Episode 11 : Tawaran Pekerjaan

2044 Words
Acara makan malam romantis Gandra dan Gladia, gagal dikarenakan kehadiran Embun. Gandra sendiri mulai bertanya-tanya, kenapa Gladia menyambut Embun dengan sangat hangat? “Jadi, makan malamnya?” tanya Gandra. “Pesan saja.” Gladia mengulas senyum penuh cinta di antara jawaban yang ia berikan kepada sang suami. Di belakang, Embun mengikuti seiring langkahnya yang kerap mengamati suasana sekitar. Mereka masih dalam tahap menaiki anak tangga menuju teras kediaman Gandra dan Gladia. “Rumah Gladia, bagus ih? Tingkat, bersih. Tapi kok, bisa kebetulan banget, ya, pas aku lagi butuh bantuan buat cari pekerjaan?” batin Embun. “Kamu mau dipesanin apa?” Gandra dengan siaga menggunakan ponselnya dan siap memesan makanan yang Gladia inginkan. “Salad sayur atau buah, atau … yang low fat semua saja. Soalnya sebentar lagi ada pemotretan. Aku enggak boleh kelihatan gendut, Sayang.” “Siapa yang bilang kamu gendut, tubuhmu bagus gitu?” “Ya pasti ada saja ….” Di belakang Gandra dan Gladia, Embun kebingungan dengan apa yang sedang dibahas kedua sejoli itu. “Tapi kamu harus makan nasi!” tegas Gandra masih bertutur lirih sarat perhatian. Gladia menggeleng manja. “Wajib!” Kali ini, Gandra sengaja memaksa. Gladia cemberut manja. “Ya sudah. Aku makan sushi.” Mendengar balasan Gladia barusan, Embun langsung tersentak, syok. “Ya Alloh … disuruh makan nasi malah minta makan susi? Susi siapa ini? Orang mana? Apa gara-gara ini juga, Gladia awet muda dan semakin cantik? Semacam makan persembahan darah segar yang masih perrawan, begitu?” batin Embun. Tangan kanannya refleks menekap mulut seiring ia yang sampai merinding. “Kok aku jadi takut, ya?” batin Embun lagi. Saking takutnya, Embun menolak tawaran Gladia untuk mandi sekaligus membersihkan diri. Embun takut, ia yang masih perrawan sampai dijadikan makanan atau malah persembahan semacam tumbbal oleh Gladia. Barulah, ketika Gandra menghampiri kebersamaan Embun dan Gladia sambil membawa satu kantong besar berisi makanan yang dipesan, teka-teki mengenai kebiasaan Gladia mengkonsumsi sushi, terjawab. “Susi itu bukan nama orang, melainkan nasi yang digulung, enggak tahu dibungkus pakai apa ini, tapi bukan lemper. Bukan juga lontong,” batin Embun yang mengamati setiap makanan yang Gladia sajikan. Teman lamanya itu menjelaskan setiap makanan yang tengah disuguhkan. Sedangkan Gandra sang suami memilih pergi. Seperti awal kedatangan Embun, jangankan menyapa dan ikut bergabung, melirik saja, Gandra tidak melakukannya. Sampai-sampai, Embun berpikir, Gandra orang yang angkuh, kontras dari Gladia yang menyambutnya dengan sangat hangat. “Ya ampun, … makannya pakai tongkat kecil? Aku mana bisa?” batin Embun. “Kalau enggak bisa pakai sumpit, pakai tangan juga enggak apa-apa.” Gladia memperlakukan Embun dengan sangat ramah lantaran sebisa mungkin, ia mencoba membuat wanita tersebut merasa nyaman. “Oalah. Ini namanya bukan tongkat, tapi sumpit. Maklum, aku tahunya cuma sendok, garpu, irus, centong!” batin Embun yang menjadi mesem lantaran menertawakan kebodohannya sendiri. Akan tetapi, hingga detik ini ia masih belum menyentuh makanan yang Gladia suguhkan. Ia masih menyimpan kedua tangannya di pangkuan. “Apa, kamu mau mandi dulu?” tawar Gladia yang sebenarnya merasa terganggu dengan penampilan Embun, dan boleh dibilang sangat kotor bahkan bau keringat. Kali ini, Embun tak lagi menolak. Ia yakin, Gladia bukan orang jahat yang mengandalkan persembahan untuk kecantikan maupun pesugihan.  “I-iya. Aku mau mandi dulu saja, Di!” Embun mengangguk-angguk canggung sambil tersenyum masam. “Apalagi tadi, aku juga belum sempat mandi,” batinnya yang mulai menyadari, keringat berikut aroma tubuhnya sudah tercium kurang sedap.  Gladia dengan senyumnya yang begitu anggun, segera membimbing Embun. Ia melangkah lebih dulu dan membawa Embun ke kamar tamu yang kebetulan ada di seberang ruang bersantai kebersamaan mereka. Mungkin sekitar sepuluh meter jarak ruang bersantai dengan kamar tamu yang mereka tuju.  Akan tetapi, Gladia yang yakin Embun tidak begitu paham dengan peralatan di kamar mandi rumahnya, sengaja menjelaskan setiap fungsi alat di sana. Dari shower, kloset, tanpa terkecuali, sabun berikut shampo di sana yang kebetulan memakai merek luar negeri dan otomatis bertuliskan bahasa asing. Sepanjang menyimak, Embun mengangguk-angguk. Embun terlihat paham, tapi Gladia tidak begitu yakin. Untuk urusan dapur dan beres-beres, Gladia yakin Embun andal. Namun, untuk urusan yang rumit dan memerlukan pemahaman sekaligus pendidikan tinggi, Gladia sama sekali tidak yakin. Apalagi, sejenis mengucapkan bahasa asing saja, Embun masih kesulitan. “Kalau kamu bingung, kamu telepon saja. Cukup angkat teleponnya langsung terhubung ke aku, kok,” ucap Gladia setelah menjelaskan panjang lebar. “Ya Alloh, teleponnya canggih bener? Cuma diangkat, langsung terhubung ke Gladia? Apalagi kalau sampai dipencet-pencet atau malah lebih, ya?” pikir Embun yang kembali mengangguk paham di setiap penjelasan yang Gladia berikan. “Ya sudah, aku keluar dulu, ya. Kamu mandi dulu biar seger.” “M-makasih banyak, Di!” “Sama-sama, Mbun.” Gladia nyaris berlalu, tapi pertanyaan dari Embun, sukses menahannya yang seketika kembali balik badan dan menatap Embun dengan saksama. “Boleh, aku sekalian nyuci baju dulu, enggak, Di? Soalnya besok kalau bisa, aku mau langsung cari kerja.” “Embun bahkan sedang mencari kerja?” pikir Gladia yang seketika refleks tersenyum. “Oh … jadi, kamu ke Jakarta memang buat cari kerja? Belum ada tujuan gitu, ya?” Embun membenarkan pernyataan Gladia dengan anggukkan cepat. “I-iya, Di! Aku belum punya tujuan. Masih nyari-nyari. K-kamu, … kamu bisa bantuin aku cari kerja, enggak? Aku … aku beneran lagi butuh kerjaan, Di.” Merasa yakin Gladia bisa dipercaya, Embun menceritakan semua mengenai alasannya hijrah ke Jakarta. Tak hanya perihal penyakit Sutri yang membutuhkan biaya tidak sedikit hingga Embun terpaksa menggadaikan tanah selaku satu-satunya harta yang dipunya dan otomatis membuat Embun terjerat hutang, melainkan mengenai pemecatan yang Embun dapatkan dari Edward. Namun, Embun tak sampai menyebut nama Edward secara gamblang. “Benar, kan. Embun memang sedang kepepet. Embun sedang butuh banyak uang. Tapi kok, ini bos proyek yang mecat Embun karena alergi wanita, ciri-cirinya mirip Edward, ya? Jangan-jangan, kelainan yang Edward alami, memang virus dan sudah menyebar, dan bikin hormon laki-laki bermasalah, terus jadi alergi wanita?” pikir Gladia. “Ya ampun … jangan sampai Gandra juga kena, apalagi Gandra sama Edward kan satu ayah!” Gladia yang masih berbicara dalam hati menjadi harap-harap cemas.  *** Seperginya dari kamar tamu, Gladia bergegas menghampiri sang suami yang tengah duduk di kursi tunggal dan ada di teras sebelah kolam ikan. Di kursi kayu yang sekitar kolam ikannya disertai taman, suaminya itu sedang membaca surat kabar di mana satu kotak sushi berikut minuman yang menemani, tinggal wadahnya saja. “Sayang!” Penuh antusias, Gladia sengaja menggeser kursi tunggal dan ia dekatkan dengan kursi keberadaan Gandra. Kursi mereka nyaris tak berjarak. Gladia menceritakan semua rencananya. Mengenai ia yang mantap memilih Embun sebagai ibu pengganti untuk anak mereka. “D-dia …?” Gandra melotot tak percaya. Syok. Gladia yang masih tersenyum ceria, segera mengangguk. “Yang benar saja? Penampilannya saja begitu?” Gandra masih tidak bisa menerima kenyataan. “Sayang, dengerin. Kamu terima beres saja. Dia itu orangnya baik banget. Tanggung jawab banget.” Demi membuat sang suami percaya, Gladia juga menceritakan semua tentang Embun termasuk seluk-beluk Embun yang sangat miskin dan memiliki tanggungan besar. “Kamu yakin, dia enggak sedang memperalat kamu apa bagaimana?” tanya Gandra. Gladia menggeleng yakin. “Enggak mungkin. Dia saja enggak tahu pekerjaanku.” Gandra menyambar secangkir teh hijaunya kemudian menyesapnya. “Enggak mungkin dia enggak tahu pekerjaan kamu, sedangkan kamu saja sering muncul di televisi!” “Ya ampun Sayang, Embun enggak punya televisi! Jangankan televisi, buat makan sehari-hari saja susah!” Merasa terkejut dengan balasan sang istri, Gandra refleks menyemburkan teh hijau yang baru ia sesap dan belum sempat ia telan. Ia menatap Gladia dengan tatapan tak percaya. “Kan aku sudah bilang, si Embun ini miskin banget. Adiknya banyak, ibunya sudah sakit-sakitan. Pulang dari sawah apa ladang saja sering malam. Belum lagi, dia juga nderes. Kamu tahu nderes itu apa?” Gandra menggeleng lemah sambil menyimak cerita Gladia yang begitu menggebu. Ketika Gandra dan Gladia tengah serius membahas Embun, yang dibahas justru sedang panik lantaran air dari shower menyembur ke mana-mana. Kenyataan tersebut terjadi dikarenakan Embun menyalakannya shower-nya dalam arus paling besar. “Ya ampun … ini air ke mana-mana. Banjir … banjir. Eh panas! Oh, kata Gladia, merah panas, biru dingin!” Embun susah payah mengatur shower-nya. Tak ubahnya mandi ketika masih di kampung dan biasanya Embun lakukan di sumur yang tertutup tenda atau anyaman daun kelapa, di dalam kamar mandi yang tertutup rapat pun, Embun masih membungkus tubuhnya menggunakan kain jarit. Embun tak lantas membuat tubuhnya ‘polos’. **** Makan malam bersama Gladia baru saja usai. Embun segera membereskan bungkus setiap makanan dan disatukannya dalam kantong, dengan cekatan. “Mbun, biarin dulu. Aku mau ngobrol serius sama kamu.” Embun yang telah mandi dengan penampilan lebih rapi sekaligus bersih, tak jadi beranjak. “Ada apa, Di?” “Kamu bilang, kamu butuh pekerjaan, kan?” balas Gladia. Embun langsung mengangguk antusias. Sedangkan Gladia juga tak lantas menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Gladia sampai merengkuh kedua tangan Embun, menggenggamnya hangat menggunakan kedua tangan. Gladia menceritakan semua rencananya. Mengenai ia yang menginginkan Embun menjadi ibu pengganti untuk anaknya dan Gandra. “Jadi ibu pengganti? Mengandung, maksudnya hamil anak kamu dan suamimu?” Embun gemetaran tak percaya. “Aku sama suamiku pilih kamu, karena kami percaya sama kamu. Tolong banget, Mbun. Kami enggak bermaksud macam-macam apalagi merendahkan kamu. Kami janji, kami akan merahasiakan semuanya, asal kamu juga melakukan hal yang sama. Tentunya, kami akan membayar kamu dengan mahal. Mengenai tanahmu yang digadaikan, juga semua biaya pengobatan ibu kamu. Kami akan langsung urus,” ucap Gladia benar-benar memohon. “Ya Alloh …?” batin Embun mendadak galau. Embun dilema. Tak ubahnya Gladia, matanya juga berkaca-kaca. Menjadi ibu pengganti yang dengan kata lain harus mengandung anak pasangan lain dan baru Embun ketahui ada pekerjaan semacam itu. Memang tanpa harus ada sentuhan apalagi jalinan hubungan ‘suami’ istri, tapi Embun … mendengarnya saja, Embun tak hanya bingung, melainkan lemas. Bahkan meski perutnya masih terasa sangat kenyang dikarenakan makanan bernama sushi ternyata sangat enak bagi Embun. “Kamu pikirin dulu, ya. Tapi aku yakin, kamu enggak akan rugi. Kita sama-sama untung, Mbun.” “Mbun … ini tawaran langka. Sudah, terima saja. Hutang sama biaya rumah sakit bakalan terbayar. Kamu untung, sedangkan pekerjaanmu juga rahasia. Ingat, tawaran apalagi kesempatan belum tentu datang apalagi sampai lebih dari sekali!” Hati kecil Embun angkat suara. “Aku memang belum nikah … tapi sepertinya, aku juga enggak mungkin akan menikah. Saat belum punya anak saja, enggak ada yang mau menikahiku. Apalagi kalau aku sudah punya anak bahkan anak orang lain? Ya sudahlah, demi ibu dan adik-adikku!” batin Embun. Segera ia mengangkat tatapannya dan menahan kedua tangan Gladia yang nyaris melepaskan genggamannya. Gladia tersentak dan refleks menatap Embun penuh harap. “Aku mau. Aku beneran mau, Di! Asal kamu menepati janjimu. Tolong bayarkan tanahku yang aku gadaikan, termasuk biaya pengobatan ibuku. Aku janji, aku enggak akan ingkar. Bahkan aku akan ikut kerja, bantu-bantu, aku akan mengabdi ke kamu!” Mengatakan itu, tanpa Embun sadari, air matanya mengalir. Karena dengan kata lain, Embun telah menyerahkan hidup dan matinya kepada Gladia. Gladia langsung tersenyum puas. Ia tak hanya menggenggam kedua tangan Embun, melainkan sampai meremasnya. “Makasih banyak, Mbun! Malam ini juga, aku akan urus semuanya. Aku bakalan bikin surat perjanjian sebagai bukti, biar kita sama-sama percaya, yakin mengenai perjanjian kita aman. Enggak ada yang dirugikan! Kamu tahu, kan, maksudku?” Embun mengangguk paham. “Aku memang enggak yakin ini salah apa benar. Tapi aku yakin, apa yang baru saja aku putuskan bisa mempermudah kehidupan ibu dan adik-adikku!” Akan tetapi, sisi lain dalam diri Embun tidak menghendaki keputusan yang baru saja Embun ambil. “Kamu gila, Mbun! Apa kata orang-orang kalau mereka sampai tahu? Kamu enggak bayangin bagaimana perasaan ibu dan adik-adikmu, kalau mereka sampai tahu?” Perang batin mendadak Embun alami. Embun memang membenarkan, jika pekerjaan dari Gladia ‘gilla’, akan tetapi, Embun sedang sangat membutuhkan banyak uang dalam waktu dekat. Apalagi, dalam waktu dekat pula, ibunya harus kembali menjalani operasi. “Sudah, Mbun. Kamu enggak boleh egois. Fokus ke keluargamu saja. Dijamin, Gladia bisa dipercaya, kok. Apalagi tadi kamu dengar sendiri,  akan ada surat perjanjian agar dalam perjanjian ini enggak ada yang rugi!” batin Embun lagi meyakinkan dirinya sendiri. Akankah Embun tetap dengan keputusannya? Atau, Embun memilih keputusan lain meski tawaran dari Gladia akan membuat Embun mendapatkan banyak uang? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD