PULANG KE BALI

1595 Words
Sebulan telah berlalu, penampilan Rae yang dulu polos kini sudah berbeda jauh. Semua berkat kursus body language dan operasi wajah yang dilakukannya. Oplas hasilnya sangat memuaskan, nyaris mirip wajah Mahalini, malah lebih cantik dan segar. Maklum Rae lebih muda beberapa tahun dari Mahalini. Penampilannya sengaja dibikin mirip Mahalini Lembong dan supaya tidak ada yang curiga. Tapi suaranya tak berubah tetap serak-serak basah. Ini Betul-betul konyol dan membuat ia sangat tertekan pada dirinya. Seolah boom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja dan membuatnya di penjara. Siang ini Rae memindahkan isi dompet nona Mahalini, mereka bertukar KTP dan ATM. Ia membawa satu ATM Mahalini yang kosong dan begitu pun sebaliknya. Dalam jangka waktu sebulan banyak yang sudah dipelajari dari Mahalini, terutama kebiasaan ibunya. Walaupun kasta Brahmana, nyonya Fransiska tetap saja suka nongkrong di Rock Bar. Orang kaya mah bebas, mau joget-joget di Bar atau mabuk semalaman tidak ada yang mengkritik sah-sah saja. Sebenarnya mempelajari sifat orang-orang di sekitar Mahalini tidak penting, karena ia akan selalu pura-pura amnesia. Ini hari terakhir ia menginap di hotel Sakura, rencananya besok pulang ke Bali. Sudah banyak ilmu menjadi pembohong ia pelajari. Mahalini mencuci otaknya siang dan malam, supaya bisa mewujudkan keinginannya kawin lari dengan Gunawan. Lamunannya buyar kala Gunawan nongol dan langsung memeluknya dari belakang. Ntah di sengaja atau tidak, ia hampir jatuh untung ada nona Mahalini disitu. Gunawan mulai terlihat genit sejak Rae berubah wujud. Sikap genitnya membuat Rae lebih waspada, jangan sampai tendangannya meluncur ke badan Gunawan. Emosinya cepat terpancing oleh Gunawan yang licik dan pura-pura baik. "Yank, apa-apaan kamu." bentak Mahalini menarik tangan Gunawan. "Aku bingung, mana kamu atau Rae, wajah kalian mirip." kilah Gunawan melepaskan pelukan nya. Ia buru-buru minta maaf kepada Rae. "Berarti operasi ini sukses, aku bangga kamu tidak bisa membedakan kami berdua. Orang tersayang ku bisa bingung memilih hahaha." ucap Mahalini tanpa prasangka. "Asal jangan terus-terusan bingung hehe." timpal Rae kesal. Masalahnya saat dipeluk tangan Gunawan sempat meremas gunung kembarnya. Dasar kampret!!. "Besok kita pulang ke Bali, kamu harus siap mental. Jangan mundur ketika ada masalah yang tiba-tiba datang tanpa kita sadari. Yang penting kamu menurut saja apa kata mama dan tetua di rumsh ku. Pikiranmu dibawa santai, supaya semua berjalan lancar. Jika suatu hari Dewa mengetahui penyamaranmu, dia tidak bisa berkutik, karena kamu sudah menjadi istrinya, dia pasti memaafkan kamu." "Terus terang saya takut nona, saya rasa ini perbuatan salah. Masalah ini sampai terbawa mimpi. Semoga saja tidak ada bencana di kemudian hari." "Achh..lebay, kalau terima uang seratus juta tidak takut, dasar mata duitan. Zaman sekarang masih takut pergi saja ke laut..." ketus suara Gunawan. Ia ikut kesal ketika tadi ia memeluk Rae, diam-diam kuku Rae menusuk tangannya. Hampir ia teriak. Aksinya gagal meremas gunung kembar gadis itu. "Nona, saya rindu sama ibu, bolehkah saya menengoknya setelah sampai di Bali?" tanya Rae tanpa menggubris omongan Gunawan. "Sekarang belum boleh, setelah keadaan menjadi tenang baru kamu boleh melihat ibu. Semoga ibumu operasinya sukses." "Baik nona, trimakasih atas kebaikan nona. Saya akan berusaha menjadi istimewa di keluarga nona dan suami saya." kata Rae setius. Ia menunduk menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. "Aku ingatkan padamu rahasia ini tidak boleh ada yang tahu, karena ini sudah menyangkut kriminal yang bisa dituntut di ranah hukum." pesan Mahalini. "Baik nona, saya harap hubungan kita tetap berlanjut karena saya akan banyak bertanya di kemudian hari." "Tanganku selalu terbuka untukmu, jika kamu kesulitan hubungi aku. Perlu diketahui bahwa kastaku Brahmana, jadi jaga tingkah lakumu dan tutur katamu. Lebih baik diam, pura-pura lupa akan dunia yang kejam ini hehe..." "Mohon doanya nona, supaya saya bisa melakoni drama yang nona ciptakan ini." ucap Rae garing. "Hahaha...seperti mau mati saja, santailah. Nanti dirumah Dewa, bebanmu berat sekali, semua tingkah lakumu jadi perhatian, di atur dan adatnya kuat. Apalagi saat ini ayahnya Dewa sakit keras, aku yakin kamu menjadi perawat dadakkan." "Sepertinya nona suka melihat saya menderita, dari tadi ketawa melulu. Katanya Dewa orang kaya, kenapa tidak sewa suster atau dibawa ke Singapura supaya cepat sehat." "Aku tertawa karena kamu terus cemberut. Sebenarnya aku tidak tahu, katanya ayah Dewa stroke berat dan komplikasi kencing manis, darah tinggi, sudah bolak balik Singapure, namun tidak sembuh-sembuh." "Saya tidak apa-apa disuruh merawat ayah dan ibunya, daripada menjadi istri lelaki itu. Tidak Ikhlas lahir bathin." "Harus ikhlas Rae, aku yakin kamu akan repot setiap hari ngurus orang sakit, kamu harus tabah. Kata mamanya Dewa, pak Agung ditempat tidur, tidak bisa berdiri atau duduk, begitulah. Kamu disana tidak boleh mengeluarkan usul atau pendapat dengan leluasa, karena yang kuasa lelaki, wanita hanya menurut dan diam. Akan banyak tuntutan yang tidak bisa ditolelir, semua perintah harus dipatuhi." kata nona Mahalini lebih lanjut. Rae mendengarkan dengan seksama, sedikit banyak ia mengetahui unggah ungguh orang Puri atau kasta Brahmana. Karena ia sering membantu orang Brahmana kalau ada upakara agama. Itu pertemuan mereka terakhir, kemudian nona Mahalini dan Gunawan terbang dengan pesawat berbeda, mereka akan menikah dan bebas dari segala beban yang mengekang kebebasannya selama ini. Sedangkan Rae akan mulai terjun ke dunia nyata, dimana jiwanya mulai terpasung oleh tradisi feodal. Mampukah ia menjalani hidup tanpa ibu disampingnya? Air matanya kembali bergulir jatuh jika ingat dengan kemalangan nasibnya. Ternyata nona Mahalini tidak benar-benar baik, dia membeli tubuh dan jiwanya hanya seratus juta. Rae menghapus air matanya buru-buru mengikuti penumpang lain menuju Boarding Pass. Dengan banyak bertanya akhirnya ia sampai juga di pesawat. Dia menarik nafas panjang setelah duduk di bangku pesawat. Ada rasa lega setelah pesawat mulai take Off. Tidak ada gunanya menangis, jalani saja seperti air yang mengalir. bathinnya. Pukul 10.45 WITA pesawat landing, Rae sudah kembali menginjakan kakinya di pulau Bali. Dadanya tiba-tiba berdebar, perasaannya mulai takut. Keraguannya timbul, bisakah ia menjadi orang lain dan mengelabui orang Puri yang nanti ada disekitar nya? Rae mencoba menepis pikiran negatifnya, ia berjalan dengan bimbang. Kemudian ia mengambil kopernya keluar dari Conveyor Bagasi dan berjalan keluar mengikuti orang banyak. Sampai di depan Solaria, Rae didekati oleh dua orang berpakaian dokter. Hatinya mencelos melihat kedua pria itu. Karena ia tahu kedua dokter ini adalah suruhan Mahalini. Berarti ia tidak sempat kerumah ibunya untuk bertemu kangen. "Selamat datang nonà Rae, saya dokter Agus Suwanda dan teman saya dokter Ary Duarsa, kami berdua bertugas untuk mengantarkan nona kerumah nyonya Fransiska lembong. Kami sangat berharap nona bisa diajak kerja sama sesuai arahan dari nona Mahalini." ucap dokter Suwanda menatap Rae penuh arti. "Baik dokter, saya akan berusaha semampu saya, semoga bisa memuaskan semua pihak. Jika ada yang kurang berkenan dihati dokter tolong saya ditegur, karena pekerjaan ini lebih berat dari pekerjaan lainnya." "Kami memaklumi perasaan nona, mungkin nona kurang bergaul sehingga menganggap pekerjaan ini sangat sulit. Padahal banyak wanita mau menjalani pernikahan ini dengan gratis. Orang yang akan menikahi nona adalah seorang pemuda tampan, kaya raya dari golongan Brahmana. "Mungkin saya salah satu yang menolak perjodohan ini, karena awalnya sudah b******k, pasti akhirnya jelek.Tepatnya saya tidak biasa berbohong, bagi saya pekerjaan ini bisa memenjarakan diri saya, karena mengambil hak nona Mahalini. Kita tidak tahu kedepannya, pikiran orang bisa saja berubah. Siapa tahu nona Mahalini berubah pikiran dan menggugat saya di kemudian hari." "Tenang nona, saya mengerti resikonya berat, tapi nona Mahalini Lembong yang memaksa nona berbuat begitu, bukan kemauan nona. Disini nona sebagai korban, kalau suatu hari nanti, terjadi musibah, saya berjanji menjadi saksi. Nona tenang saja, jangan bimbang dan takut, semoga kedepannya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan." kata dokter Suwanda menenangkan Rae. Mereka keluar dari Bandara. Kedua dokter itu mengawal Rae menuju mobil. "Dokter dimana nona Mahalini, kontak saya di blokir, katanya mau berhubungan terus, apa maksudnya ini?" Rae panik ketika ia mau menelpon nona Mahalini Lembong. "Ohh..saya juga ikut di blokir, kita jangan berpikir negatif dulu, mungkin nona Mahalini ada masalah. Dia terlalu nekat dan sangat berani mengambil resiko untuk kawin lari. Mereka sebenarnya berbeda keyakinan, dan tidak direstui oleh nyonya Fransiska lembong. Sedangkan nona sudah terlanjur hamil." ucap dokter Duarsa membuka pintu mobil untuk Rae. "Kita naik ke mobil saja. Saya harap nona Rae mulai membiasakan diri dipanggil namanya dengan sebutan Mahalini. Nona harus tabah dan sabar. Jangan sekali-kali menelepon nona Mahalini kalau nona Rae sudah di rumah nyonya Fransiska." "Baik Dokter saya mengerti." jawab Rae pendek. Rae selanjutnya tidak menanggapi ocehan kedua dokter itu, ia lebih fokus kepada jalan yang mereka lewati. Saat ini mereka berada di dalam mobil Jazz menuju rumah nyonya Fransiska. Ketika mobil masuk ke garasi rumah nyonya Fransiska, d**a Rae berdebar keras. Seluruh tubuhnya gemetar saat nyonya Fransiska lari memeluknya. "Sayank bagaimana keadaanmu, benarkah kamu amnesia dan sering lemas. Mama tahu ini pasti ulah laki-laki itu. Mama sudah bilang jangan pacaran dengan si b******k itu." "Ya..ya..ma." jawab Rae tercekat, seolah ada biji kedondong di tenggorokannya. Badannya mendadak tremor. "Mari ke kamarmu sayank, aduh, badanmu gemetaran. Dokter bagaimana putri saya?" "Maaf nyonya, biar saya saja." kata dokter Duarsa memapah Rae. "Nyonya harus sabar, keadaan nona stres berat, dia kadang-kadang lupa dan takut kepada siapapun. Nyonya harap sabar, jangan grasa grusu, takutnya penyskit nona tambah gawat. Nona Mahalini mengenal nyonya saja sudah cukup dan bersyukur, kita harus memperlakukan nona Mahalini lebih istimewa lagi." kata dokter Duarsa meyakinkan. "Saya minta tolong supaya dokter menangani putri saya sebaik mungkin, minimal ia tidak berontak saat calon besan datang melamar. Mereka sudah menentukan lamaran serta tanggal pernikahannya." "Kami berdua akan berusaha semaksimal mungkin, nyonya jangan khawatir. Tolong bantu kami, supaya nona bisa mengingat kembali. Kita saling bantu, misalnya para pelayan menceritakan riwayat hidupnya atau nyonya mengingatkan nostalgia masa lalu. Nyonya ceritakan sedikit demi sedikit, usaha apa saja nyonya punya, siapa saja yang ada di rumah ini dan sebagainya." "Baik dokter, apapun yang dokter sarankan saya akan lakukan asal putri saya sembuh." ucap nyonya Fransiska. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD