9

1010 Words
Dika berjalan mondar mandir di depan ruang periksa. Dika membawa Rain ke Klinik yang tak jauh dari Kampus Orion. "Pak ... Saya ikut nunggu disini atau pulang saja?" tanya satpam itu pada Dika. "Balik ke Kampus. Bilang sama dua OB itu untuk segera membenarkan kamar mandi yang rusak itu, agar tidak ada lagi korban yang terkunci di dalam seperti ini. Sangat menyusahkan sekali," jelas Dika berpura -pura marah. "Baik Pak. Saya akan kembali ke Kampus," jelas satpam itu paham dengan perintah Dika. Satpam itu sudah kembali ke Kampus Orion dan menemui kedua OB tadi untuk segera membenarkan kamar mandi yang rusak itu tanpa menunda. Dika masih menunggu di depan ruang periksa. Ia tidak tahu bagaimana kondisi Rain saat ini. "Kenapa lama banget, sih?" tanya Dika mulai panik. Kedua tangannya saling meremat dan Dika benar -benar bingung. Dika tidak tahu harus bagaimana menyampaikan alasan yang tepat pada kedua orang tua Rain nanti. Tentu saja mereka akan bertanya -tanya dan curiga kalau Dika pasti ada kaitannya dengan keteledoran ini. "Anda suaminya? Atau kerabatnya?" tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan periksa yang langsung mendekati Dika. Dika pun tersenyum bingung lalu mengangguk saja tanpa memberikan jawaban yang pasti. "Suaminya?" tanya dokter itu memastikan. "Calon," jawab Dika penuh peraya diri. "Baiklah ikut ke ruangan saya," ucap dokter itu dengan wajah serius. Dika menganggk pasrah dan mengikuti langkah dokter itu. "Ada apa, dok? Sepertinya serius sekali," tanya Dika mulai panik. "Begini. Kami tidak sengaja memeriksa perutnya. Sepertinya pasien mengalami dehidrasi. Tidak ada luka tapi, pasien tidak memakai pakaian dalam," ucap dokter itu menatap lekat pada Dika. "Maksudnya dokter apa ya? Kok saya gak paham?" Dika semakin bingung. Wajah Dika ikut menegang. "Mungkin habis terkena pelecehan?" jelas dokter itu mengambang. "Pelecehan? Dia terkunci di kamar mandi, Dok," jelas Dika tak mau kalah. "Sebelum kamar mandi itu dikunci. Bisa kan? tapi memang tidak ada memar ditubuh pasien yang mengarah kekerasan. Sepertinya pasien butuh diisum," jelas dokter itu dengan wajah sangat serius. "Kayaknya gak perlu, dok. Saya akan bawa Rain pulang ke rumahnya. Rain sudah sadar?" tanya Dika pada dokter itu. "Sudah sih. Tapi kondisinya lemah sekali," jelasnya tak mau kalah. Maklum, dokter yang ada dihadapan Dika saat ini adalah dokter matrealistis. Semua pasien yang periksa atau berobat ke kliniknya harus mengeluarkan biaya yang banyak dan sangat mahal. Tentu saja, ia harus bisa beralibi dan melobby keluarga pasien untuk mengikuti sarannya yang masih abu -abu itu. "Saya bawa pulang saja," ucap Dika pada dokter itu yang mengangguk pasrah. Sepertinya rayuannya kurang menjual untuk kali ini. Dokter itu mengantar Dika ke ruang periksa untuk melihat kondisi Rain yang masih terlihat lemah di atas ranjang periksa. Dokter itu pun memperbolehkan Dika untuk membawa Rain pulang ke rumah. Dika mendekati Rain yang sedang terbaring lemas tak berdaya. "Hai ..." sapa Dika pada Rain. Wajahnya tersenyum ramah. Namun, Rain mengerutkan keningnya. "Ka -kamu!" teriak Rain dengan suara keras dan sangat lantang. Rain pun langsung bangkit dari tidurnya lalu duduk sambil melotot ke arah Dika. "Sayangku udah siuman?" ucap Dika berpura -pura sambil meraih tangan Rain yang terasa dingin dalam genggamannya. Rain menaikkan alisnya dan menatap tajam ke arah Dika. "Kalian memang sangat serasi sekali," ucap sang dokter yang juga ikut masuk ke dalam ruang periksa dan memberikan resep obat untuk ditebus saat pulang. "Namanya juga pasangan yang mau nikah. Harus serasi," jelas Dika sambil tersenyum dipaksa. "Apa?! Gak dok! Saya gak kenal dia!" teriak Rain langsung menarik tangannya dari genggaman Dika. Dokter itu pun melihat ke arah Rain dan Dika secara bergantian. Rain yang melotot tajam dan Dika menaikkan alisnya sambil menggerutu kesal tanpa diucapkan dengan jelas. "Dok! Tolong laporkan saja dia. Saya tidak kenal!" teriak Rain minta tolong. "Saya tidak bohong dok. Percaya sama saya. Kalau saya orang jahat. Untuk apa saya bawa kesini. Lebih baik saya tinggalkan saja di jalanan," ketus Dika tak terima. Dika benar -benar kesal. Ia pikir, Rain bakal menerima kebaikannya. Ternyata tidak. Rain malah menuduhnya macam -macam sebagai orang yang sama sekali tidak baik. "Sudah! Sudah! Lebih baik kalian pulang saja. Ini resepnya. Saya dan tenaga medis di sini tidak mau terlibat urusan pribadi pasien. Silahkan ..." jelas dokter itu dengan suara tegas. Sang dokter mulai mals melihat drama speerti ini. Bukan sekali atau du kali dan hal seperti ini selalu saja terjadi di setiap saat. Kesannya jadi dejavu. Rain tidak punya pilihan lain selain ikut bersama Dika. Tasnya ada di dalam mobil Dika. Rain menunggu Dika di dalam mobil karena Dika sedang menebus obat di sebuah apotik, tepat di samping klinik tempat Rain periksa tadi. Dika membuka pintu mobil dan masuk ke dalam sambil memberikan bungkusan putih berisi obat. "Diminum obatnya," titah Dika sambil menjalankan mobilnya lagi menuju ke arah rumah Rain. Rain menerima bungkusan plastik itu dan menatap dengan malas. Bagaimana tidak. Obat itu sangat banyak sekali dan terlihat dari luar bentuknya besar. "Makasih ya Om," jawab Rain sekenanya. Bungkusan itu diletakkan di pangkuannya dan Rain melirik ke arah Dika yang fokus menyetir. "Kenapa? Jangan ngeliatin mulu, ntar jatuh cinta. Satu hal lagi. Jangan panggil Om. Karena saya bukan Om kamu! Paham?" titah Dika pada Rain. "Lha? Memang mukanya tua dan sangat cocok dipanggil Om. Kenapa nawar?" ucap Rain makin kesal sendiri. "Terserahlah," jawab Dika pasrah. Keduanya saling diam dan suasana semakin hening. "Namamu Rainy Anggraini kan?" tanya Dika dengan suara lembut. Rain kembali menatap Dika dengan tajam. "Om cari tahu tentang saya?" tanya Rain semakin emosi. "Bisa gak sih, ngomongnya gak usah pake nge -gas? Biasa aja. Saya nanya juga baik -baik sama kamu. Saya cuma takut, kalau kamu hamil nantinya," jelas Dika cepat sambil menghembuskan napas kesalnya. Rain memijat kepalanya pelan sekali. Kenapa Rain lupa akan hal itu. Dirinya sudah bukan gadis sui lagi. Bisa saja benih Dika bersemayam dan tumbuh baik di rahimnya. Itu bisa saja terjadi. Dika melirik Rain yang terlihat mulai galau dan panik. "Mulai mikir kan? Bisa aja kan? Ada hubungannya sama kamu pingsan sekarang?" tuduh Dika pada Rain. Lagi -lagi Rain memilih diam dan tak menjawab. Jelas raut wajahnya mulai terlihat gusar. Dika menghentikan mobilnya dan menatap Rain. "Kita nikah aja," pinta Dika pada Rain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD