Dinner

1360 Words
Dion’s POV Aku menyapa Mas Abi saat kami berpapasan menuju lift. Dia bilang siang ini akan menghadiri acara peresmian kafe salah satu sahabatnya dan makan siang di sana. Aku bertanya kenapa dia tidak mengajak Ayasha. Aku bertanya begini karena sejak awal aku melihat mereka lekat bagai perangko. Mas Abi bilang Ayasha selalu membawa bekal dan lebih sering menghabiskan waktu istirahat di kantor saja, mengesankan. “Gak masuk?” tanya Mas Abi bingung saat aku tak ikut masuk ke dalam lift. “Gak jadi turun, Mas,” ujarku. Aku berniat menemui Ayasha, tapi kutemukan meja kerjanya dalam keadaan kosong. “Ke mana dia?” Gumamku. Aku kembali melanjutkan langkah. Kali ini aku mencoba mencarinya ke pantry. Ternyata benar, dia sedang asyik memainkan ponselnya membelakangi pintu masuk. “Sha.” Dia menoleh saat aku memanggilnya. “Pak, ada yang bisa saya bantu?” ujarnya begitu formal. Dia berdiri menghadapku dan kembali duduk saat aku mempersilakannya. Aku mendekat, menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Kamu sudah selesai makan?” tanyaku saat melihat kotak makan siang yang tergeletak di atas meja, sepertinya belum disentuh. “Belum juga mulai, Bapak sudah makan atau belum?” “Panggil seperti biasa saja, Sha, saya belum makan. Ada yang mau saya sampaikan ke kamu—” Ayasha mengintrupsiku dengan mengangkat tangannya. Dia berdiri ke arah kitchen set mengambil piring dan sendok. “Mau menyampaikan apa tadi, ya, Mas?” tanyanya sembari mengambilkan nasi dan memindahkannya ke piring yang dia ambil tadi, lalu memberikannya padaku. Aku menerima dan menatapnya lekat. “Saya emang biasa bawa makan siang dengan porsi lebih. Tadinya mau ajak Lita makan siang bareng, ternyata dia makan siang di luar dengan kekasihnya,” jelasnya. Sepertinya dia tahu arti tatapanku padanya. “Untung Mas datang.” Kini dia tengah tersenyum lebar memamerkan gingsulnya. “Mas ada alergi makanan tertentu atau nggak?” tanyanya lagi. “Tidak.” Ayasha mempersilakanku mengambil lauk mana yang aku sukai karena saat ini dia membawa dua jenis lauk, udang saus manis dan ayam bumbu bali. Katanya dia lebih hemat jika membawa bekal, hemat uang dan waktu, ringkas. Sehabis makan, kita bisa menikmati waktu istirahat dan lanjut bekerja, mengesankan, again. Kami bercerita banyak hal, hingga aku lupa menyampaikan maksud dan tujuanku menemuinya, tentu saja, ingin menanyakan apakah dia sudah menemukan cara untuk membatalkan perjodohan di antara kami. “Sha.” Aku memanggilnya saat dia sedang mencuci piring dan kotak makan siangnya. “Iya, Mas.” Dia kembali dengan membawa kopi dingin dan meletakkannya di hadapanku. “Biar nggak ngantuk, Mas, antisipasi untuk menghadapi jam rawan kantuk.” Lagi-lagi dia memamerkan gingsulnya. “Tadi mau bicara apa, Mas?” tanyanya. “Saya akan tinggal di apartemen, Sha, dan sesekali menginap di rumah Mama,” ujarku. Aku merutuki diriku. Entah kenapa aku malah memberi informasi ini padanya, dan ekspresinya terlihat seperti kecewa. “Kalau kamu mau protes sebaiknya jangan diutarakan, saya sedang tidak meminta pendapat siapa pun,” lanjutku membuatnya menggerutu. Dia tampak lucu dengan bibir monyongnya. Jam istirahat kantor sudah berakhir, kami gegas beranjak dari pantry. Ayasha mempersilakan aku berjalan lebih dulu. Begitu keluar dari pantry, aku dibuat terkejut saat sebuah buket bunga besar tepat di hadapanku. “Happy Birthday, Ay.” Aku menyingkirkan buket di hadapanku dan melihat senyum yang memudar di wajah seorang lelaki. “Loh, Pak Rayyan,” sahut Ayasha, membuat aku menoleh kebelakang menatapnya bergantian dengan lelaki di hadapanku ini. “Happy Birthday, Aya-sha.” Teriakan yang semula semangat tiba-tiba melemah. Mereka saling menatap heran satu sama lain, kemudian menyapaku bergantian. Ayasha akhirnya mendahuluiku. Dia keluar dari pantry dan tertawa lepas melihat kekonyolan rekan-rekannya yang tak melihat keberadaanku. Lalu, dia menerima bunga dengan suka cita dari lelaki yang entah siapa ini, aku tak kenal. Sepertinya dia bukan karyawan kantor ini. Beberapa kali Ayasha tampak menciumi wangi bunga-bunga di pelukannya, sesenang itu kelihatannya. Ayasha menuntun semua orang yang memberinya kejutan ke ruang tamu di lantai ini, dia juga menarikku untuk ikut bergabung. “Pak Rayyan, kenalin ini Pak Dion, CFO baru kami,” ujar Ayasha. Aku menyambut uluran tangan Rayyan, dia tersenyum ramah menyebutkan namanya. “Saya Rayyan, dari Utama Group,” ujarnya. Utama Group, bukankah itu perusahaan tersohor yang memiliki beberapa anak perusahaan termasuk Utama Hotel, salah satu hotel mewah di kota ini. Kenapa dia bisa nyasar kemari? Aku menatap Ayasha yang masih asyik senyam-senyum. Dia meminta rekannya yang dia panggil Lita untuk menyalakan lilin pada cake yang sempat terpadam. Tak lama Ayasha meniup lilin pintu lift terbuka. Ruang tamu ini memang berhadapan langsung dengan lift. Lantai ini sendiri dikhususkan untuk ruangan kerja direksi saja. Ternyata Mas Abi, dia keluar dari lift dengan wajah sumringah membawa sebuah buket di tangannya, aku yakin dia juga akan memberikannya pada Ayasha. Baiklah sepertinya hanya aku yang tak memberikannya apa pun, malah Ayasha yang membagi makan siang miliknya padaku tadi. “Wah, seperti dugaan saya pasti sudah ramai,” ujar Mas Abi mendekat. “Kamu ini tidak ada kerjaan atau bagaimana, Yan?” Mas Abi tampak menyindir Rayyan dan yang disindir hanya terkekeh saja. “Aku juga nggak mau ketinggalan momen ini, Bi,” jawab Rayyan. “Malam ini kita dinner, ya, Ay,” ujar Rayyan pada Ayasha terang-terangan. “Pak!” Ayasha memicingkan matanya ke arah Rayyan. “Ditolak lagi aku, Bi, gimana, nih?” Semua orang tetawa lepas mendengar ucapan Rayyan. Siapa dia sebenarnya? *** Aku meminta Dito untuk menghubungi Ayasha dan memintanya datang ke ruanganku. Dito adalah sekretarisku. Berbeda dengan pimpinan lain, sebelum bergabung di perusahaan ini, aku meminta Mas Nadeo untuk mencari karyawan lelaki untuk dijadikan sekretarisku. Singkatnya, aku enggan berurusan dengan wanita sebisa mungkin. Aku menyahut saat mendengar suara ketukan pintu dari luar, pasti itu Ayasha. “Masuk.” “Siang, Pak. Bapak panggil saya?” “Duduk, Sha,” titahku menunjuk sofa diruanganku. Aku bermaksud menyelesaikan pekerjaanku sebentar saja. Saat aku mengangkat pandanganku, Ayasha masih saja berdiri tak jauh dari mejaku tampak tak nyaman. “Sha.” “Saya di sini saja, ya, Pak. Ada yang perlu saya bantu, Pak?” Aku melihat sekitar, Dito di luar tampak sibuk dengan pekerjaannya. Aku menekan tombol pada remot dan seketika dinding kaca transparan menjadi gelap, dari luar kupastikan orang tak dapat melihat ke dalam ruangan. “Loh, Mas, kok malah ditutup, sih,” rengeknya. “Saya pikir kamu butuh privasi.” Aku kembali menekan tombol pada remot dan dinding ruangan kembali seperti semula. “Nanti pulang dengan saya, Sha.” Memang ada yang salah dengan ucapanku? Ayasha, dia mencak-mencak mengomeliku, katanya dia rela meninggalkan pekerjaannya hanya untuk menemuiku, tapi apa yang aku sampaikan padanya justru tidak penting. Dia berbalik menuju pintu tanpa pamit. “Sha.” Dia berbalik menoleh ke arahku, memicingkan matanya padaku. “Nanti pulang dengan saya,” ulangku. “Iya, Mas, iya. Sudah boleh lanjut kerja atau belum ini?” gerutunya. Aku hanya menggerakkan tangan mempersilakannya. Lihatlah Ayasha ini, berani sekali dia bersikap seperti itu padaku. Yang benar saja Mama menjodohkanku padanya. Mana Ayasha yang katanya lemah lembut? *** Jam kantor sudah berakhir, aku melangkah cepat saat melihat Ayasha berdiri di depan lift. “Sha.” Dia tampak celingukan ke segala arah, lalu berjalan ke arahku menarik tanganku dan berbicara dengan nada pelan tapi jelas di pendengaranku. “Mas, saya tunggu di halte di dekat kantor, ya.” Dia berlari saat pintu lift terbuka. Aku mengikutinya masuk ke dalam lift, tapi dia mendorongku hingga keluar lift masih celingukan membuatku heran dan kesal bersamaan. “Kenapa, sih?” “Mas pakai lift direksi saja, ya, bye, Mas.” Dia menutup pintu lift dan meninggalkanku. Ayasha! Aku menunggu Ayasha dengan perasaan dongkol. Berani-beraninya dia mengaturku. Mataku sedikit memicing. Ah, itu dia anaknya. “Masuk,” titahku saat kami sudah bertemu di halte. “Kamu—” “Mas, Asha minta maaf, ya, soal tadi. Asha cuma nggak mau orang kantor berpikiran yang tidak-tidak tentang kita,” lirihnya. Saat ini dia berbicara menatapku, tapi jari-jemarinya saling beradu satu sama lain, lalu apa tadi dia bilang, Asha, dia memanggil dirinya Asha. Aku mengangguk, lalu melajukan mobil meninggalkan halte, seketika aku lupa meluapkan kekesalanku padanya. “Kita mau ke mana, Mas?” tanyanya penasaran karena ini bukan jalan menuju rumahnya. “Dinner.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD