Episode 5 : Cobaan yang Kembali Datang
****
Sekitar pukul sembilan malam, Embun yang sedang mencetak gula merah di belakang rumah, mendadak terjaga lantaran Utari adik ke tiganya berteriak sambil menangis. Bocah yang kini genap berusia tiga tahun itu terdengar sangat ketakutan.
“Tari, pelan-pelan. Jangan teriak-teriak gitu, sudah malam. Malu sama tetangga!” tegur Wulan yang kebetulan tengah membantu Embun melepas setiap cetakan gula yang sudah kering.
Di antara aroma gula merah yang begitu harum sekaligus khas, Embun yang awalnya diam menatap Utari penuh keseriusan, berkata, “Ada apa? Pelan-pelan.” Tak mau gula dalam gayung yang awalnya tengah ia tuang ke setiap cetakan, justru mengering, ia segera melanjutkan kesibukannya sambil tetap menyimak Utari. “Ayo cerita. Ini Mbak lagi nanggung cetak gula, biar besok langsung bisa dijual buat biaya sekolah kalian.”
Tergagap dan sampai sibuk mengatur napas, Utari berkata, “I-ibu … ibu jatuh, Mbak! Kepalanya membentur amben. Dan … ibu enggak bangun-bangun lagi, Mbak!”
Merasa syok, Embun yang tersentak refleks menjatuhkan gayung berisi gula yang masih agak cair sekaligus panas, begitu saja dan untungnya tidak sampai menyiram kaki Embun. Karena jika sampai terjadi, luka akibat siraman cairan gula panas juga berakibat fatal.
Detik itu juga, Embun berlari kencang bak orang kehabisan akal. Sedangkan Wulan yang ditinggalkan sungguh menyayangkan keadaan. Tak hanya mengenai keadaan sang ibu, tapi mengenai gula yang terjatuh ke tanah dan otomatis tidak bisa dijual, padahal untuk mendapatkan satu gayung bakal gula siap cetak, sangatlah tidak mudah.
“Kok bisa ibu jatuh? Kan kamu yang ditugasin buat jaga ibu?” Wulan menggeleng tak habis pikir, sedangkan Utari hanya terisak dan semakin menunduk ketakutan.
***
Keadaan Sutri sangat mengkhawatirkan. Pelipis kanan wanita tua itu lebam, sedangkan wajah berikut sekujur kulit sudah pias berhias keringat dingin. Yang membuat keadaan semakin mengenaskan, tak lain karena tubuh Sutri masih terbaring di depan amben tanpa alas. Tubuh Sutri terbujur lemas di atas tanah yang memang menjadi lantai rumah sederhana kediaman Embun.
Embun memastikan napas, detak nadi, juga detak jantung Sutri yang semuanya dalam keadaan sangat lemah.
“Bawa ke bidan, Mbak!” sergah Ibrahim.
Seperti biasa, ketika Sutri sakit, pengobatan terbaik yang bisa mereka dapatkan hanyalah mengunjungi bidan terdekat.
“Enggak … enggak. Sekarang ibu harus dibawa ke puskesmas. Ayo, bantu Mbak angkat tubuh Ibu,” sergah Embun. Padahal, jauh di lubuk hatinya Embun sudah ketakutan luar biasa. Karena jika dilihat dari keadaannya, Sutri harus mendapatkan penanganan intensif melebihi penanganan di puskesmas.
Utari yang baru datang, bergegas membantu Embun maupun Ibrahim, dalam mengangkat tubuh Sutri.
“Giel, kamu di rumah sama Mbak Wulan. Mbak Wulan masih di belakang, lagi nitis (nyetak gula),” titah Utari tapi yang dimaksud justru hanya kebingungan.
“Mbak Embun … aku ikut Mbak saja.” Ragiel merengek sedih dan bahkan sampai menangis, mengekor mengikuti Embun.
“Anak kecil enggak boleh ke puskesmas!” tegur Ibrahim susah payah menyeimbangi langkah cepat Embun berikut Utari dalam memboyong tubuh Sutri.
Dari dalam, Wulan keluar sambil berlari. “Ragiel, sini. Kamu di rumah sama Mbak!” semprotnya kesal sambil menyingsing rok panjang yang dikenakan.
“Enggak mau … aku enggak mau sama Mbak Wulan. Mbak Wulan galak!” raung Ragiel.
“Jangan rewel, Giel! Kamu sama Mbak! Ayo kita nitis, habis itu ke rumah Mas Pur!” omel Wulan lagi semakin kesal.
Suasana menjadi riuh hingga tetangga sekitar berhamburan keluar. Wulan yang telanjur malu dengan tegas menyeret kemudian menggendong Ragiel masuk ke rumah.
Beberapa dari tetangga langsung membantu Embun. Dengan perencanaan yang begitu singkat, tubuh Sutri akhirnya diboyong menggunakan mobil kolbak.
“Uang dari mana, ya?” pikir Embun yang masih memangku sang ibu. “Enggak … enggak. Jangan sampai. Ibu baik-baik saja. Berobat di puskesmas pasti cukup. Sehat-sehat, Bu,” batin Embun yang kini mendekap kepala Sutri kemudian menciuminya.
***
“Aku uang dari mana? Aku enggak punya uang, Lan!” Purnama menatap tak habis pikir Wulan yang menggendong Ragiel. Gadis berusia tujuh belas tahun tersebut menatapnya penuh amarah.
Berderai air mata, Wulan menggeleng tak habis pikir. “Hampir dua puluh empat jam, Mbak Embun banting tulang demi kami! Sedangkan Mas yang seharusnya jadi kepala keluarga untuk kami, sama sekali enggak peduli. Ibu sakit, dan ibu butuh Mas! Tapi apa? Sebagai anak pertama dan sudah disekolahkan tinggi, Mas justru enggak ada pengertiannya? Jangankan kasih uang buat biaya ibu walau hanya sedikit, jenguk saja Mas enggak pernah! Begini, yang namanya anak?” tangis Wulan meledak-ledak.
Purnama menghela napas kasar. “Sudah malam, Lan. Lebih baik kamu pulang. Enggak enak sama keluargaku!” balas Purnama tak kalah kesal. “Ingat, Lan … di sini aku hanya numpang. Di sini aku enggak punya apa-apa. Jadi tolong, kalian jangan egois. Aku enggak mau kehilangan anak dan istri aku. Apa pun yang terjadi, kalian pasti tahu jawabannya. Jangan pernah berharap kepadaku. Percuma. Jadi lain kali, lebih baik jangan pernah datang ke sini. Seperti biasa saja, kita pura-pura enggak kenal.”
Semudah itu Purnama menyelesaikan keadaan bahkan masalah, seolah-olah, hati pria itu terbuat dari batu yang hanya diciptakan untuk istri sekaligus mertuanya yang kaya raya. “Hanya demi hidup enak, Mas melupakan bahkan mengorbankan kami, Mas?”
“Terserah kamu, Lan!” Tanpa menunggu tanggapan apalagi balasan Wulan, Purnama justru menutup pintu rumahnya.
“Mas … ibu dibawa ke rumah sakit, Mas! Tolong ibu, Mas! Tolong kami! Kami janji, kami akan mengembalikan seberapa pun banyak uang yang kami pakai!” teriak Wulan sambil menggedor pintu rumah Purnama hingga menimbulkan suara riuh. Tak hanya Ragiel yang ia gendong dan sampai terbangun, sebab beberapa tetangga di sekitar juga sampai keluar dari rumah menghampiri Wulan.
Wulan yang merasa malu, menunduk sambil menyeka asal air matanya. Bergegas ia berlalu dari sana dengan langkah tergesa, selain Ragiel yang menjadi beban tersendiri untuknya. Wulan tergopoh menggendong Ragiel menerobos kegelapan malam yang sudah semakin sunyi.
“Ya Tuhan … kenapa cobaan terus saja datang? Kami enggak sekuat itu. Kasihan ibu. Kasihan Mbak Embun!” batin Wulan yang masih saja berderai air mata. Sesekali, ia membenarkan tubuh Ragiel yang merosot dari gendongannya.
“Mbak … ibu di rumah sakit?” tanya Ragiel terdengar sangat lirih.
“Iya … makanya kamu jangan nakal, ya?” balas Wulan tak lagi meledak-ledak lantaran kini, ia tengah berada di titik nadir. Wulan merasa sangat rapuh bahkan hancur.
“Iya, Mbak. Aku enggak nakal, kok. Tapi, ibu sama Mbak Embun, malam ini pulang, enggak?” tanya Ragiel lagi.
“Enggak. Kamu di rumah cuma sama Mbak.”
“Kalau Mbak Embun enggak pulang, besok yang deres siapa? Mbak Wulan, ya?”
“Mbak mana bisa manjat. Kamu saja sana.”
“Oke, Mbak. Berarti besok aku yang nderes, ya? Asyiik!”
****
Hingga pagi menyapa, Embun sama sekali belum tidur. Di tengah penampilannya yang berantakan lain dari yang lain bahkan adik-adiknya, mengingat dari kemarin Embun memang belum sempat ganti baju apalagi mandi, wanita itu terduduk lemas di lantai depan sebuah ruang rawat.
“Ibu komplikasi. Ibu harus operasi ginjal. Ya Alloh … uang dari mana?” batinnya. Kedua tangannya mendekap lutut sedangkan tatapannya kosong.
Air mata Embun kembali rebas. Perlahan, ia menoleh ke pintu yang juga ia dorong menggunakan telunjuk kanan. Di dalam sana, Ibrahim dan Utari tengah sibuk mengurus Sutri. Utari tengah mengompres tubuh Sutri, sedangkan Ibrahim memijati kaki berikut tangan Sutri.
“Memangnya ada yang mau memberikan pinjaman cuma-cuma?” pikir Embun lagi sambil menyudahi intipannya.
“Seandainya aku kerja ke luar negeri, mungkin aku bisa dapat gaji lebih besar. Tapi mana mungkin aku meninggalkan ibu dan adik-adikku?” pikir Embun lagi.
Embun benar-benar bingung. Tak ada tempatnya bergantung atau setidaknya mendapat bantuan.
“Mbun …?” Suara itu, suara agak berat dan sukses membuat Embun merinding. Iya, benar. Rustam.
Rustam datang dan menatap Embun dengan prihatin. Sebuah kenyataan yang sukses membuat perasaan Embun menjadi campur aduk. Sedih, marah, kecewa, bahkan malu membuat Embun tak berkutik. Parahnya, air mata Embun semakin sibuk berlinang.
Embun berharap, kehadiran Rustam hanyalah bagian dari delusinya dikarenakan ia belum bisa melupakan pria itu. Pria yang sempat tulus peduli kepadanya sekeluarga, tapi karena restu orang tua, mereka harus berpisah.
Bersambung ….