Aku Aneh?

2368 Words
Satu minggu setelahnya. "Bu Alrin apa kabar?” Bi Ina tidak bisa menahan senyum melihat kedatangan perempuan cantik nan anggun tersebut. Meskipun belum memiliki status apa-apa di keluarga Thompson, namun kebaikan hatinya telah menyihir para pekerja di kediaman Thompson tak terkecuali dirinya sendiri. Dia cantik. Namun alih-alih sombong malah sangat baik. Berkata lembut, memandang teduh dan bertingkah sopan. Ina tidak heran melihat tuannya begitu tergila-gila pada Arlin. Dia memang tipe istri idaman. “Alhamdulillah baik. Bibi sendiri bagaimana?” “Alhamdulillah, baik juga. Mari duduk, Bu.” “Tidak, Bi. Saya mau ke dapur untuk memasak.” Sagara dan Andrew muncul di daun pintu. Masing-masing dengan dua plastik besar di tangan. Ina sepertinya lupa. Kedatangan Arlin tidak pernah dilewatkan oleh para Thompson untuk memanjakan diri, termasuk merasakan makanan lezat yang dibuat penuh ketulusan. “Wah sepertinya mau ada makan besar ya." “Tepat sekali. Malam ini kami akan makan besar dengan masakan Miss Arlin,” balas Andrew penuh binar bahagia. “Bi, tolong panggilkan Adam. Dari semalam dia menuntut saya untuk bertemu Arlin. Jika tidak dituruti pasti akan merajuk.” “Baik, Tuan.” Bi Ina tergopoh-gopoh menuju lift ke lantai atas. Sementara itu Arlin menuju dapur bersama Sagara dan Andrew. “Aku akan memotong sayurnya,” kata Andrew. Antusias benar hatinya melihat Arlin. Padahal harusnya dia memilih istirahat karena hari ini memutuskan bekerja lebih awal, yakni pukul empat pagi. Tentunya dilakukan agar dapat menghadiri pengambilan rapor kedua putranya. “Aku mau ganti baju dulu deh, Ma.” Sagara berbalik setelah mendaratkan plastik. “Telepon Suga, suruh dia pulang untuk makan.” “Oke, Ma.” Ia tersenyum saat Arlin tidak sadar. Senang benar akan perhatian yang diberikan untuk anaknya. Mungkin bukan salahnya jatuh cinta pada Arlin, tapi karena perempuan itu juga terlampau perhatian kepada dia dan anak-anaknya. Bagi pria duda sepertinya yang telah lama jauh dari kasih sayang perempuan tentu bukan kesalahan jika dia langsung jatuh hati. Arlin sungguh lebih memuaskan dari perempuan-perempuan sexy yang pernah dia bayar di atas ranjang. Meskipun pada kenyataannya Arlin tidak melakukan apa-apa selain memberikannya sedikit perhatian, tapi itu adalah hal yang membuatnya puas. Selama ini dia kira dia tidak membutuhkan lagi sosok seorang istri untuk mengurus dirinya ataupun sosok ibu untuk anak-anaknya. Namun kini dia menyadari bahwa dia begitu membutuhkannya. Malah sangat membutuhkan, yang mana terbukti akan dirinya yang meronta terus untuk mendapatkan perhatian setiap berada di dekat Arlin. Dia kekurangan kasih sayang dan Arlin satu-satunya perempuan yang berhasil menjadi sumber kasih sayangnya. “Pak Andrew Thompson, ada apa dengan senyum anda?” Andrew tersentak dari pikirannya. Menaikkan senyum lebih lebar lagi, semakin merasa antusias menunjukkan kegembiraan di hatinya. “Tidak ada. Hanya terpesona oleh kecantikan Ibu Arlin.” “Dasar mata keranjang,” cibir Arlin. Hampir semua laki-laki yang ia temui terpesona oleh kecantikannya alih-alih isi otaknya. Senang sih merasa dipuja begitu, tapi jujur dia lebih senang pujian untuk kualitas daripada penampilan fisik. “Kenapa mata keranjang? Saya mengatakan yang sebenarnya. Kamu cantik, perhatian dan anggun. Tipe istri idaman saya sekali. Makanya saya terpesona.” “Halah tipe idaman apa. Saya ini masih jauh dari perempuan hebat yang ada di luar sana.” “Jangan merendah begitu. Di mata saya kamu lebih hebat dari mereka. Sel..” “Mama.” Belum siap kalimatnya telah dipotong oleh teriakan seorang anak kecil. Ia berlari tergopoh-gopoh kepada Arlin. Begitu sampai ia langsung memeluk kaki Arlin, mengangkat kedua tangan kemudian untuk digendong. “Mama.” Arlin tersenyum kecil. Ia kemudian berjongkok, membawa anak tersebut ke dalam gendongannya. “Adam abis ngapain, sayang?” Rona bahagia menjalar cepat di pipinya. Hampir dua minggu dia tidak bertemu bocah imut ini. Rasa rindu akan kegemasannya telah terkumpul banyak. “Main robot, ma.” Rona bahagia juga tak kalah banyak di pipi Adam. Dua minggu belakangan ini dia tidak dapat melihat perempuan pemberi kasih sayang tersebut. Kata papanya mungkin sibuk bekerja, jadi dia tidak diizinkan mengganggu sementara. Tadi pagi sang papa mengatakan dia bisa bertemu dan ini kenyataan. Rasa senangnya menjadi-jadi apalagi saat dia membayangkan akan mendapat limpahan kasih seperti anak lainnya. “Robot? Wah pasti keren ya?” Adam mengangguk antusias. Kelereng coklatnya bergeser pada keresek di meja. Arlin pun kembali teringat akan tujuannya. “Adam duduk di sini ya.” Arlin mendudukkan Adam di kursi makan. “Aunty mau masak dulu, oke?” Tapi Arlin tahu, dia tidak mungkin membiarkan Adam diam di situ terus tanpa melakukan apa-apa dalam jangka waktu yang lama. Alhasil dia memutuskan untuk membuatkan Adam chocolate smoothies. Adam tersenyum lebar tanpa henti. Kedatangan Arlin selalu membuat ia merasa menjadi anak yang sempurna. Andrew tersenyum melihat kebahagiaan putra bungsunya. Ia telah memberikan banyak mainan mahal yang menyenangkan, tapi itu kalah telak hanya dengan secuil perhatian Arlin. Lubuk hatinya setuju. Ia sendiri bahkan lebih bahagia akan perlakuan Arlin daripada harta-hartanya. Bagaikan hujan di gurun panas. Perhatian Arlin yang bahkan hanya sebutir hujan telah menghilang dahaganya akan kebahagiaan, menyejukkan hingga ke dasar hatinya yang paling dalam. Lalu untuk beberapa saat dia merasa sama seperti pria lainya, memilik seseorang yang peduli dan menenangkan hati. “Malah melamun. Katanya tadi mau memotong sayur,” sindir Arlin sembari menatap tak mengerti kepada Andrew. Wajah tampan tersebut tampak menyimpan lelah, tapi bibirnya yang terangkat menepis itu semua. Harus Arlin akui pria ini begitu luar biasa. Dalam 13 tahun terakhir dia telah menjadi kepala sekaligus ibu rumah tangga. Mengurusi keperluan anaknya sebisa mungkin dengan usaha sendiri. Untuk ukuran pria dewasa dengan kekuasaan besar dimana ia bisa seenaknya melepaskan tanggung jawab hal tersebut sangatlah mengagumkan. Lagian dia punya wajah tampan. Jika dia ingin, maka dia bisa mencari istri untuk meringankan tugasnya sekaligus mendapat kasih. Entah kenapa dia malah memilih menyusahkan diri sendiri dengan menjadi duda mandiri. Sungguh tidak dapat dimengerti. “Kalau anda lelah istirahat saja. Saya bisa memasaknya sendiri,” putus Arlin akhirnya merasa tidak tega. Pria ini adalah presdir. Jabatan besar tentulah memiliki tanggung jawab besar pula. Kelelahannya akan berkali lipat dari karyawan biasa. Porsi istirahat juga seharusnya lebih banyak. “Tidak apa-apa. Kebetulan saya juga ingin belajar memasak.” Omong kosong. Arlin tahu itu. Andrew hanya ingin lebih lama berada di sekitarnya. Kenapa heran? Memang beginilah seorang Andrew. Di luar terlihat dingin dan tegas, tapi ketika berhubungan dengan Arlin ia akan menjadikan dirinya lemah dan manja. Apa pun dilakukannya demi mendapatkan kesempatan berdekatan. “Ya terserah bapak saja.” Arlin membawa plastik sayur ke freezer, memindahkan isinya satu persatu ke sana dan membawa beberapa ke pantry untuk dimasak. Dengan insiatif Andrew mengambilnya, mencuci dan mulai memotong kecil. “Hari ini saham anjlok,” ceritanya. Arlin tidak akan paham seratus persen dunia bisnis, namun dia akan selalu mendengarkan. Bagi Andrew ini sudah sangat cukup untuk membuatnya bahagia. “Kenapa demikian?” Arlin selalu yakin saat dia menatap Andrew dengan binar, itu hanya karena naluri perempuannya yang mencintai ketampanan atau mungkin naluri tak terkendali akan pesona gagah Andrew yang tidak terbatas. Sama sekali bukan perasaan dari hatinya yang menyukai Andrew secara romantis. Dari semua itu yang paling tidak bisa ia lawan adalah rasa simpatinya akan Andrew. Di mata orang-orang Andrew adalah sosok kuat. Dengan begitu banyak pencapaian dan perhatian tak satu pun berpikir Andrew memiliki lubang dalam bernama kesepian di hatinya. Tapi Arlin melihat itu. Lalu entah bagaimana rasa simpatinya mendorong dia untuk menjadi secercah penyejuk Andrew. “Ada beberapa data perusahaan yang bocor. Aku telah berusaha memperbaikinya sepanjang pagi tadi, tapi masih abu-abu.” Helaan berat menyusul. Pergolakan kekesalan terjadi di dalam hatinya. Jika hari ini tidak bertemu Arlin pasti dia sudah meledak. "Pelan-pelan saja. Bapak sudah pernah menghadapi hal semacam ini sebelumnya dan berkat pengalaman tak terbatas tersebut saya yakin bapak akan menyelesaikan semuanya.” “Saya harap juga begitu.” Ia memiringkan leher saat hatinya merasa lega. “Kamu sendiri bagaimana? Apa tidak lelah mengurusi tiga puluh anak dengan kepribadian beragam?” “Terkadang saya merasakannya, tapi..” Arlin mengedikkan bahu. “Entahlah, setelah saya berpura-pura tidak peduli dan lebih fokus menikmati proses semuanya menjadi baik-baik saja.” “Sangat disayangkan. Kamu seharusnya mengurus saya saja.” Terang-terangan Andrew mengatakan niatnya. Keinginannya adalah Arlin merasakan apa yang ada di dalam hatinya; perasaan suka dan butuh yang melimpah-limpah. Begitu kental dan tak terbantah. Dia kira kalau Arlin tahu itu, dia akan setuju menetap. Memang harusnya begitu. Dia menjanjikan segalanya. Nafkah jasmani dan rohani. Dua hal yang diincar-incar kaum hawa untuk terikat dalam pernikahan. Ya memang seharusnya Arlin setuju. Sagara baru kembali dengan rambut setengah basah. Ia mengusak-usak surai sementara mengunci mata pada dua insan di depan pantry yang terjebak keheningan. “Dimana Suga?” “Tidak tahu, Ma. Katanya OTW, tapi batang hidungnya masih belum kelihatan. Dasar curut tanah!” Ia membuka freezer, mengambil sekotak s**u dan meneguknya langsung. Kepalanya memiring kemudian pada Arlin. “Oh iya, Ma. Besok mulai liburan sekolah. Jalan-jalan yuk?” “Itut.” Adam merosot menuruni kursi tinggi, berlari memeluk kaki Arlin. “Adam mau itut.” “Jalan-jalan ya,” gumam Arlin. Liburan semester memang hal menyenangkan baginya. Dia akan terlepas dari penat mengurusi murid-murid sesaat. Biasanya sih memilih memanjakan diri dengan hunting makanan lezat seraya berjalan-jalan. Ditolak lagi. Nafasnya menghela pelan. Tanpa dibalas Andrew juga tahu. Cara manik Arlin berlari darinya menuju Sagara saja telah jelas menyiratkan penolakan. Entah apalagi yang kurang. Setiap penolakannya selalu membuat Andrew merasa ada yang salah dengan segala hal di tubuhnya. Andai saja dia tahu alasan tersebut, pastilah dia akan memperbaikinya agar mendapatkan cinta Arlin. Sayangnya Arlin enggan menjelaskan, membuat dia wajib menebak-nebak sendiri. "Jalan-jalan kemana?" Tiba-tiba saja Suga masuk dan bergabung di depan pantry. "Bali?" "Jauh sekali." Dan masalah lainnya Arlin tidak mungkin ikut. Mereka akan menginap. Kalau hanya bersama ketiga anak tersebut mungkin tidak masalah. Nah yang menjadi masalahnya induk anak tersebut juga ikut. Oh tidak, Arlin tidak mau menjadi topik gosip orang-orang. "Loh kenapa? Kan ada papa yang siap melindungi." Andrew merangkul bahu Arlin. "Mama gak perlu takut. Papa akan selalu di samping mama." "Gombalan papa gak bisa lebih bagus apa?" sinis Suga. "Heh, anak kecil tahu apa memangnya soal gombalan?" "Malah perang. Ini gimana sama liburannya?" tanya Saga kesal. "Piknik di pantai sekitar sini saja, gimana?" tawar Arlin. "Gak seru," keluh Andrew. "Kita ke Disneyland." "Loh memangnya kami ngajak papa?" Pertanyaan Suga memicu kekesalan Andrew. "Ada apa dengan pertanyaanmu itu, nak? Saya kepala keluarganya. Jelas harus ikut dong." "Maaf, Tuan Thompson. Anda adalah presdir GEA. Pasti memiliki kesibukan yang berlimpah-limpah," jawab Suga. "Justru karena papa Presdir, papa bisa mengambil cuti seenaknya." "Ma, yakin mau sama orang tidak profesional begini? Tanggungjawab perusahaannya aja diabaikan, apalagi mama nanti." "Kamu ya." Arlin tidak mau ikut campur, membiarkan saja Suga yang merengek meminta Andrew berhenti menjitak kepalanya. "Di dekat Jalan Cendrawasih ada taman yang baru dibuka loh, Ma. Kata orang-orang tempatnya bagus." Sementara itu Sagara memilih kembali pada tujuannya, yakni membujuk agar Arlin menemani mereka liburan. "Saya sepertinya tidak bisa." "Tapi tadi mama memberi saran pantai." "Cuma memberi saran." Arlin menyelesaikannya dengan senyum, membuat Sagara tidak mampu bersikeras lagi. Maaf-maaf saja, dia bukan Suga yang bisa berjuang mati-matian demi mendapatkan kemauannya. Dia tipe orang yang mengerti sinyal, jika sudah mendapatkan peringatan maka tidak akan mau maju lagi. "Minggu depan saja," saran Andrew. "Kalau besok papa sepertinya juga sibuk." "Itu kan papa." Suga masih tidak berhenti nyolot. Ya itu memang hobinya. Andrew berkacak pinggang, menyipit pada putranya yang entah kenapa bisa semengesalkan itu. Detik berikutnya perang keduanya tidak dapat dihindari. Arlin pun geleng-geleng kepala. Persis seperti Tom and Jerry, pikirnya. *** Derit pintu terbuka yang beradu dengan lantai mengambil perhatian Indah dari ponselnya. "Dari rumah Pak Thompson lagi?" "Iya." Arlin menjatuhkan diri ke kasur. Hari ini rasanya lelah benar. Memang tidak melakukan pekerjaan berat, namun otaknya hampir meledak. Biar bagaimanapun dia baru selesai mengoordinasikan murid-muridnya dalam acara classmeeting. Itu malah pekerjaan yang lebih ribet daripada mengajar di kelas. "Apa gue bilang." Segera semangat menggurui Indah mengudara. "Mending lo nikah aja sama Pak Thompson, Ar. Udah jelas loh dia dan anak-anaknya suka sama kamu." "Karena pakai palet," sahut Mawar tanpa diminta. "Heh bunga kuburan, diam lo!" "Loh benar. Pak Thompson yang hebat begitu masa sukanya sama perempuan seperti Arlin. Aneh banget. Ya kecuali pakai pelet. Itu baru gak aneh." "Perempuan seperti Arlin lo bilang? Maksudnya perempuan cerdas, cantik, mandiri, sopan dan baik hati. Begitu?!" "Kamu jangan seperti orang gua, Ndah. Arlin cantik di sini doang. Kalau di kantor Pak Thompson mah gembel." "Lo bilang apa?" Indah mendudukkan tubuh, menarik lengan baju tidurnya untuk menunjukkan lengannya yang jelas tidak cukup berotot. Arlin pula yang menjadi bahan pertengkaran memilih menutup mata, mencari ketenangan di dalam kegelapan yang tercipta. "Ayo kalau berani." Dengan sengaja mawar memajukan wajahnya untuk menantang. "Ayo." "Oke, sini! Biar gue cabut rambut warna-warni lo itu." "Ndah, udah." Arlin membuka mata, memiringkan pandangan kepada Indah yang telah memasang raut kesal. "Awas lo." Mawar menjulurkan lidah. Tidak sedikitpun takut akan kemarahan yang tampil di wajah Indah. Sebenarnya Arlin terkadang bingung, bagaimana bisa Indah dan Mawar satu kontrakan di saat mereka saling tidak menyukai. Bahkan seperti ini, Mawar dan Indah berada di kamar yang sama. Malahan Mawar sendiri yang datang, padahal dia jelas-jelas tidak menyukai Indah. Lalu Indah juga tidak kalah aneh, dia tidak mengusir Mawar meskipun rautnya masam sekali. "Tapi serius, Ar. Lo dan Pak Thompson itu udah dekat banget loh. Masa gak ada apa-apanya. Kan gak seru." Indah mematikan ponselnya. Menarik bantal ke pinggir kasur dan menjadikannya tumpuan. "Biasa aja kali." "Ah lo mah kepala batu. Ya udah deh gini aja. Kalau lo memang ga ada niat lebih. Kenapa lo masih terus mengurus itu anak-anak Pak Thompson? Apa enggak capek? Saga si tukang ulah, Suga yang kayak cacing kepanasan, belum lagi tuh yang bontot manjanya nauzubillah. Nah bapaknya lagi tukang caper." "Gimana ya.." Kalau dibilang capek, ya sesekali Arlin merasakannya. Namun pada akhirnya itu akan terbayar ketika dia melihat senyum ketiga anak tersebut. "Capek sih ada, tapi kalau objeknya tiga anak itu aku merasa tidak terbebani. Kalau bapaknya baru gue merasa risih." "Aneh lo," sembur Indah. "Udah ah gue ngedrakor aja. Bunga kuburan, ada film baru gak lo?" "Nevertheess. Masih hangat tuh." "Main lead-nya ganteng gak?" "Ganteng dong, tapi siap-siap darah tinggi lo sama tingkahnya." Arlin menarik pandangan dari kedua temannya. Aku aneh? Secara logika benar. Ngapain juga dia mengurusi ketiga anak itu? Namun hatinya menolak pembenaran tersebut. Tidak ada yang aneh dengan memberi kasih sayang. Iya kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD