Biarkan Saja Seperti Ini

1228 Words
Ayasha’s POV Aku tak bisa berkata-kata saat mendengar permintaan Bu Ara. Sebelumnya beliau memang bilang ingin meminta sesuatu dariku saat aku menawarkan kado ulang tahun untuknya beberapa bulan lalu. Kalimatnya saat itu terdengar ambigu. Beliau bilang jika nanti waktunya tiba, dia akan memintanya padaku. Ternyata permintaan beliau adalah meminta aku menjadi menantunya, menikah dengan anak bungsunya, Mas Dion, lelaki yang … aduh, jangankan dijodohkan, berhadapan dengan Mas Dion saja rasanya aku tak ada muka lagi. Tadi, Bu Ara memastikan apakah aku memiliki kekasih atau tidak. Memang saat ini aku tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun. Masa mudaku habis kugunakan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Ya, untuk biaya hidup. Ya, untuk membantu Pakde dan Bude juga. Meskipun mereka selalu bilang aku tak perlu melakukan banyak hal untuk mereka, tapi inilah baktiku pada mereka yang sudi mengasuhku selama ini. Bude dan Pakde hanya tinggal berdua, putra beliau satu-satunya meninggal dunia saat duduk di bangku SMP karena kecelakaan, sama seperti Ambu dan Bapakku. Berbeda dengan dia yang lebih dahulu meninggalkan kedua orang tuanya. Saat kemalangan menimpa keluarga kami saat itu, aku selamat seorang diri dari kecelakaan maut itu. Oh ya, kalau saja masih hidup, mungkin jarak usiaku dengan anak Pakde hanya terpaut dua tahun. Bu Ara sudah bergabung dengan kerabatnya yang lain. Beliau bilang sudah lama berniat menjodohkan aku dan Mas Dion, meski begitu beliau menghormati apapun keputusanku. Begitu aku bilang bahwa aku akan memikirkannya terlebih dahulu, beliau tampak senang bukan main. Jujur, aku tak mungkin bisa menolak permintaan Bu Ara. Beliau sama berartinya seperti keluargaku. “Bagaimana menurutmu?” tanya Mas Dion memecahkan kecanggungan di antara kami. “Saya—” “Ayasha.” Kalimatku terhenti saat seseorang memanggilku. “Mas Abi.” “Saya ada conference call dengan Zein, kamu kirim ke email saya proposal kemarin, ya. Satu lagi, kalau kamu sudah selesai di sini tolong naik ke ruangan kerja saya, ya,” pintanya. “Eh, ngomong-ngomong baju kalian couple, ya, lucu,” gurau Mas Abi sebelum pergi. Aku hanya meringis menatap Mas Dion, lalu meminta izin padanya untuk menemui Mas Abi di ruangannya. Lebih tepatnya aku ingin melarikan diri darinya. Dia mempersilakanku. Biasanya, saat di luar urusan pekerjaan, aku memang memanggil kedua anak Bu Ara dengan embel-embel 'Mas'. Itu perintah dari Bu Ara. Tentu ini juga berlaku untuk Mas Dion. Dua jam lebih aku berkutat di ruangan kerja Mas Abi, menyiapkan apa saja yang beliau butuhkan selama conference call. Aku melirik jam di tanganku, sepertinya acara Bu Ara sudah selesai sejak lama. Mas Abi mengizinkanku pulang. Dia meminta maaf tak bisa mengantarku karena masih harus melanjutkan pekerjaannya. Aku sangat paham, Mas Abi ini workaholic banget. Aku menghampiri Bu Ara yang duduk di sofa ruang tengah bersama Mas Dion dan Pak Aditama meminta izin untuk pulang. “Saya antar,” titah Mas Dion beranjak dari sofa. Aku menerjap saat tiba-tiba mendengar ucapannya. Bu Ara mengangguk dan tersenyum padaku. Sesopan mungkin aku menolak tawaran Mas Dion, tapi dia tak menghiraukan dan berlalu begitu saja menuju pintu utama tanpa menungguku. “Ayo, Sayang, Masmu nanti kelamaan menunggu,” ujar Bu Ara. Mau tak mau aku menurut saja, aku menyusul Mas Dion setelah menyalami Bu Ara dan Pak Aditama. *** Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan asyik sendiri memainkan jari-jemariku. “Mas, mas! Kelewatan, rumah saya gang yang tadi.” Akhirnya aku bersuara setelah sejak tadi membisu. Aku menggenggam lengannya, dan dia memicingkan matanya ke arahku. Aku merutuki diriku yang lancang ini. Ya ampun Asha. Batinku. “Kita ngopi di kafe depan itu dulu, ada yang ingin saya bicarakan,” ujarnya. “Tapi … kalau saya ngopi jam segini, nanti saja malah nggak bisa tidur, Mas,” jawabku. Aku melipat bibirku saat Mas Dion menatapku tajam. Saat ini, mobil sudah terparkir di depan kafe. “A—ayo, Mas, kita turun,” ajakku menghindari tatapannya. Mas Dion menuntunku menuju meja yang berada di sudut ruangan. Ini kali pertamaku datang ke kafe ini, padahal jaraknya tak jauh dari rumahku. Mas Dion menyebutkan pesanannya saat pelayan menghampiri meja kami, dan aku melakukan hal yang sama. Aku memilih cokelat hangat saja. “Kamu sudah dengar sendiri ‘kan permintaan Mama tadi, bagaimana menurut kamu tentang ide Mama?” tanyanya tak sabaran. Aku menatap manik matanya, tapi tak dapat mengartikan tatapannya. Sedatar itu ekspresinya. “Bu Ara memberi saya waktu untuk berpikir, Mas,” jawabku. “Baiklah kalau begitu kamu dengar saja tanggapan saya tentang ide Mama ini, sebagai bahan pertimbangan kamu. Ini akan terdengar sedikit egois, tapi saya ingin kamu tahu.” Mas Dion mempersilakanku untuk menikmati minuman yang baru saja diantar pelayan, dia juga langsung menyeruput minuman di cangkirnya. “Saya tidak pernah berpikir untuk menikah dalam waktu dekat ini. Saat ini, fokus saya hanya pada karir yang akan saya bangun bersama perusahaan Papa. Saya tidak ingin direpotkan dengan masalah orang lain. Kalau menikah, tentu pikiran dan waktu saya harus terbagi, memikirkan hal itu saja sudah melelahkan.” “Kesendirian saya saat ini adalah salah satu cara saya menikmati hidup. Saya bebas menciptakan kebahagiaan saya sendiri, tanpa perlu diusik oleh siapa pun,” terangnya. Entah kenapa mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan Mas Dion aku malah merasa dia begitu kesepian. “Saya tidak mungkin mengecewakan Mama, dia wanita yang saya cintai. Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak permintaan beliau,” lirihnya. Eh. “Jadi sebaiknya kamu saja yang mencari cara untuk menolak perjodohan ini. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang mencintai kamu dan kamu cintai bukan?” tambahnya. Tunggu-tunggu, secara tidak langsung dia memintaku untuk menolak perjodohan ini. Aku memejamkan mata sejenak, mana bisa aku menolak permintaan Bu Ara. Sebisa mungkin malah aku mencoba untuk tak membuatnya kecewa. “Ini sih namanya Mas menyudutkan saya. Maaf, Mas, tapi sepertinya saya akan tetap menerima perjodohan ini. Ini kado yang Ibu minta beberapa bulan lalu. Saya terlalu banyak berhutang budi pada Ibu dan Bapak, loh, Mas. Meskipun nantinya pernikahan yang saya dapatkan hanya sandiwara belaka, tapi saya tidak bisa menolak apa pun permintaan Ibu, Mas,” ujarku karena tersulut emosi. Tak masuk akal, bicara apa aku? Aku mengorbankan masa depanku pada lelaki yang terang-terangan mengungkapkan dia enggan untuk menikah. Seperti apa jadinya nanti rumah tanggaku setelah ini. “Kalau saya boleh kasih saran, baiknya Mas cari saja wanita yang sesuai dengan kriteria Mas, saya yakin Ibu pasti setuju. Kemungkinan ide perjodohan ini muncul karena Ibu khawatir Mas yang tak kunjung memiliki pasangan padahal sudah berumur.” Mas Dion tampak mengusap wajahnya kasar. “Dari tadi saya bicara panjang lebar kami nggak paham maksud saya? Lalu apa? Berumur, siapa, saya?” “Saya tidak mau dan tidak akan bisa mencintai orang lain termasuk kamu, Sha,” ujarnya penuh penekanan setengah membentak. Aku tersentak, lalu menunduk lesu. Entah kenapa hatiku seperti tercubit mendengar ucapannya. Aku ditolak seolah aku yang mengemis cintanya. Aku mendengar Mas Dion mengembuskan napasnya kasar. “Berarti baik saya dan kamu tidak akan menolak perjodohan ini begitu ‘kan?” tanyanya. Aku mengangguk cepat dan kembali menundukkan pandanganku. “Ya sudah, biarkan saja begini dulu, Baik saya atau kamu, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, tapi kamu tetap harus cari cara supaya perjodohan ini batal tanpa harus mengecewakan Mama.” “Mas ….” Aku sontak mengangkat pandanganku menatapnya dan merengek. Eh. Aku baru saja melihatnya tersenyum, meski sangat tipis aku yakin tadi dia tersenyum. “Iya … kita berdua.” Lihatlah dalam sekejap tatapannya dingin bagai tak tersentuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD