Part 1 - Benci Tapi Merindu

1219 Words
"Tita, nasinya dihabiskan" Ibu melihat piringku sekilas dan kembali menyuruhku untuk memakan nasi. Ini sudah malam aku tak seharusnya makan malam. Aku memang tengah menjalani diet ketat untuk berat badan proporsional. Bukan karena apapun, tapi karena rok span-ku sudah mulai terasa begitu sempit. "Nggeh, Bu" ujarku dengan logat jawa yang biasa digunakan ibu. Arini tergelak di sampingku. "Nggak cocok, Mbak" Aku mengerucutkan bibir, urung membalas dan melanjutkan makan malamku. Sudah beberapa hari ini aku tidak makan di rumah karena sibuk mengurusi rencana proyek. Ini proyek pertamaku di bagian Bussiness Development project, bagian direktorat yang menjadi tempat pundi-pundi uangku sejak dua tahun yang lalu. Sebelumnya, aku bekerja di salah satu anak perusahaan kami. Namun karena terjadi mutasi besar-besaran, sejak dua tahun yang lalu aku berhasil mendapatkan posisi di perusahaan induk, yang bisa memegang beberapa proyek sekaligus. Seharusnya, aku berpikir ulang untuk menerima promosi di perusahaan induk. Tapi saat itu, kehadiran Nata sama sekali tak terlintas dalam benakku. Ibu hanya tersenyum dan melanjutkan makannya. Ibu hanya bisa makan sayur-sayuran dan daging. Ibu tidak bisa memakan banyak karbohidrat karena gula darah. Aku memperhatikan ibu saat mengunyah, kemudian menghela nafas saat menyendok makanan selanjutnya. "Tita, jadi kapan?" Seharusnya aku tau arah pembicaraan ini kemana. Tapi aku menulikan telinga dan tetap melanjutkan makanku hingga habis. Arini yang sudah bisa merasakan aura ketegangan di dalam diriku hanya diam saja. Aku meliriknya sekilas. "Kapan apanya bu?" tanyaku basa-basi. "Usiamu tahun ini sudah dua puluh delapan, lho. Mbokyo dikenalin ibu sama calonmu" Jika ibu menanyakan pertanyaan itu tiga tahun yang lalu, aku pasti akan menjawab dengan lantang nama calon yang dimaksud ibu. Namun saat ini, memang tidak ada siapapun yang bisa kukenalkan pada Ibu. Aku terang saja merasa kesal akan hal ini, namun aku tak mau membuat Ibu sedih. Jadi yang bisa kulakukan hanya diam saja. "Bukannya nggak mau, Bu. Emang nggak ada" aku melirik Arini pelan, tahun ini dia sudah masuk usia dua puluh lima tahun dan dia sepertinya baik-baik saja dengan pacarnya, Adit. Aku menghela nafas, "Aku nggak keberatan kalau Arini melangkahiku, aku nggak akan minta macam-macam" jelasku entah keberapa kalinya. Aku sangat merutuki patah hati. Patah hati yang membuatku seperti ini, menjadi berantakan. Dulu kupikir, hanya hatiku saja yang hancur akibat apa yang terjadi antara aku dan Nata. Namun setelah beberapa waktu, aku bisa merasakan bahwa patah hati itu juga turut merusak hidupku. Aku seharusnya membenci Nata. Tidak. Aku benar-benar membenci laki-laki itu. "Ini pasti karena dia, kan? Kamu masih berhubungan dengan dia?" Aku menunduk dalam, tahu benar siapa dia yang dimaksud oleh ibu. Siapa lagi. Nataniel Liam yang sudah berhasil mengacak-ngacak hidupku saat ini. Herannya, aku masih bisa merasakan cinta yang teramat dalam padanya hingga saat ini. "Ini nggak ada hubungannya sama Nata" "Masih berani kamu sebut namanya" ibu terdengar emosi. Aku menunduk dalam. Aku memang tidak pernah membahas siapa bosku sekarang dikantor. Kalau ibu sampai tahu, aku tidak yakin aku akan diizinkan bekerja lagi. Seharusnya, memang itu yang kulakukan sejak beberapa bulan yang lalu. Tapi aku bukan wanita bodoh yang langsung melepaskan karirku demi cinta. Aku masih bisa berpikir rasional. Lagipula, tulang punggung keluarga saat ini seluruhnya sudah diemban padaku, setelah ayah pergi. Aku tidak mungkin mundur dari pekerjaanku yang sedang naik-naiknya ini. Aku butuh semua ini. "Itu memang benar, Bu. Aku sama dia udah berakhir tiga tahun yang lalu. Lagian dari kabar yang Tita dengar dia sudah mau tunangan kok" "Kamu masih curi-curi informasi tentang dia, nduk? Apa yang ada di dalam pikiranmu?" Nata. Aku tidak bisa berbohong kalau aku masih berkhayal jika aku dan Nata kembali bersama. Yang benar-benar sangat mustahil melihat reaksi Ibu sekarang. "Mbak" Arini menegurku agar tak menjawab ibu lagi. Aku mengangguk dan diam, ibu juga terlihat lebih tenang dari tadi. "Cobalah sebuah hubungan yang serius, Tita. Kamu udah nggak muda lagi, masa produktifmu semakin sempit. Kemarin anak Pak Camat yang kerja di kantor walikota nanyain kamu. Kenapa nggak kamu pertimbangkan, dia?" Anak Pak Camat? Aku menggeleng cepat. "Nggaklah, Bu. Dia aneh" Ibu berdiri dari duduknya. "Kalau kamu terus menutup pintu hatimu seperti itu, kapan kamu bisa menemukan jodoh? Hidup terus berjalan, Tita. Percuma kamu menyesali hal yang sudah-sudah" Kepalaku benar-benar terasa berat saat ini. Aku melirik Arini untuk meminta pertolongan, tapi dia hanya melempar senyum tipis. Tidak bisa menengahi perdebatanku masalah ini dengan Ibu. Aku turut berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur dan mencucinya, menyibukkan diri dengan hal-hal seperti ini setidaknya bisa membuatku terhindar dari pertanyaan ibu. Ibu mungkin tak pernah tau, aku benar-benar sudah sejatuh-jatuhnya jatuh cinta. Hingga tahun ketiga ini, aku bahkan belum bisa bangkit lagi. Ibu tak pernah tau, penyesalan terbesarku adalah hal yang harus kuhadapi setiap hari sekarang. * Percakapanku dengan Ibu tadi malam berhasil membuat fokusku terbelah. Ibu benar, kalau aku terus menutup pintu hati, tak akan ada yang bisa membukanya kecuali satu orang. Tapi melakukan hal itu juga bisa membuatku gila, itu akan membuatku lebih menyesal lagi. Berpura-pura jatuh cinta lebih buruk dari seburuk-buruknya patah hati. Aku tidak mau melakukan hal tersebut. Tidak kepada siapapun. Apalagi untuk berpura-pura bahagia dengan orang lain. "Neng Tita diem aja dari tadi" Aku melirik Sonny dan Yoana terkekeh pelan di kubikel mereka. Aku mendengus kearah mereka dan berjalan menuju pantry. Segelas kaffein sepertinya bisa menjernihkan otakku. Letak pantry berada di tengah-tengah gedung ini. kantorku berada di bagian kiri, sedangkan pantry berada tepat di samping lift. Aku melihat pintu pantry terbuka sedikit. Tanpa mempertimbangkan apapun aku langsung masuk ke dalamnya. Seketika aku terdiam. Nata sedang duduk membelakangiku menghadap ke jendela, menikmati pemandangan kota pagi ini. Dia menyesap secangkir yang kuyakini itu adalah kopi pahit Sulawesi. Setelah bertahun-tahun, aku bahkan masih bisa mengingat detail kesukaannya. Benar-benar menyebalkan. Dia tidak menyadari kehadiranku, aku langsung merebus air menggunakan heater. Dia masih tak melakukan apapun dan tak menyadari bahwa aku terus mengawasinya dari tadi. Baru setelah aku meraih cangkir yang sengaja sedikit gaduh, dia baru melirik ke arah belakang. Aku menatap ekspresi kagetnya dengan datar. "Bikin kopi?" tanyanya basa-basi. Seharusnya, tak ada basa-basi diantara kami. Aku mengangguk pelan dan melanjutkan pekerjaanku. Dari sudut mataku, aku bisa melihat dia balik mengawasiku. Ini membuatku gugup. setelah kopiku siap diminum, aku meraih telinga cangkir dan bermaksud membawa kopi ini ke ruangan. Berdua dengan Nata bisa membuatku gila. "Kamu masih suka minum kopi?" tanyanya lagi, saat aku akan berjalan keluar. Aku membalikkan badan dan melihatnya, dia masih menatapku dengan cara yang sama. Tatapan mencintaiku. Bukan tatapan ini seharusnya yang diberikan pria sudah bertunangan bukan?" "Kadang-kadang" Saat aku mikirin kamu. Saat aku kangen kamu. Saat aku stress dengan pertanyaan ibu. Dia tersenyum, senyum yang bisa membuatku menegang ditempat. Senyum paling indah yang bisa kulihat selama ini. "Kenapa jadi canggung banget sih?" Aku menahan gejolak di dalam diriku dengan susah payah, tapi sepertinya pertahananku pagi ini benar-benar buruk. "Pertanyaan yang seharusnya, kenapa kamu bisa bersikap biasa-biasa saja" aku tidak lagi mempedulikan CCTV yang ada di ruangan ini. Raut wajahnya langsung berubah. Aku sepertinya harus pergi dari sini agar bisa menahan diriku untuk tidak berlari memeluknya. Aku merindukan dia. Sangat merindukannya. Melupakan fakta bahwa dia sekarang sudah akan bertunangan dan melupakan hari yang masih bisa kuingan dengan jelas, hari dimana hubungan kami harus berakhir. "Tania" dia memanggil namaku. Aku menyukai caranya memanggil namaku. Tania. Begitu merdu, begitu menenangkanku. Aku tersadar akan kebodohan yang baru saja aku pikirkan. Tersenyum pelan padanya, aku mulai berbisik, "Saya harus keruangan" Bagaimana bisa aku begitu mencintai orang yang seharusnya aku benci?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD