Episode 6 : Terpaksa Hijrah Ke Jakarta

1766 Words
“Jangan duduk di situ. Sudah, ibu pasti baik-baik saja,” ucap Rustam sesaat setelah jongkok di hadapan Embun. Embun refleks menelan salivanya tanpa berani menatap Rustam. Rustam benar-benar datang dan tak semata bagian dari delusi Embun. Hanya saja, selain membuat perasaan Embun menjadi teramat nelangsa, apa yang Rustam lakukan kini juga membuat Embun merasa sangat kecewa. Bagaimana tidak, Rustam sudah menikah, dan kenapa juga masih memperhatikan Embun bahkan memberi Embun uang untuk biaya pengobatan Sutri? Bisa jadi bumerang bahkan fitnah kejam jika sampai ada yang mengetahuinya. “Mas enggak boleh gini. Aku dan keluargaku bukan tanggung jawab Mas. Apa pun alasan Mas,” “Dari dulu, sebelum aku menikah, aku sudah menyiapkan semua ini.” Rustam tetap menyodorkan amplop berisi uang dan memang merupakan tabungan yang sejak lama ia siapkan khusus untuk Embun. “Aku masih simpan semuanya, karena ini sudah menjadi hak kamu, Mbun!” Embun menggeleng sekaligus menatap tegas Rustam. Ia beranjak dari duduknya, berdiri menghadap Rustam. “Enggak, Mas. Itu bukan hakku. Kalau Mas berpikir begitu sedangkan Mas sudah punya istri dan anak, Mas keliru. Yang ada, apa yang Mas lakukan bisa menghancurkan semuanya. Maaf, Mas. Sebaiknya Mas pergi sebelum terjadi fitnah. Hargai istri dan anak-anak Mas. Bukan begini caranya peduli kepadaku.” “Tapi, Mbun ….” “Memikirkan keluargaku saja sudah berat, Mas. Tolong jangan ditambah lagi. Bahkan meski aku enggak tahu apa-apa dan enggak pernah berurusan sama Mas, semua yang terjadi pada Mas, selalu disangkut-pautkan denganku! Maaf, Mas. Lebih baik Mas pergi!” tegas Embun yang buru-buru masuk ruang rawat Sutri. “Kalau kamu enggak mau terima ini, kamu bisa bayar, Mbun. Anggap saja ini pinjaman.” Embun tetap mengabaikan Rustam. Ia buru-buru menutup, membelakangi pintu dua sisi dan ia tahan menggunakan kedua tangannya. Utari, Ibrahim, sekaligus Sutri yang mendengar suara Rustam dan memanglah terbilang berseru, refleks bengong. Ketiganya saling tatap kebingungan. Mereka yakin, tadi suara Rustam. Namun, kenapa Rustam sampai datang? Tak semata karena keberadaan mereka yang telah hijrah ke kabupaten demi mendapatkan pengobatan lebih baik mengingat keadaan Sutri yang mengkhawatirkan membuat wanita itu harus dirujuk ke rumah sakit besar. Melainkan mengenai Rustam yang justru kembali mendekati Embun. Atau mungkin, selama ini keduanya masih menjalin hubungan spesial, secara diam-diam? Embun menyadari dirinya tengah menjadi bahan perhatian oleh ke tiga orang di hadapannya. Tentu kenyataan tersebut terjadi karena suara Rustam yang terdengar lantang. Namun, Embun sama sekali tak peduli. Sebab sebagai pengemban tanggung jawab ibu dan adik-adiknya, ia menjadi penentu segala sesuatunya. Embun merasa harus segera bertindak agar sang ibu juga mendapatkan penanganan terbaik. Agar kondisi Sutri tidak semakin memburuk dikarenakan Sutri harus segera menjalani operasi. **** Embun pulang, sedangkan Ibrahim dan Utari ia tugasi untuk menjaga Sutri. Embun berniat menggadaikan surat tanah tempatnya tinggal, benar-benar tidak ada pilihan lain. Yang membuat Embun heran, ketika ia baru turun dari ojek yang mengantar, di depan rumahnya ada Inggit beserta sang ibu. Keduanya yang tentunya berpenampilan berkelas, beda dari Embun sekeluarga, tengah marah-marah kepada Wulan yang tentu saja melawan. Karena berbeda dari yang lain, Wulan tumbuh menjadi pribadi keras, di mana Wulan pernah terang-terangan, remaja berusia tujuh belas tahun itu tak hanya membenci Purnama berikut istri dan mertua, melainkan dendam. Hingga Embun sampai di depan Wulan, ia sengaja diam. Ia hanya menatap tak habis pikir Inggit beserta sang ibu. “Nah, biang keroknya datang!” ucap Inggit langsung mengalihkan fokusnya kepada Embun. Wanita cantik berambut lurus berwarna piring di hadapan Embun, langsung menatap Embun penuh penghakiman. Embun tetap diam dan hanya menyimak, tanpa terkecuali ketika wanita paruh baya yang tak ubahnya toko perhiasan keliling di sebelah Inggit turut memaki Embun. Mengatai Embun tak bisa mendidik adik-adik Embun. Mengatai mereka tak tahu diri dan lain sebagainya, di tengah suara kerincing perhiasan yang terdengar semakin nyaring seiring kedua wanita di hadapan Embun semakin berkobar dalam memaki. Kenyataan tersebut terjadi lantaran perhiasan yang menyertai Inggit berikut sang ibu kelewat banyak. Tentunya, keadaan semakin riuh dikarenakan Wulan yang ada di belakang Embun juga melawan. Tentunya, Embun tidak akan menahan Wulan karena baginya, Wulan berhak membalas. Terlebih ia yakin, sebesar apa pun ulah Wulan maupun adiknya yang lain, kedua wanita di hadapannyalah yang memang keterlaluan. “Sudah. Malu. Kalian sudah terlalu lama bicara. Bahkan tetangga sampai bosen dengarnya. Lan, masuk,” ucap Embun sekitar dua puluh menit kemudian setelah ia menjadi bagian dari cekcok di sana. Tanpa banyak protes, Wulan masuk dan memang menurut. Tinggal Embun yang menghadapi Inggit berikut sang ibu. Kedua wanita di hadapan Embun tak hanya terengah-engah, melainkan berkeringat parah. Bisa Embun pastikan, keduanya kelelahan setelah marah-marah. “Sudah …?” tanya Embun memastikan dan memang masih menggunakan suara lirih, layaknya awal kedatangannya. Inggit berikut sang ibu, melirik sengit satu sama lain. Masih dikuasai emosi. “Enggak ada seperak pun yang Mas Purnama apalagi kalian keluarkan buat keluarga kami, kan?” ucap Embun. Ia dapati, Inggit berikut sang ibu yang menjadi kebingungan. “Tapi adikmu enggak tahu sopan santun. Adik-adikmu enggak tahu duri, makanya didik yang benar!” Inggit kembali meledak-ledak. Matanya yang lebar bermanik mata biru akibat keberadaan soft lens yang dikenakan, menatap Embun kelewat tajam melebihi sebelumnya.  Embun menghela napas dalam sambil mengangguk-angguk paham dikarenakan Embun kelewat paham, pasti itu yang akan Inggit lakukan. “Ya sudah. Lebih baik kalian pergi. Malu sama tetangga. Kasihan mereka, pasti enek dengernya.” Embun berlalu begitu saja bersama beban pikiran yang membuat kepala bahkan kehidupannya terasa sangat berat. “Mbun!” tahan Inggit. “Sudah Mbak. Kita sama-sama tahu. Lagi pula, kamu juga sudah punya anak. Kamu didik anakmu saja, jangan sampai anakmu mengikuti jejak bapaknya. Udah jangan dilanjutin. Yang ada nanti kalian juga yang malu. Apa yang kalian lakukan enggak sepadan sama penampilan sekaligus apa yang kalian punya,” jawab Embun lantaran telanjur kesal. Akan tetapi, ia melakukannya tanpa menatap atau melirik yang bersangkutan. Karena yang ada, Embun tetap melangkah kemudian menutup pintu rumahnya yang sudah seharusnya diganti karena beberapa bagian sudah bolong, tergerus oleh usia.  **** Wulan yang sudah berdiri menunggu, menunduk takut dan hanya sesekali melirik Embun. Bisa Embun pastikan, adiknya itu pasti merasa sangat bersalah kepadanya. “Lan …?” “Maaf, Mbak ….” Blaakk …. Seruan lemparan barusan dan menimpa pintu rumah yang Embun punggungi, sukses mengejutkan Embun maupun Wulan. Keduanya refleks menatap pintu. Embun langsung menghela napas dalam sambil menggeleng tak habis pikir, sedangkan Wulan langsung melangkah cepat mendekati pintu. “Orang gilaaaaa!” teriak Wulan. Bisa mereka pastikan, itu ulah Inggit beserta sang ibu yang memang tak segan kasar dan salah satunya melempari rumah mereka dengan batu bata atau malah lebih. Sebab dulu, ketika Wulan nekat memaki keduanya di depan umum, Inggit beserta ibunya sampai melempari pintu rumah Embun dengan petasan hingga beberapa bagian pintu retak dan lama kelamaan, bolong. “Sudah, Lan … sudah. Sudah biarin saja. Kepala Mbak rasanya mau meledak. Sudah. Kita fokus ke hidup kita saja,” tegur Embun. “Mbak mau aku buatin teh manis?” tawar Wulan langsung jinak tak lagi meledak-ledak. “Enggak usah.” Embun menggeleng sambil melangkah loyo berlalu dari hadapan Wulan. “Ragiel gimana?” “Sekolah, Mbak.” Wulan mengikuti Embun. Kakaknya itu duduk di risban selaku bangku panjang yang terbuat dari kayu. “Lan,” ucap Embun kemudian dan terdengar sangat berat. “Iya, Mbak?” Wulan bergegas duduk di sebelah Embun. Embun menatap serius kedua manik mata Wulan. “Tanah rumah ini terpaksa digadaikan karena ibu harus dioperasi. Enggak ada pilihan lain. Jadi, setelah ini juga, Mbak harus kerja jauh. Mungkin ke Jakarta biar bisa nebus tanah.” Wulan menggeleng gelisah. Merasa tak sanggup jika ia sekeluarga tanpa bahkan sekadar jauh dari Embun. Wulan bahkan tak kuasa menahan air matanya untuk tidak mengalir. Karena meski dari semuanya ia paling keras, ia juga menjadi anggota yang paling cengeng. “Kalau enggak ada Mbak, aku, kami … gimana, Mbak? Aku enggak sekuat Mbak. Aku mana bisa nderes, manjat aja enggak berani.” Wulan terisak-isak. Embun menghela napas dalam. Berat. “Enggak usah. Kamu kerjakan apa yang bisa. Jaga ibu dan adik-adik. Nanti, meski dikit, Mbak pasti sisihkan uang buat biaya sekolah kalian.” Wulan tak kuasa berkata-kata. Lidahnya mendadak kelu. Meski yang ada, rasa nelangsa berikut sakit bahkan kecewa yang tak terhingga, membuatnya terisak pilu. Wulan merasa, dunia mereka kelewat kejam. Sang Pemilik Kehidupan tak pernah berpihak kepada mereka, dikarenakan cobaan yang mereka hadapi terus saja berdatangan. Dan kenyataan tersebut semakin Wulan rasakan lantaran orang-orang seperti Inggit justru semakin bahagia setelah apa yang Inggit sekeluarga lakukan. “Sudah, kita sama-sama fokus saja. Mbak mau langsung ke rumah uwa Teguh buat serah terima deresan, soalnya Mbak juga mau langsung ke tempat pegadaian biar langsung bisa urus operasi ibu. Kamu tetap di rumah sama Ragiel. Lakukan yang kamu bisa.” Sambil menyeka cepat air matanya yang terus berjatuhan menggunakan kerah kaus yang dikenakan, Wulan mengangguk-angguk paham. “Iya, Mbak. Tadi saja, aku bikin gorengan sama kue seperti biasa. Tapi sebagiannya rusak gara-gara ditimpuk batu bata sama Inggit. Makanya aku ngamuk!” Kembali, Embun hanya bisa menghela napas dalam sambil menggeleng tak habis pikir. **** Di luar dugaan, ternyata sebagian biaya pengobatan Sutri sudah dibayar. Embun memang sempat bingung, tapi Embun langsung teringat Rustam. Di mana dugaan Embun dikuatkan oleh penjelasan petugas yang menerima p********n. Rustam, entah apa yang ada di pikiran pria itu. Operasi langsung dilakukan di keesokan harinya dikarenakan keadaan Sutri juga bisa langsung ditangani. Hanya saja, meski operasi berjalan lancar, nyatanya ada operasi lain yang tetap harus Sutri jalani dikarenakan Sutri juga sudah komplikasi. Satu persatu penyakit Sutri harus ditangani dan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Embun sempat mantap bekerja ke luar negeri dikarenakan upah kerja di sana lebih besar. Namun, melihat keadaan keluarganya, bahkan Wulan semakin sibuk menangis, termasuk Embun yang tentunya tidak bisa pulang dalam jangka waktu lama, membuat Embun tidak tega kepada ibu dan adik-adiknya. Jadilah, Embun nekat pergi ke Jakarta di keesokan harinya, sore harinya setelah Sutri dibawa pulang.  Kepergian Embun sukses membuat ibu berikut adik-adiknya menangis. Dan Embun yakin, ibu berikut adik-adiknya akan semakin bersedih jika mereka mengetahui pekerjaan yang akan Embun jalani. Bekerja di proyek bangunan, bukankah itu terdengar nyeleneh sekaligus nekat? “Jakarta … semoga aku bisa dapat banyak rezeki di sana.” Embun mengamati suasana luar dari jendela mobil travel yang ditumpanginya.  Semburat jingga telah ditelan kegelapan mengiringi datangnya malam. Dan jauh apalagi meninggalkan ibu berikut adik-adiknya, membuat hati Embun terasa begitu gamang. Sakit, perih, sedih. Embun tak kuasa menghalau air matanya dikarenakan sekalipun ia berusaha tegar, hatinya belum mati rasa. Hatinya masih berfungsi dengan baik, dikarenakan ia juga manusia biasa. “Jika Tuhan memberi hambanya cobaan, pasti Tuhan juga sudah memberinya kekuatan untuk menyelesaikan setiap cobaannya.” Bersambung ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD