Episode 10: Gandra dan Gladia

2160 Words
“Dalam waktu dekat,” ucap Gandra lembut. Pria berambut bergelombang dan selalu rapi dalam polesan pelumas rambut itu, melepas kacamata beningnya. Gandra menghela napas berat sambil meletakan kacamatanya di nakas sebelahnya. Ia melakukannya tanpa benar-benar mengakhiri tatapannya dari wanita cantik di hadapannya.  Gladia menggeleng berat dan menatap sang suami yang tidaklah lain Gandra, dengan mata berkaca-kaca. “Aku enggak bisa, Ga. Jangan sekarang.” “Kamu cuti dulu. Enggak sampai dua tahun, kok,” balas Gandra benar-benar memohon.  Tangan kanan Gandra mulai melepas kaitan kancing bluse sabrina warna putih yang Gladia kenakan.  Meski berat, kedua tangan Gladia menahan tangan kanan Gandra yang terhenti di daddanya. Kenyataan tersebut membuat sang suami menatapnya penuh tanya. Meski tak berselang lama, pria bermata sipit itu menatapnya dengan semakin memohon. “Kemarin aku baru tanda tangan kontrak, buat tiga tahun ke depan, Ga! Aku enggak mungkin punya anak dalam waktu dekat.” Deg. Jantung Gandra seolah berhenti berdetak bersama rasa kecewa yang seketika ia telan. “Aku sayang banget sama kamu. Aku cinta banget sama kamu. Dan aku enggak bisa tanpa kamu. Tapi aku juga enggak mau kehilangan karier-ku, Ga!” isak Gladia sembari menciumi tangan kanan Gandra yang digenggamnya erat menggunakan kedua tangan. Gandra masih diam bersama rasa kecewa yang membuatnya kembali berkawan dengan luka. Kerinduannya terhadap kehadiran buah hati dalam hubungan mereka, kembali berakhir dengan harapan tanpa kepastian.   Gladia, istrinya itu seorang super model yang tidak bisa memilih antara cinta dan karier. Akan tetapi, Gandra teramat mencintainya. Gladia segalanya untuk Gandra. Gladia merupakan dunia sekaligus kehidupan Gandra. Bahkan meski usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke sepuluh, sedangkan keberadaan buah hati yang tak kunjung menyertai hubungan mereka, membuat orang tua Gandra gundah gulana. Ketika Gladia merunduk dan menyandarkan kepala di d**a Gandra seiring isak yang terdengar semakin pilu, Gandra yang masih bungkam berangsur merengkuhnya penuh sayang. “Aku mohon, Ga. Jangan sampai kamu mengikuti saran mamah kamu buat poligami. Aku bukan mamah kamu yang mau dimadu dengan mamah Edward. Aku enggak mau. Aku enggak sanggup berbagi apalagi kehilangan kamu!” “Aku janji, aku akan cari cara agar kita bisa tetap punya anak. Tapi aku mohon, jangan pernah menyentuh wanita lain, karena melihat kamu merhatiin wanita lain saja, aku sakit banget!” “Kita pasti tetap bisa punya anak tanpa harus membuatmu berurusan apalagi menyentuh wanita orang lain!” “Iya, aku egois. Aku egois banget. Tapi aku enggak bisa tanpa kamu, Ga.” “Tapi kita juga enggak mungkin adopsi anak. Mamah papahku ingin anak kita. Benar-benar keturunanku. Aku enggak bermaksud memaksa kamu. Tapi aku siap ganti uang kontrak kamu.” Balasan Gandra barusan sukses membuat Gladia meraung-raung. “Kamu jangan sampai berpoligami apalagi selingkuh!” Kedua tangannya yang mengepal, menghantam keras d**a bidang Gandra. “Enggak akan, karena aku hanya ingin anak dari kamu!” tegas Gandra. “Tapi kasus semacam itu lagi marak! Bilangnya sayang tapi di belakang ada saja cabang!” Gladia masih meledak-ledak sekaligus terisak-isak. “Aku selalu berusaha jadi istri yang baik, Ga. Aku tetap menjalani peran sekaligus kewajibanku sebagai istri, meski sampai sekarang aku memang belum bisa kasih kamu anak!” Gandra merengkuh Gladia, menenangkannya penuh cinta. “Sayang … Sayang … tenangkan dirimu.” “Aku akan mencari cara agar kita bisa punya anak tanpa harus membuatmu memiliki urusan dengan wanita lain apalagi … sekss!”  Raungan Gladia kali ini membuat Gandra terpejam pasrah. Namun beberapa detik kemudian, Gladia mendadak melepaskan diri dari dekapan sang suami. Ia menatap sang suami dengan antusias. “Bagaimana kalau kita sewa wanita buat mengandung anak kita?” Gandra menatap bingung sang istri. “Kamu cukup terima saja. Ibaratnya, wanita ini akan menjadi ibu pengganti, sedangkan aku hanya pura-pura hamil di depan orang tua sekaligus keluarga kita?” sergah Gladia lagi dan semakin antusias. “Ga ….” Kali ini Gladia merengek lantaran Gandra tak kunjung merespons. “Aku tahu, ini gilla. Tapi mau bagaimana lagi? Biar kita tetap bisa anak, anak kita, kan? Gini-gini, aku juga pengin punya anak. Tapi mau bagaimana lagi?” “Wanita itu tinggal di sini?” tanggap Gandra, akhirnya. Gladia terdiam sejenak. “Kalau enggak, aku enggak yakin. Takutnya, dia justru main-main di belakang kita.” Gandra berkecap dan mendesah tidak nyaman. “Tapi aku enggak suka kalau ada wanita lain di sini. Bahkan karena itu juga, dari dulu kita hanya mengerjakan mbok Sanem, kan?” “Tapi kalau dia enggak di sini, kita enggak bisa kontrol dia dengan leluasa. Intinya, aku akan cari wanita yang bisa dipercaya. Dan mengenai mbok Sanem … kita enggak mungkin mempertahankan dia di sini. Kita kirim dia ke rumah Edward saja.” “Bisa mati mendadak kalau Edward sampai tinggal sama wanita!” keluh Gandra yang sudah sangat paham dengan fobia atau malah kelainan dari adik tirinya. “Ya ampun, Ga. Mbok Sanem sudah tua kali. Masa iya, si Edward tetap enggak bisa?” “Mau tua mau muda, semuanya sama saja. Bisa jadi malaikat maut buat si Edward!” Gladia terdiam sejenak, mengganti rencananya karena rencana awal menitipkan mbok Sanem ke rumah adik tiri Gandra, gagal. “Ya sudah, kirim mbok Sanem ke rumah orang tua kamu saja,” sergah Gandra memutuskan. “Oh, gitu? Tapi sepertinya memang lebih baik gitu, sih. Nanti kalau anak kita lahir, baru kita tarik lagi mbok Sanem ke sini.”  “Dan pastikan, wanita pilihanmu yang jadi ibu pengganti, enggak genit,” tambah Gandra. Gladia tersenyum lega, karena dengan kata lain, Gandra menyetujui idenya. Mengenai ibu pengganti untuk anak mereka. Mereka akan punya anak tanpa harus membuat Gandra memiliki hubungan dengan wanita lain! “Makasih banyak, Ga!” ucap Gladia sembari membingkai wajah Gandra menggunakan kedua tangan. Tak lupa, sebagai hadiah, sebuah kecupan gemas ia layangkan di sebelah wajah Gandra. Air mata yang sempat membersamai kebersamaan mereka, kini berubah menjadi senyum lepas yang diselimuti kebahagiaan sekaligus harapan. Gladia mendekap manja sang suami dan langsung dibalas dengan dekapan hangat penuh rasa sayang oleh yang bersangkutan. “Secepatnya, aku harus mencari ibu pengganti untuk anakku dan Gandra. Namun siapa, … siapa wanita yang bisa dipercaya itu?” batin Gladia. *** “Ini, … dari tadi aku muter-muter, sandal jepit sampai putus, tapi sepertinya aku memang nyasar?”  Embun menatap miris sandal jepit sebelah kanannya yang memang putus bagian depannya. Kemudian, pandangannya berganti mengamati suasana sekitar. Embun berada di perumahan cukup elite meski rumah-rumah di sana tidak berukuran kelewat besar. Selepas pergi dari proyek bangunan karena dipecat, Embun memilih berjalan kaki meski Danang sempat memaksa untuk mengantar. Maksud Embun memilih mengunjungi perumahan, tak lain karena ia ingin langsung melamar sebagai ART. Embun sengaja melakukannya dikarenakan setelah bertanya-tanya lowongan pekerjaan di toko yang tak sengaja ia lewati, gajinya kurang, meski jam kerja memang terbilang santai. Dalam bekerja, Embun tidak pernah memikirkan rasa lelah bahkan sekalipun ia harus bekerja sehari semalam. Asal gaji besar dan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, Embun mau-mau saja. Sebuah rumah berlantai dua menjadi tujuan Embun. Entahlah, Embun begitu yakin rumah tersebut bisa menjadi bagian dari harapannya mendapatkan rezeki.  “Salah enggak, sih, kalau aku teriak? Sudah malam begini? Jam berapa sih? Tapi belum lama dari adzan isya, sih.” Embun yang sudah mencengkeram jeruji gerbang, mendadak terlonjak lantaran ia tak sengaja menekan bel yang otomatis menimbulkan bunyi nyaring. “Ting-tong …?” gumam Embun refleks menatap takjub tombol berwarna putih di atas gembok.  Jebred …!  Seruan terbukanya pintu sukses mengalihkan fokus perhatian Embun. “Kita mau makan malam di mana?” tanya Gandra. “Eh, Sayang? Tadi ada yang menekan bel, ya? Bunyi …?” Gandra dan Gladia merupakan sosok yang keluar dari rumah tujuan Embun. Keduanya kompak mengenakan nuansa hitam putih dalam penampilan mereka. Gladia mengenakan gaun sabrina selutut dan tak berlengan yang begitu mengekspos keindahan tubuh jenjangnya, sedangkan Gandra mengenakan kemeja lengan panjang warna putih yang dipadukan dengan celana formal pleated warna hitam. Apa yang Gladia tanyakan langsung membuat Gandra memastikan. Gandra berjalan tergesa, membuatnya mendapati seorang wanita berpenampilan lecek dengan sebuah ransel di pundak kanan dan ditahan menggunakan tangan kanan. “Selamat malam, Pak? Saya mau cari pekerjaan,” seru Embun tanpa basa-basi.  Demi masa depan keluarga, Embun memang sudah terbiasa mengenyampingkan gengsinya. Gandra mengernyit bingung, tapi kemudian ia menggeleng sambil menghela napas pelan. “Enggak ada. Di sini enggak ada pekerjaan,” ucapnya sambil mengantongi kedua tangannya di saku samping celananya. “Eh …? Secepat ini, aku ditolak? Mereka enggak mau lihat kerjaanku dulu, buat bukti?” batin Embun yang menatap tak percaya sekaligus sedih sosok Gandra. Gandra berdiri di teras sebelum anak tangga. Pria itu tersorot lampu di atasnya hingga penampilannya yang dingin juga terkesan misterius. Embun tak bisa melihat wajah Gandra dengan leluasa, dikarenakan yang tersorot lampu hanya kepala dan punggung Gandra. “Siapa, Ga?” tanya Gladia yang kemudian memberikan tas tangannya kepada Gandra. Ia melakukannya lantaran ia mencoba membenarkan anting di telinga kanannya. “Enggak tahu. Orang iseng mungkin? Atau wartawan yang sengaja jebak kamu buat cari informasi?” balas Gandra. “Tentu enggak ada yang nyangka, kalau aku tinggal di sini, padahal kita punya rumah lebih megah dan mereka tahunya aku tinggal di sana,” balas Gladia yang kemudian mengambil alih tas tangannya dari Gandra. Ia membuka tas tersebut kemudian mematut dirinya di cermin yang ada di penutup tas bagian dalam. “Yang namanya orang iseng apalagi jahat kan enggak ada yang tahu, Sayang.” Gandra merangkul mesra pinggang sang istri, membimbingnya menuruni anak tangga menuju teras bawah dan tak lain garasi. Di sana, sebuah sedan putih sudah terparkir dan siap mereka gunakan. Baik Gandra maupun Gladia memang begitu menutup diri dari khalayak. Itu juga yang membuat mereka tidak bisa menerima kehadiran orang asing memasuki kehidupan mereka begitu saja. Tanpa terkecuali asal mengirim pekerja seperti mbok Sanem, untuk mengetahui tempat tinggal mereka secara leluasa. “Ya sudah, Pak, terima kasih banyak. Maaf sudah ganggu,” ucap Embun sebelum berlalu. Baik Gandra termasuk Gladia memang tidak mrnjawab. Namun Gladia menatap penasaran ke arah Embun. “Kayaknya aku kenal dia deh, Ga. Suaranya enggak asing,” bisik Gladia. “Zefanya, maksudmu?” tebak Gandra yang kemudian justru ditinggalkan sang istri. “Bukan ….” Gladia terus melangkah mendekati gerbang rumah dan berusaha memastikan sosok Embun dan ia yakini sebagai orang yang ia kenal. “Sayang, jangan. Di sini, kita enggak ada pengawal. Biar aku saja.” Gandra melangkah cepat dan sampai mendahului Gladia. Gladia yang telanjur penasaran, mengekor dan mengikuti kepergian sang suami. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu berdiri persis di depan gerbang kemudian berseru. “Kamu, … tolong ke sini sebentar!” ucap Gandra di tengah suasana yang sepi. Begitulah Gandra, apa pun yang terjadi, pria itu akan selalu memberikan yang terbaik untuk Gladia. Gandra sungguh pria lurus yang begitu setia dan hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja sekaligus bersama Gladia. Selain itu, Gandra juga bukan pria yang hobi mengunjungi tempat keramaian apalagi sejenis club malam untuk bersenang-senang dengan teman-temannya apalagi wanita lain. Sebab Gandra hanya akan pergi, ke tempat yang Gladia inginkan, salah satunya restoran atau tempat kencan romantis layaknya apa yang akan mereka lakukan. “Zefanya masih suka gangguin kamu, kan?” Gandra menatap sang istri penuh kepastian, dikarenakan wanita yang tengah ia bahas yang juga berprofesi sebagai model, memang selalu saja mempersulit kehidupan Gladia. Gladia yang menatap sang suami, mengangguk membenarkan. “Tapi suara tadi dan agak ‘ngedok’, mirip suaranya Embun. Teman lamaku yang dari kampung Eyang-ku. Aku paham suaranya karena setiap aku telepon Eyang apa Eyang telepon aku, kadang suaranya kedengeran karena dia ikut ngobrol sama Eyang.” “Maksud kamu?” Gandra mengernyit penasaran. “Embun sering bantu-bantu, kerja di rumah Eyang. Jadi, aku cukup paham.” Sadar Embun sudah kembali dengan langkah terbilang tertatih dan ternyata karena sandal jepit yang dipakai patah, Gandra segera mengamankan Gladia di balik punggungnya. “Semoga … semoga aku dapat pekerjaan!” batin Embun yang sedari awal dipanggil Gandra, sudah menjadi sangat antusias. Napasnya sampai memburu selain ia yang juga menjadi menahan senyum. “Astaga … benar, ini si Embun!” batin Gladia. Gladia benar-benar syok. Sulit ia percaya, seorang Embun sampai ada di Jakarta bahkan kini, ada di hadapannya! “Eh …? Gla-dia …?” Embun juga langsung mengenali Gladia. Gandra menatap aneh wanita berpenampilan berantakan sekaligus kumal, di hadapan mereka. Rambut yang dicepol asal, sedangkan pakaian hanya berupa kaus lengan pendek dipadukan dengan celana panjang biasa, bukan levis, jeans, atau bahan tebal lain. Benar-benar biasa. Dan jika wanita di hadapan mereka yang Gladia yakini bernama Embun, memang dari kampung, Gandra percaya dikarenakan dilihat dari penampilan Embun saja sudah sangat meyakinkan. “Apakah ini jawaban Tuhan mengenai keinginanku memiliki anak, tanpa harus membuatku benar-benar hamil, selain Gandra yang tak sampai menyentuh wanita lain?” pikir Gladia berbunga-bunga. “Embun punya banyak adik. Kehidupan Embun benar-benar sulit, apalagi ibunya sakit-sakitan, sedangkan Purnama masnya justru durhaka. Benar … Embun orang yang tepat dan Embun pasti mau menerima tawaranku asal aku memberikan imbalan setimpal!” batin Gladia semakin bersemangat. Gladia yakin, rencananya menjadikan Embun sebagai ibu pengganti akan berhasil! Bersambung ….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD