Calon Istri

1624 Words
“Selamat pagi, Pak.” “Pagi, calon istri.” Senyumnya tertekan paksa. Mencoba mengumpulkan sabar di dalam sana karena dia yakin benar dalam beberapa menit ke depan cobaan akan terus tumpah padanya. Ia membuka lembar rapor, mengabaikan tatapan pria di depannya yang fokus pada wajahnya. Risih terasa nyata, belum lagi ditambah dengan bisik-bisik dari orang lain. “Selamat ya, Pak. Anak anda naik ke kelas 11. Namun..” Ia memutar rapor ke arah pria itu. Membuat matanya melihat jelas angka pas-pasan di setiap mata pelajaran sang anak. “Kamu ya.” Dijitaknya kepala anak laki-laki di sampingnya. Anak berperawakan tinggi dengan seragam amburadul tersebut memutar pelan matanya. Biasanya juga tidak peduli. Cih, pencitraan benar di depan calon istri. “Pasti kebanyakan main lagi. Lihat, mama kamu sampai jadi malu sama nilai kamu. Maaf ya, Ma. Biasalah anak-anak.” Iya memang biasa. Tapi tolong dong. Jangan memanggilnya dengan sebutan mama. Ambigu benar bagi orang lain. “Jadi ke depannya bagaimana? Apa dia butuh bimbingan belajar tambahan lagi?” “Tentu saja. Saya merekomendasikan beberapa tempat bim..” “Kenapa harus begitu? Anda kan bisa mengajarkannya,” potong Andrew bersama senyum sumringah. Oh tentu. Dengan begini intensitas waktunya bertemu Arlin akan semakin banyak. Rencana-rencana ingin melakukan ini itu dan ke sana kemari mengudara di benaknya. Ia sampai mulai bingung harus mulai dari mana. “Maaf sebelumnya, Pak.” Bagaikan petir menyambar. Kalimat tersebut menghancurkan agenda yang baru ia susun. Telinganya pula terasa gatal. Panggilan ‘pak’ rasanya kurang berkenan di hatinya. Dia memang telah berusia 42 tahun. Itu hanya umur saja. Fisiknya sama sekali tidak menunjukkan umurnya. Malah sebaliknya, ia terlihat lebih tampan dan panas dari pria di bawah umurnya. “Jangan panggil saya begitu. Seperti biasa saja, panggil saya Mas.” Arlin menekan senyum paksa. Mas dari mananya? Melantur nih orang. Biasanya juga dia memanggil dengan sebutan Pak. Mentang-mentang di depan keramaian dia jadi memanfaatkan keadaan untuk mempermalukannya. “Pak Andrew dan Bu Arlin pacaran kah?” Nah loh. Sudah jadi bahan gosip. Ini nih yang membuat Arlin malas melihat pria gagah di depannya. Dan sebelum menjadi semakin luas ia harus segera mengakhirinya. “Baiklah, nanti akan saya coba pertimbangkan untuk bimbingan belajar Sagara.” Ditutupnya pelan rapor. “Terima kasih, Pak. Silahkan.” Ia mengarahkan tangan ke daun pintu. “Saya tunggu di parkiran.” Beranjak lah dia dari kursi. Tubuh tinggi nan tegapnya langsung menjadi atensi, tidak terkecuali oleh ibu-ibu yang telah bersuami di kelas tersebut. Dengan tubuh atletis yang yang dibalut oleh kemeja putih berlapis jas membuat ia terlihat semakin begitu maskulin. Belum lagi pahatan di wajahnya seperti dewa dan manik coklat gelapnya. Ah, pria itu memang sempurna padahal umurnya sudah kepala empat. Yah orang kaya mah beda. Meskipun tua tetap terlihat hot. Alrin menghela lega akan kepergian Andrew meskipun dia meringis melihat ibu-ibu yang masih menggosipi dirinya. “Kean Pratama.” Anak laki-laki berseragam acak maju diikuti oleh pria dua puluh tahunan dengan pakaian kasual. “Selamat pagi, Bu Arlin. Semakin hari semakin cantik deh,” godanya tanpa malu. Kean memutar mata. “Buaya darat!” Ditariknya pelan telinga Kean. Alrin yang melihat itu pun hanya bisa tersenyum pasrah. “Kean, nilai kamu banyak yang turun. Mata pelajaran penting seperti PKN dan Bahasa Indonesia hanya mendapat poin C. Jika kelas dua belas terus begini maka kamu tidak akan lulus. Mulai hari ini kamu harus lebih giat belajar. Pasang porsi seimbang antara bermain dan belajar, mengerti?” “Mengerti, Bu.” “Cih membuat malu saja,” omel Sean. “Nih calon kakak ipar hampir kehilangan air muka karena kamu. Udah deh, besok-besok lo resign aja jadi adik gue.” “Sean!” Arlin melototi pria itu. Si objek tercengir lebar. Lengkungan yang terangkat menjadi tampak manis dinikmati jika saja Arlin tidak ingat bagaimana caranya bersikap. “Maaf, Sayang.” “Heh, buaya. Perhatian kata-kata kamu!” Kepalanya mendadak pusing. Pria ini kenapa kembali lagi? Padahal sedari awal masuk dia sudah memperingatinya untuk menahan emosi kepada Sean. “Lah Tuan Besar kenapa masih di sini? Hush sana, urus tuh perusahaan kamu.” “Mau saya di sini atau tidak bukan urusan kamu.” Andrew mendekati meja, berdiri tepat di samping Arlin. “Apa lagi? Kalau tidak ada keperluan sana pulang!” “Lah kenapa jadi kamu yang mengusir? Ini kelas memangnya punya nenek moyang kamu?” Arlin memijat pelan pelipisnya. Ya Allah, berikanlah dia kekuatan untuk tetap sabar. Bisa bahaya jika emosinya meledak. Tidak hanya suara menanjak dan kalimat tajam, namun tangannya juga berkemungkinan besar melayangkan benda-benda ke semua penjuru. “Berisik! Sana pergi!” Ditariknya Sean, tentu saja pria tersebut enggan bangkit. Setelah lama ingin bertemu akhirnya ia mendapatkan kesempatan meskipun lewat jalur pengambilan rapor. Tidak mengapa, pertemuan formal ini tidak akan ia sia-siakan. “Pak Andrew Thompson dan Pak Sean Gearel silahkan keluar. Terima kasih.” Ditekannya senyum paksa. Di mata wali murid lain mungkin senyum ramah yang menekankan kesabaran, tapi bagi dua pria itu senyum tersebut adalah senyum kemarahan. Secara tidak langsung juga berisi ancaman jika mereka tidak segera melaksanakan perintah. Ancaman tersebut berbahaya. Paling utama pasti akan mengancam jalan mereka selanjutnya. Kalau itu terjadi semua akan sia-sia. Siapa yang mau demikian? Mencapai titik ini adalah keberkahan. “Ayo, Kean.” Sean beranjak dari kursi. Andrew mengikutinya kemudian. Dari jendela kaca Arlin masih melihat jelas dua pria itu berhenti, adu mulut lagi sementara Kean terlihat melipat tangan untuk menikmati pertunjukan. “Luar biasa, kecantikan Bu Arlin semakin membuat banyak laki-laki terjerat. Pak Thompson loh. Pemilik perusahaan besar tersebut.” Ya Allah. Arlin memijat pelipisnya. Dia selalu ingin mengajar dengan damai, jauh dari gibahan orang-orang. Tapi itu sepertinya tidak pernah terjadi. Tentunya semenjak pria bernama Andrew Thompson masuk ke lingkarannya. “Bu, boleh minta nomor ponselnya?” tanya salah satu bapak wali murid. “Maaf tidak bisa, Pak. Saya hanya mengurus segala hal berhubungan dengan sekolah. Di luar itu saya tidak bisa.” Di dorongnya rapor yang bahkan tidak tersentuh oleh bapak si murid tersebut. Buaya benar. Urusan anaknya sampai diabaikan. “Justru itu, Bu. Saya perlu berkonsultasi tentang anak saya kepada ibu.” “Maaf, Pak. Tapi ke depannya saya bukan wali murid anak anda.” “Loh kenapa begitu? Saya maunya ibu yang menjadi wali murid saya?” Terkadang Arlin tidak sepenuhnya merasa kesal akan kehadiran Andrew. Seperti saat ini dia mengirimnya pesan akan bantuan lewat mata memohon. Pria yang memang masih adu mulut di teras kelas tersebut langsung masuk. Bapak wali murid yang sempat ingin mencari kesempatan itu langsung menggeser kursi. “Terima kasih, Bu.” Ditariknya sang anak cepat. Ya, siapa yang berani melawan Andrew Thompson. Hanya tatapan matanya orang-orang sudah ketakutan. Belum lagi hampir tujuh puluh persen wali murid di Cendikia bekerja di bawahnya. Jika mereka macam-macam maka pekerjaan menjadi taruhannya. No-no, siapa pun tidak akan mau mendapatkan itu. Pembagian rapor akhirnya berakhir. Arlin menghela lega. Kebebasan terasa menggelayutinya. Yes. “Jadi, apa imbalannya?” Andrew menopang dagu di hadapannya. Astaga, Arlin lupa. Setiap satu bantuan kecil pria ini akan menuntut balasan. Aih dasar manusia menyebalkan. *** "Aku mau sotong saus padang seperti yang kemarin kamu bawa." Menuruti kalimat Andrew, Arlin mengambil sotong yang telah terbungkus dari tempatnya. "Satu?" "Tiga," kata Andrew mengejutkannya. "Bapak serius? Nanti tidak habis loh." "Pasti habis." Of course, buatan Arlin. Andrew bisa memakannya sampai perut hampir meledak. Bukan karena si pembuatnya saja, namun juga cita rasa makanan yang lezat luar biasa. "Aku mau calamari," celetuk Suga mencoba berjinjit dari belakang punggung Arlin untuk melihat keadaan di depan. "Itu lebih enak daripada sotong saus padang." "Enak saja," sembur Andrew tidak terima. "Sotong saus padang lebih enak dari calamari." Ia memutar mata. Bapak satu ini memang selalu enggan kalah dari kedua anaknya dalam beradu mulut. Tanpa bertanya ia mengambil lagi satu bungkus sotong untuk dibuat calamari. "Kamu mau apa, Saga?" Arlin tahu. Tidak mungkin hanya kedua orang itu yang membuat permintaan. Sagara juga pasti tidak mau ketinggalan. "Apa ya?" Sagara menatap sesaat hewan laut yang ada di dalam bungkusan-bungkusan. Tidak ada yang menarik. Ia menutupnya. "Aku ayam kecap aja deh." "Ayam cecap." Adam di gendongan Andrew segera melonjak senang. Senyum muncul di bibir Arlin akan keantusiasan Adam yang menggemaskan. "Adam mau ayam kecap?" Dia mengangguk cepat. "Mau." "Oke, kalau begitu kita ambil ayam dulu." Berbalik, Sagara mengambil alih trolley dan mendorongnya ke sebelah. Arlin memasukkan beberapa bungkus ayam potong, lalu berpindah ke bagian sayur-sayuran. Seperti keluarga bahagia. Begitulah yang ada di mata Nolan melihat mereka. Arlin selaku ibu dengan sabar menuruti permintaan anak-anaknya, terpaksa juga begitu kepada Andrew meski sesekali beradu mulut. Selaku suami, selain bertanggungjawab Andrew juga memperlihatkan sisi ingin dimanja. Ketiga tuan muda Thompson juga tidak mau kalah. Hal itu semakin menambah kedekatan mereka satu sama lain. Sudut bibirnya tersungging tipis. Ikut merasa senang akan ekspresi bahagia tuannya. "Nolan, kenapa kau tersenyum?" sindir Andrew. Matanya menajam tak suka kemudian. "Kau memperhatikan istriku ya?" tuduhnya mempercepat kepala Nolan bergerak kanan dan kiri. "Tidak, Tuan. Saya tidak memperhatikan Nyonya Arlin." "Lantas?" sinis Andrew masih tidak percaya. Arlin itu memanjakan mata. Siapapun betah dan tertarik menatapnya. Sebagai pemiliknya, ia merasa risih dan tidak terima jika mendapati pandangan itu dari pria lain. "Saya memperhatikan Adam, Tuan. Dia sangat imut." Berbalik tanpa ekspresi. Nolan mengerutkan kening. Loh tetap salah? Padahal dia tidak menatap Arlin lebih dari semestinya. "Kamu lain kali jangan pakai riasan," sungut Andrew mengalihkan perhatian Arlin dari sayur-sayuran yang ada. Ia mendengar pertengkaran Andrew dan Nolan. Itu bukan hal yang baru, jadi dia tidak merasa aneh. Tapi kalimat yang baru keluar dari bibir Andrew ini tampak bermasalah. "Sudah tahu cantik. Malah ditingkatkan. Tuh lihat, banyak yang ngeliatin kamu." Arlin tertawa kecil. "Namanya juga manusia, ya terlihat." Dia menekuk bibir. Arlin masih tidak mengerti bahwa dia kini menjadi milik Andrew secara tidak langsung. Siapa lagi, tentu saja Andrew yang harus menahan sakit hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD