sisi profesionalitasku. Aku tidak boleh hancur karena hal ini. "Tania" suaranya masih bisa membuatku merinding, Aku sempat berpikir bahwa aku rela dijadikan simpanan oleh lelaki ini. Tidak diketahui siapapun akan bisa membuat hubungan kami berjalan dengan mulus. Tidak seperti sekarang. "Selamat ya Pak atas pertunangannya" aku menampilkan senyum terbaikku pada mereka berdua, aku menghela nafas lega saat Andreas tidak lagi mengalung di leherku. Aku memberikan tanganku untuk bersalam kepada Nata dan Saras, mereka berdua membalasnya dengan tak santai. "Kamu jalan dengannya, Ndre?" kalimat itu jelas menuju padaku. Andreas menatapku sekilas, ada sirat kasihan bisa kurasakan. "Nggak tante, tadi aku lihat Tania sendirian aja, makanya aku temenin untuk salaman" "Jangan tertipu, Ndre" "Ma!" aku menatap Nata tak percaya, tegurannya berhasil membuat beberapa orang melirik ke arah kami. Siapapun, tolong bawa aku kabur dari sini. "Tolonglah... ini hari pertunanganku" Aku tidak ingin melirik ke arah Saras, apa yang ada dipikiran wanita itu sekarang? aku tidak mau mencari tahu. Yang bisa kulakukan hanyalah menunduk dalam, sangat bisa merasakan aura tidak bersahabat Mama Nata kepadaku. Calon mertuaku dulu. Merasakan aura ketegangan tidak lagi sepekat beberapa detik yang lalu. Aku mulai angkat bicara, "Saya permisi dulu" aku berjalan dengan cepat ke arah manapun yang kubisa, berada disekitar orang-orang ini hanya membuat kepalaku pecah. "Tania" aku merasakan tanganku ditahan, saat aku membalikkan badan, Andreas tampak bersalah didepanku. "Gue minta maaf, gue nggak lihat kalau Tante—" Aku menghela nafas ringan. "Udahlah. Gue mau pulang aja" Aku menatap Nata yang memperhatikanku dan Andreas. Sesaat aku masih bisa merasakan bahwa cintanya memang masih kepadaku, tidak peduli ada gadis lain yang menggandengnya saat ini. namun saat siluet Mama Nata kembali terlihat oleh kedua mataku. Nyaliku menjadi ciut. aku tidak sanggup lagi berada disini lagi, berada dilingkaran orang-orang yang tak menyukaiku karena alasan yang tak pernah kuketahui. Oh mungkin aku mengetahuinya. Tapi aku berusaha mengabaikannya. * "Nduk" aku menghentikan acara cemil-cemilanku sambil menonton infotaiment di salah satu chanel televisi. Tadi pagi, aku baru keluar menjelang siang karena malamnya masih sibuk menangisi laki-laki yang sudah menjadi milik perempuan lain. Dan juga karena ucapan Mamanya. Yeah. Aku mengingatnya lagi "Iya, Bu" sekarang aku sudah siap menerima apapun yang ingin dikatakan Ibu. Aku sudah punya banyak tenaga untuk berdebat masalah jodoh pagi ini. Ibu berjalan mendekatiku, aku pikir Ibu akan kembali memberondong dengan pertanyaan calon suami seperti biasa. Tapi, yang Ibu lakukan setelah itu membuatku jantungku berdesir. Ibu menyisir rambutku dengan penuh kasih sayang, sudah lama Ibu tak melakukan hal ini kepadaku. Ibu lebih sering menggunakan cara ini saat aku datang padanya dengan menangis-nangis karena masalah pertemanan dan pekerjaan. "Tadi pagi Nata datang kesini" ucapan Ibu spontan membuatku menjauhkan kepala. Menatap Ibu tak percaya. Aku bisa merasakan buncahan emosi di dalam dadaku, "Ibu kok nggak bilang?" Ibu menghela nafas dalam, kemudian kembali mengusap-ngusap rambutku. Aku memilih untuk membaringkan kepalaku di paha Ibu dan membiarkan Ibu melakukan apapun. "Ibu bilang kamu lagi nggak enak badan" Aku menahan tangisku agar tidak keluar. "Aku pikir Ibu benci banget sama dia" "Ibu memang nggak suka sama dia, tapi Ibu masih menghargai tamu" aku menatap televisi dengan nanar, tak peduli lagi dengan gossip artis mana yang ditampilkan. Masalah hidupku saja sudah benar-benar pelik. "Dia bilang, dia minta maaf atas perlakuan Ibunya semalam. Kamu diapain lagi, nduk?" Ibu terdengar emosi, namun aku masih sibuk mengatur emosi di dalam diriku. "Nggak ngapa-ngapain, Cuma diliatin terus. Nggak sopan" aku menggigit bibir bawahku untuk tidak bergetar. "Kenapa kamu nggak bilang kemarin mau ke pesta pertunangannya?" aku hanya menggeleng. "Ibu nggak mau kamu sakit lagi, Tita" Tangisku pecah seketika. Tangis yang kutahan meledak keluar. Benar-benar menyakitkan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hubungan keluarga kami kalau semua itu terus dilanjutkan. "Ibu Cuma mau kamu bahagia. Jangan menyakiti diri kamu sendiri lagi" Aku menangis sekeras-kerasnya, berharap beban yang kutanggung selama ini bisa meluruh karena air mata. Bodoh sekali memang. Tapi rasanya memang sakit sekali, lebih sakit dibandingkan patah tulang yang dulu pernah kurasakan. Aku memang bodoh sekali masih mencintai Nata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD