Chapter 05

846 Words
Beberapa bulang kemudian… Allah bisa saja memberikan cobaan yang lebih besar dari ini, yang lebih rumit dari ini, atau yang lebih menyakitkan dari ini. Tapi, Dia tidak melakukannya, karena rasa sayangNya, murah hatiNya, dan keadilanNya pada kita, sehingga Dia hanya memberikan cobaan yang sesuai dengan kemampuan kita saja. Tidak pernah lebih dari itu. Tapi terkadang, Justin lupa. Sehingga dia sering berpikir untuk menyerah saja. Atau paling tidak, menyalahkan takdir dan bertanya pada sang Penulis Takdir mengapa dirinya diberi cobaan seberat ini. Namun ketika matanya menatap wajah berseri sang istri, Justin seolah lupa pada apa yang tengah ia hadapi. Hana bahagia. Tidak ada yang lebih penting dari itu. * Terik matahari pagi terasa hangat menerpa kulit, semilir angin menyejukkannya, dengan dedaunan dan rumput yang masih basah akan embun. Justin berdiri di ambang pintu, menikmati udara pagi yang sejuk, sambil memejamkan mata. Kemudian, bibirnya membentuk senyum tipis ketika mendengar suara tawa dari kejauhan. Dia pun membuka mata, dan menatap Hana yang tengah bermain dengan si Hitam, kucing berbulu putih yang Justin hadiahkan untuknya. Justin masih terus menatap mereka, seolah tidak ingin mengganggu momen bahagia mereka. Tapi pada akhirnya, Justin pun menjauh dari ambang pintu dan berjalan mendekati Hana. Hana benar-benar dalam mood yang baik pagi ini. Well, di pagi-pagi sebelumnya juga. Dia tampak benar-benar bahagia. Seolah senyumnya tidak pernah sirna dan selalu ada di sana apapun yang terjadi. Tawanya terdengar lebih sering. Wajahnya pun lebih berseri. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar ketimbang mendekam di dalam kamar. Hana masih terus bermain, berlarian kecil sambil membawa mainan si Hitam di tangannya. Hitam bukanlah kucing yang takut pada air, sehingga embun pada rerumputan sama sekali tidak mengganggunya ketika dia terpancing dengan mainan di tangan Hana kemudian berlari mengejarnya. Namun, karena rumput yang basah menjadi licin ketika dipijak tidak hati-hati, Hana hampir saja terpeleset jika saja Justin tidak menangkapnya dari belakang. Waktu yang tepat ketika dia sampai di sana. Justin memberengut tidak suka dan hampir saja menyuruh Hana untuk masuk ke dalam rumah lalu melarangnya untuk keluar lagi. Karena dia khawatir, dunia luar bisa saja mencelakai istrinya yang ceroboh ini. Namun yang tengah dikhawatirkan, malah terkikik geli dengan tatapan polos. “Aku terkejut,” kata Hana. Justin menatapnya datar. “Kau sama sekali tidak tampak seperti itu,” tukasnya. Hana terkekeh lagi. “Maaf, aku terpeleset.” “Aku tahu.” Dalam posisi Justin memeluk pinggang Hana, dan kedua tangan Hana bertumpu di dadanya, memisahkan sedikit jarak di antara mereka. Namun tatapan mereka sangat dekat, seolah tidak ada lagi jarak yang ada, atau tembok-tembok penghalang. Mereka hanya saling tatap, meresapi keheningan menyampaikan rasa yang seolah tidak bisa terucap oleh lidah. Tapi Hana, seperti sebelum-sebelumnya, selalu memalingkan wajah lebih dulu karena malu. Rona di pipinya terlihat lebih kontras, dan debaran di dadanya semakin kencang. Justin menyadari hal itu, dan bukannya berhenti, dia malah semakin suka melakukannya. Ketika Hana hanya merasa seperti ini dengannya, di atas semua ingatan yang Hana lupakan, setidaknya Justin tahu bahwa Hana masih mencintainya. “Ini pagi yang cerah,” ucap Hana, memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka. Justin mengukir senyum, “Kau tampak lebih cerah dari pagi ini,” katanya, yang sukses membuat wajah Hana semakin memerah dengan tidak terkontrol. Justin terkekeh melihatnya. Tidak kuat, Hana pun meronta dari pelukan Justin. Bukannya melepaskan, Justin malah mengeratkan pelukannya. “Ayo, lepaskan, aku mau bermain dengan Hitam lagi,” pinta Hana yang sama sekali tidak digubris Justin. Lama kemudian, Justin pun menganggukkan kepala. “Tapi sebelum itu, biar aku mengecek sesuatu,” katanya. Hana mengerutkan dahi bingung. “Apa?” Justin mengalihkan telapak tangan kanannya, dari pinggang menuju perut Hana yang sedikit membuncit, tidak terlalu tampak, tapi ketika Justin mengelusnya, dia tahu bahwa ada nyawa lain yang bersemayam di sana, tidak pernah gagal membuat Justin tersenyum. Dan Justin hanya diam ketika melakukannya, mengunci tatapan Hana dengan begitu dalam. Hana seolah ingin mengubur dirinya saja, tapi juga, dia tidak bisa berpaling. “Ah, sepertinya dia sedikit lelah dan bosan bermain terus dengan Hitam, dia mungkin merindukan ayahnya, bagaimana kalau kita ke dalam?” Hana tidak merespon. Nyatanya, dia tidak dengar apa yang Justin katakan, karena terlalu terfokus pada tatapan pria itu, dan keajaiban yang dia lihat di sana. Justin mengerutkan kening. Dia menyibak sedikit rambut terurai Hana ke samping, melihat sebuah alat bantu dengar masih terpasang di telinganya. “Hana?” panggil Justin kemudian. “Hm?” “Ayo kita masuk ke dalam, ini sudah waktu dhuha.” Tanpa sebab apapun, Hana terkekeh lagi, dan menganggukkan kepala. Kemudian melepaskan diri dari Justin dan berjalan lebih dulu bersama Hitam, menuju rumah mereka yang dicat berwarna putih. Ketika Hana keluar dari rumah sakit, Justin memutuskan untuk membawanya ke sini, ke sebuah pedesaan terpencil di Inggris, yang jauh dari hiruk pikuk kota. Dengan udara bersih dan padang rumput yang luas, serta suasana yang masih sangat asri, Justin berharap Hana menyukai tempat ini, dan terhindar dari stress apapun, yang akan membuat kesehatannya kembali menurun. Dan sepertinya, Justin berhasil melakukan itu. Hana sudah menganggap tempat ini sebagai rumahnya sendiri semenjak satu bulan mereka pindah. Dan dia... tampak bahagia, seperti yang Justin inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD