Ketika hari sudah semakin siang, Hana memutuskan untuk ikut dengan Maloma ke perkebunan anggur di pinggir desa. Dia sudah meminta izin pada Justin, meminta lelaki itu ikut juga, tapi Justin hanya mengizinkannya dan menolak untuk ikut karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda katanya. Hana memaklumi, terkadang Justin memang tampak seperti seseorang yang gila kerja.
Siang ini, udaranya cukup panas, tapi tidak sampai menyengat. Hana hanya merasakan lelah berjalan menyusuri rerumputan lalu memasuki sedikit perkebunan dengan pohon-pohon tinggi, barulah mereka sampai di sebuah lahan luas dengan anggur melimpah.
Seketika, lelahnya hilang entah kemana. Hana menyeka keringat di dahi, merapikan niqabnya, lalu berjalan menyusul Maloma dengan bersemangat.
“Apa Anda baik-baik saja, Mrs.?” Tanya Maloma khawatir, sekalipun Hana tampak berseri, tapi peluh di wajah dan napasnya yang sedikit putus-putus membuat Maloma merasak khawatir sekaligus bersalah.
Hana menggeleng. “Aku baik-baik saja,” jawabnya penuh keyakinan, tidak menatap ke arah Maloma melainkan pada buah-buah anggur di hadapannya yang masih menggantung di tangkainya, tampak begitu segar. “Boleh aku memetik itu?” tanyanya, menoleh sebentar pada Maloma.
Perempuan paruh baya itu tersenyum. “Tentu saja, ini milik Anda juga.”
Hana membulatkan matanya. “Ini punyaku?”
Maloma terkekeh, sambil mengenakan sarung tangan di kedua tangan Hana dia menjawab; “Lebih tepatnya, ini milik suami Anda.”
Hana semakin berdecak kagum. Tidak dia sangka, ada tempat seperti ini di dunia, dan dimiliki oleh suaminya sendiri. Oh betapa Hana merasa sangat beruntung sekali.
“Ya Allah, apakah ini yang dinamakan surga dunia?” gumam Hana, sebelum memulai kegiatannya membantu Maloma memetik buah-buah anggur itu. Well, sebenarnya Hana lebih banyak makan dibanding membantu, tapi Maloma tidak masalah, justru dia terus saja terkekeh akan sikap lucu perempuan itu yang sedari tadi masih terkagum-kagum.
***
Sepulangnya, Hana membawa sekeranjang anggur dengan senyum yang terus merekah di bibirnya. Hal itu tidak luput dari pandangan Maloma.
“Anda sangat cantik kalau sedang tersenyum,” komentarnya, yang membuat Hana tersipu malu. Padahal, Maloma hanya melihat kedua mata Hana berseri, tapi dia tahu bahwa perempuan itu memang cantik, dengan mata biru jernihnya yang indah.
“Alhamdulillah, terima kasih,” balas Hana. Kemudian, Maloma pamit padanya untuk pulang. Rumah Maloma terletak tidak terlalu jauh dari rumah tempat Hana tinggal. Dia akan datang satu kali sehari dengan anak gadisnya untuk membersihkan rumah itu. Maloma sudah bekerja dengan suaminya kepada keluarga Claybourne semenjak rumah itu dibangun oleh Jeremy Claybourne dulu. Jadi Justin sangat mempercayainya untuk mengurus perkebunan dan rumah ini.
“Sampai jumpa, Maloma!” seru Hana sambil melambaikan tangan pada Maloma.
Setelah itu, Hana pun masuk ke dalam rumah melewati pintu belakang. Dia berjalan cepat bahkan sedikit berlari.
“Assalamu'alaikum!” serunya, namun tidak ada sahutan. Dia pun melangkah menuju ruang tamu untuk mencari Justin. Pria itu ada di sana, bersama seorang wanita duduk di hadapannya.
Hana mengintip dari balik tembok, memperhatikan figur perempuan itu dari belakang. Rambut panjang berwarna pirang yang bergelombang, digerai di punggungnya. Hana tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dia hanya mendengar ketika perempuan itu tertawa renyah.
Hana mengernyit tidak suka. Ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa tidak rela melihat Justin berduaan dengan perempuan lain. Hana tahu betul perasaan ini, Justin pernah bilang bahwa Hana mencintai pria itu, sebelum dia lupa ingatan. Tapi sekalipun sedang lupa ingatan, Hana tetap mengakui bahwa dia mencintai suaminya.
Hana ingin mendekat, tapi dia sungkan, takut mengganggu. Sekalipun Justin suaminya, dia tetap merasa canggung untuk mencampuri urusan pria itu.
Akhirnya, Hana pun berjalan mengendap-ngendap menuju tangga. Namun Justin telah lebih dulu menyadari kehadirannya, dan dia memanggil Hana, menyuruhnya mendekat.
Hana duduk di sofa di samping Justin, cukup jauh dari jangkauan pria itu.
“Joanna, kenalkan istriku, Hana Azzahra,” kata Justin pada perempuan di hadapannya.
Hana yang awalnya menunduk dalam, mendongakkan kepalanya dan menatap Joanna, betapa terkagum-kagumnya Hana pada kecantikan perempuan bernama Joanna tersebut. Dia memiliki rambut pirang bergelombang yang disisir rapi. Tidak ada riasan make up di wajahnya, namun dia benar-benar tampak cantik. Tiba-tiba, ada keinginan yang begitu kuat untuk membawa Justin pergi dari sana dan membungkusnya supaya tidak bertemu dengan perempuan itu lagi, apalagi sampai tertarik padanya.
Hana merinding membayangkan hal itu. Jika dia saja yang perempuan terpesona oleh kecantikan Joanna, bagaimana dengan Justin? Dan tiba-tiba saja, sebuah kesimpulan muncul dengan sendirinya di benak Hana.
Refleks Hana menoleh pada sang suami yang ternyata tengah menatapnya dalam.
“Kau sudah mendapatkan anggurmu?” tanya Justin lembut.
Hana mengangguk, lalu mengangsurkan keranjang anggurnya pada Justin. Lelaki itu mengambilnya, tapi menaruhnya lagi ke atas meja di hadapannya. “Kita akan makan itu nanti,” katanya.
“Kau ingin mencoba anggurnya?” tawar Justin pada Joanna. Membuat Hana melirik pada Joanna lagi.
Tanpa disangka, perempuan itu memetik satu anggur dari tangkainya, lalu memakannya. Dia bergumam; “Apa ini anggur dari kebun anggur Anda yang ada di perbatasan?” tanya Joanna penuh antusias.
Justin menganggukkan kepala. “Istriku sudah mengidam-idamkannya sejak lama, baru hari ini dia sempat mendapatkannya.”
Pipi Hana merona. Entah kenapa, setiap kali Justin menyebutnya dengan kata istri, dia menjadi salah tingkah.
Mereka mengobrol, membahas tentang uang dan penjualan, pembeli, dan sebagainya yang kebanyakan tidak Hana mengerti. Yang pasti, kesannya pada Joanna bertambah, selain cantik dia juga ternyata sangat cerdas. Hana menjadi cemas, takut jika Justin akan memilih Joanna dibanding dirinya. Perasaan itu entah muncul darimana.
Barulah ketika pukul satu siang, Joanna pamit pulang, setelah menolak ajakan makan siang dari Justin. Hana hanya diam dan tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Dia melepas niqabnya dan membuntuti Justin menuju meja makan di mana makan siang mereka sudah tersedia.
Justin masih bersikap manis, dengan menarik kursi untuk Hana duduk, lalu melipat lap yang ia taruh di pangkuan Hana. Hana tidak tersenyum, atau tampak seceria biasanya. Dan Justin jelas menyadari hal itu. Pada akhirnya, dia pun menarik kursi di samping Hana dan menatap istrinya dengan kening berkerut.
“Kau kenapa?”
Hana menggeleng, menoleh pada Justin dengan mata berkaca-kaca. Seketika hal itu membuat Justin panik. Dia memegang bahu Hana dan menelisik wajah dan tubuh sang istri, mencari-cari sumber rasa sakit yang mungkin dirasakannya.
“Kau baik-baik saja? Hana, ada apa?”
Bibir Hana mengerucut seperti anak kecil ketika menahan sesak tidak beralasan di dadanya. “A-aku baik-baik saja.” Dia meracau dengan suara tidak jelas, lalu tiba-tiba saja kedua lengannya melingkari tubuh Justin, memeluknya erat.
Justin masih tidak merasa tenang, tapi dia membalas pelukan Hana.
“Hei... bisa kau ceritakan padaku kenapa kau sampai menangis seperti ini. Apa kepalamu sakit?”
Hana menggeleng.
“Lalu kenapa?”
“Dia mengambil anggurku,” kata Hana kemudian.
Justin memutar otak, apa yang dimaksud oleh Hana... tunggu... pikirnya, apa yang dimaksud oleh Hana adalah Joanna?
“Maksudmu Joanna?” tanya Justin.
Mendengar namanya Hana jadi sesenggukan. Mengingat betapa menariknya perempuan itu, cantik dan sangat cerdas. “Aku tidak mau kau dengannya lagi,” kata Hana dengan suara terbata di sela air matanya.
Justin menahan senyum. Ya Allah, istrinya sungguh menggemaskan..
“Memangnya kapan aku akan dengannya?” tanya Justin, masih sambil memeluk Hana di dadanya.
“Kau tadi berduaan dengannya. Dia sangat cantik, cerdas, dan benar-benar menarik...” Hana menjauhkan diri lalu menatap mata Justin dengan matanya yang berair. “A-ap... apa kau akan meninggalkanku?”
Ketika mendengar itu, Justin tidak lagi merasa terhibur atau menahan senyum. Wajahnya menatap Hana sendu. Ini mungkin bentuk dari kecemburuan Hana, tapi bisa jadi merupakan ketakutannya juga. Justin tahu poligami itu diperbolehkan dalam Islam, tapi dia tidak pernah sekalipun berniat, atau bahkan berpikir, untuk melakukannya.
Justin menangkup wajah basah Hana dengan kedua tangannya, mengusap air mata Hana dengan ibu jarinya, menatap mata sang istri dalam. “Joanna adalah sepupu jauhku,” kata Justin memulai, yang membuat Hana sedikit terkejut, “dia sudah lama tinggal di desa ini dan mengurus perdagangan buah di perkebunan. Dia sudah pernah menikah dan memiliki seorang anak.” Hana lebih terkejut lagi, dan tangisnya langsung terhenti. “Dia memang cantik, tapi untuk apa aku berpaling padanya sedangkan perhiasan dunia seindah dirimu ada dalam pelukanku? Dia juga cerdas, karena aku tidak akan memperkerjakan orang bodoh untuk mengelola bisnisku. Menurutmu dia menarik? Jelas kau lebih menarik. Selain Allah, kau lebih dari segalanya di hidupku, dan kau tahu itu.”
Perasaan sesak di d**a Hana sebelumnya tergantikan oleh perasaan bahagia yang membuncah, dia memeluk Justin lagi dan terkekeh geli, karena merasa begitu bodoh telah berpikir bahwa Justin akan meninggalkannya.
“Kenapa kau tertawa?” tanya Justin merasa aneh. Dia ingin menjauhkan tubuh Hana untuk menatap matanya, tapi Hana memeluknya kian erat.
“Maafkan aku telah menuduhmu seperti itu,” bisik Hana bersungguh-sungguh.
Justin pun berhasil melepas pelukan Hana dan menatap istrinya lagi. Kali ini, wajah Hana dihiasi senyum menawan dengan rona merah di kedua pipinya, sekalipun masih ada jejak air mata di pelupuk matanya.
“Kenapa kau tersenyum?” tanya Justin lagi, sekalipun dia sudah tahu jawabannya.
Hana tampak memikirkan jawabannya sendiri. “Aku merinding, dan jantungku berdebar dengan aneh,” jawabnya, menyentuh d**a kiri di mana tempat jantungnya berada.
“Di sini?” tanya Justin, menangkup tangan Hana itu.
Hana mengangguk.
Justin mengembangkan senyum. “Tentu saja jantungmu berdebar, itu tandanya kau hidup.”
Hana ber'oh' pelan, dia terkekeh lagi. Dan Justin sangat menyukai suara tawa kecil Hana itu.
Kecemburuan itu hal lumrah yang terjadi pada pasangan suami istri, bahkan Aisyah pun sering merasakannya pada istri-istri Rasulullah yang lain, tapi itu semata-mata karena rasa cinta Aisyah pada suaminya. Seperti yang saat ini Hana rasakan. Dia teringat pada kisah itu, dan dia dapat menyimpulkan sendiri, bahwa dia juga mencintai suaminya dengan sangat.